Makare-kare Tradisi Penghormatan Kepada Dewa dan Leluhur dari Desa Tenganan

Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, Karangasem Sember Foto: Istimewa
Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, Karangasem Sember Foto: Istimewa

Share This Post

Karangasem – Sebagai Desa tertua di Bali, Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem tentu memiliki tradisi yang sudah melekat di masyarakat. Mekare-kare atau yang biasa disebut dengan perang pandan merupakan tradisi yang hanya bisa ditemukan di Desa Tenganan. Tradisi ini diadakan sebagai upacara penghormatan kepada Dewa Perang (Dewa Indra) dan para leluhur mereka.

 

Diceritakan bahwa tradisi Mekare-kare berawal dari perjuangan Dewa Indra melawan Raja Mayadenawa yang sangat kejam. Raja tersebut menyebut dirinya sebagai dewa karena mempunyai kesaktian dan melarang masyarakat menyembah Dewa Indra.

 

Sejak saat itu masyarakat memohon kepada Dewa Indra untuk dibebaskan dari Raja Mayadenawa. Singkat cerita Dewa Indra mengabulkan permohonan masyarakat untuk mengalahkan Raja Mayadenawa. Sejak saat itulah Upacara Makare-kare diselenggarakan untuk mengenang kebebasan Desa Tenganan Pegrisingan dari kekejaman Raja Mayadenawa sekaligus sebagai penghormatan kepada Dewa Indra sebagai Dewa Perang.

Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, KarangasemSember Foto: Istimewa
Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, Karangasem. Sember Foto: Istimewa

Pelaksanaan Mekare-kare

Mekare-kare diawali dengan ritual ngelawang atau keliling desa sebanyak tiga kali dengan iringan musik gamelan diikuti dengan tari rejang dan tari abuang serta atraksi ngurat. Pemangku (pimpinan agama Hindu) akan diiringi oleh Ibu-ibu yang menggunakan pakaian adat sambil menari setengah sadar dibelakangnya.

 

Ritual ngelawang ditujukan sebagai permintaan agar Desa memberikan keselamatan dan membuang energi negatif. Dalam menjalani ritual ngelawang pemangku dan yang mengiringinya akan melewati jalan-jalan atau gang-gang kecil sekitar Desa.

 

Setelah itu seluruh masyarakat akan berkumpul di Balai pertemuan Desa adat untuk melanjutkan dengan upacara Makare-kare . Pelaksanaan upacara ini berlangsung selama dua hari di halaman balai pertemuan Desa, waktu upacara biasanya dimulai dari jam 2 siang. Masyarakat yang hadir dalam upacara ini menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), para laki-laki menggunakan pakaian sarung (kamen), selendang (saput) dan ikat kepala (udeng) tanpa memakai baju atau telanjang dada.

Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, KarangasemSember Foto: Istimewa
Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, Karangasem. Sember Foto: Istimewa

Alat yang digunakan dalam Mekare-kare ini adalah pandan berduri dan perisai. Pandan terluka menjadi senjata berbentuk gada, sedangkan perisai terbuat dari rotan yang membentuk seperti lingkaran. Tradisi ini diselenggarakan di atas panggung berukuran sekitar 5X5 meter persegi dengan tinggi sekitar satu meter.

 

Upacara Mekare-kare juga akan selalu diiringi dengan musik gamelan serundeng yang merupakan alat musik tradisional yang disakralkan. Alat-alat gamelan tidak boleh menyentuh tanah serta yang memainkannya hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap suci dalam upacara ini.

 

Peserta yang ikut Mekare-kare terdiri dari anak muda yang masuk remaja sampai orang tua dengan menggunakan pakaian adat Tenganan. Pakaian adat yang dipakai oleh peserta ada yang menggunakan kamen warna putih, merah dan kuning.

 

Sebelum upacara Mekare-kare berlangsung terlebih dahulu mengadakan ritual mebuang. Hal ini dengan cara menuangkan tuak dari bambu ke setiap daun yang dibentuk sebagai gelas. Setelah tuak di tuangkan ke setiap daun yang di pegang peserta maka selanjutnya tuak tersebut disatukan kembali ke salah satu daun milik peserta dan menuangkannya ke pinggir panggung.

 

Pimpinan adat di Desa Tenganan akan memberikan aba-aba kepada peserta dengan suara jika upacara Mekare-kare akan dimulai. Setelah itu dua pemuda akan bersiap-siap saling berhadapan dengan alat perang berupa pandan berduri yang diikat sebagai senjata di tangan kanan dan sebuah perisai dari rotan di tangan kiri. Selain itu juga bersiap seorang penengah layaknya wasit yang berdiri diantara kedua pemuda yang akan berperang.

 

Setelah penangah mengangkat tangan yang mengisyaratkan perang pandan dimulai, peserta akan saling menyerang dan menangkis serangan. Biasanya peserta akan saling merangkul atau berpelukan terlebih dahulu, baru setelah itu saling meng geret pandan berduri ke punggung lawan sampai luka.

 

Peserta lain maupun penonton akan bersorak menyemangati, suara gamelan pun ditabuh dengan tempo cepat. Jika dua peserta perang pandan ini jatuh akan dipisahkan keduanya oleh penengah. Pertandingan antar dua peserta ini tidak berlangsung lama hanya sekitar kurang satu menit setelah itu dilanjutkan pertandingan dengan dua peserta lainnya. Hal ini dilakukan bergilir kepada setiap peserta selama kurang lebih tiga jam.

Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, KarangasemSember Foto: Istimewa
Mekare-Kare/Perang Pandan Tradisi Desa Tenganan, Karangasem. Sember Foto: Istimewa

Luka goresan yang terdapat di badan peserta terutama di punggung akan diobati dengan ramuan tradisional dari kunyit. Konon ramuan ini sangat ampuh untuk menyembuhkan luka goresan dari daun pandan berduri tersebut.

 

Keunikan Mekare-kare

Selain sebagai satu-satunya tradisi yang hanya digelarkan di Desa Tenganan, tradisi ini juga hanya bisa ditemukan di bulan Juni atau setiap bulan kelima (sasi kelima) dalam penanggalan Desa Adat Tenganan.

 

Untuk mengikuti upacara Mekare – kare yang terpenting mempunyai kesiapan mental. Tidak heran jika pesertanya lintas usia, dari mulai kanak-kanak hingga orang dewasa ikut memeriahkannya.

Terkadang juga pesertanya bukan hanya masyarakat dari Desa Tenganan saja, namun juga ada peserta dari luar Bali yang mengikuti upacara Makare-kare, wisatawan lokal maupun asing juga dipersilahkan untuk ikut menjadi peserta dan bertanding.

 

Upacara ini juga cukup digemari baik oleh wisatawan lokal maupun asing yang sengaja datang ke Desa Tenganan untuk menyaksikan upacara Mekare-kare . Untuk menyaksikan upacara ini pun penonton tidak perlu membayar tiket alias gratis.

 

Peserta yang mengikuti Mekare-kare meski mengalami luka namun tidak ada dendam yang mereka rasakan. Bahkan peserta yang bertanding malah tertawa ria meski harus saling melukai dengan duri daun pandan.

 

Editor: Irman

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya