Menyingkap Mitos Pantangan Warga Lamongan Mengonsumsi Lele

Pecel Lele, Sumber: Istock
Pecel Lele, Sumber: Istock

Share This Post

Kolomdesa.com, Lamongan – Siapa yang tidak mengenal kuliner dari ikan lele, hampir seluruh masyarakat Indonesia menyukai olahan ikan air tawar yang satu ini. Hidangan seperti pecel, lalapan, dan pepes sering kali menjadi pilihan favorit untuk mengisi perut lapar.

Pecel lele adalah hidangan khas Lamongan yang terdiri dari ikan lele goreng yang disajikan bersama nasi hangat, sambal tomat, dan aneka lalapan. Ikan lele yang telah dibumbui sebelumnya digoreng hingga kering, kemudian dinikmati dengan sambal sebagai pelengkap.

Walaupun warung pecel lele Lamongan sudah sangat populer dan dapat ditemukan hampir di setiap kota atau daerah, tahukah anda bahwa sebagian besar penduduk asli Lamongan justru menghindari makan ikan lele.

Menurut pengakuan Muhammad Dimas, seorang warga Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan, kalau banyak penduduk di tempatnya enggan mengonsumsi ikan ini. Pantangan tersebut bukan tanpa alasan, karena kepercayaan ini telah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun-temurun hingga kini.

“Yang menerapkan pantangan makan ikan lele adalah semua warga Desa Medang, Kecamatan Glagah, Lamongan. Jangankan mengonsumsi. Membudidayakan atau menjual lele pun mereka tak berani. Para leluhur percaya kejadian buruk akan menimpa siapa saja yang melanggar,” katanya saat di wawancarai Kolom Desa pada Rabu (8/1/2025).

Selain itu, warga yang tinggal di sekitar Desa Medang juga banyak yang enggan memakan Lele. Menurut ungkapan narasumber, diketahui bahwa makan lele juga menjadi pantangan bagi keluarga, maupun keturunan yang telah berziarah di makam Ki Boyopati.

Menyingkap Mitos Pantangan Warga Lamongan Mengonsumsi Lele
Makam Ki Boyopati. Sumber: Istimewa

Asal-usul Larangan Makan Lele

Larangan bagi masyarakat Lamongan untuk mengonsumsi ikan lele ternyata berakar dari cerita masa lalu yang diwariskan secara turun-temurun. Mitos tentang pantangan tersebut memiliki beragam versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat.

Berdasarkan penelusuran Kolom Desa, larangan ini berakar dari cerita masa lalu yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Pada masa itu, Sunan Giri III atau Sedamargo berkeliling ke desa-desa dengan menggunakan perahu, menyusuri aliran Bengawan Solo.

Pada masa lalu, Kanjeng Sunan Giri melakukan perjalanan atau pengembaraan dan sempat beristirahat di Desa Barang Kauman, Kecamatan Karangbinangun. Dalam persinggahannya, beliau bertemu dengan Dewi Asika, yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Mbok Rondo Barang.

Setelah berbincang dengan Mbok Rondo Barang, Sunan Giri III berpamitan untuk kembali. Namun, tanpa diduga, saat tiba di Giri, beliau menyadari bahwa keris miliknya tertinggal di balai gubuk tempat Mbok Rondo tinggal. Sunan Giri III kemudian meminta Ki Boyopati, orang kepercayaannya, untuk mengambil kembali keris pusaka tersebut.

Mbok Rondo Barang belum pernah bertemu dengan Ki Boyopati sebelumnya. Kemudian, Ki Boyopati memutuskan untuk diam-diam mengambil keris tersebut dengan menggunakan kekuatannya. Tak lama setelah itu, Mbok Rondo yang terkejut menyadari bahwa kerisnya telah dicuri, segera berteriak. Akibatnya, Ki Boyopati melarikan diri karena dikejar oleh warga.

Ki Boyopati yang berlari ketakutan karena dikejar warga segera menceburkan diri ke dalam kolam air untuk menyelamatkan diri dari amukan massa. Karena kolam tersebut dipenuhi ikan lele, warga mengira bahwa Ki Boyopati telah tewas setelah masuk ke dalam kolam itu.

Setelah berhasil melarikan diri dari warga, Ki Boyopati kembali ke Giri dan menerima keris sebagai hadiah dari Sunan Giri. Kemudian, ia kembali ke desa tempat ia diselamatkan oleh ikan lele untuk mengajarkan Agama Islam, yang kini terletak di Desa Medang, Kecamatan Glagah.

“Petilasan Mbah Boyopati yang terletak di Desa Medang dan banyak dikunjungi oleh warga Lamongan yang ingin berziarah. Makam Mbah Bayapati ini juga telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya,” ujarnya.

Sedangkan dari sudut pandang sejarah, dalam Prasasti Jayanegara 1 atau Prasasti Walambangan yang ditemukan di Lamongan, tercatat adanya pemujaan terhadap hyang iwak (ikan sakti) oleh masyarakat Lamongan Kuno. Priyo menduga bahwa hal ini terjadi karena masyarakat Lamongan pada zaman dahulu sangat bergantung pada sungai, tambak, dan rawa untuk kehidupan mereka.

Pemujaan terhadap ikan sakti dapat dilacak dari Prasasti Jayanegara I atau Prasasti Walambangan yang ditemukan di Lamongan. Dalam konteks ini, ikan yang dimaksud kemudian diterjemahkan sebagai ikan lele dalam cerita yang berkembang pada masa Sunan Giri.

Menyingkap Mitos Pantangan Warga Lamongan Mengonsumsi Lele
Penyakit kulit belang. Sumber: Siloam Hospital

Dampak Buruk Akibat Makan Lele

Masyarakat mempercayai sebuah mitos bahwa mereka yang melanggar pantangan ini akan mengalami penyakit seperti gatal-gatal atau muncul bercak putih pada kulit, mirip dengan kulit lele. Mitos ini telah diteruskan dari generasi ke generasi oleh warga setempat.

“Pantangan ini berlaku bukan hanya untuk warga Desa Medang, melainkan juga di beberapa kecamatan di Lamongan. Bahkan sampai luar Kota Lamongan seperti Gresik hingga Solo,”jelas Dimas.

Bagi pelanggar dipercaya akan mengalami belang putih seperti kulit ikan lele. Sedangkan penyakit itu sendiri tidak akan bisa disembuhkan oleh obat dan medis, kecuali datang berziarah ke makam Mbah Boyoputih.

“Tujuannya untuk tawasul memohon atau berdoa kepada Allah SWT dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan supaya diberi kesembuhan atas penyakit yang diderita,” katanya.

Hingga kini, mitos tersebut masih diyakini oleh sebagian warga Lamongan. Namun, pada akhirnya, semua tergantung pada keyakinan pribadi masing-masing. Oleh karena itu, banyak orang sekarang yang telah meninggalkan kepercayaan akan mitos tersebut dan lebih memilih untuk menikmati kenikmatan ikan lele.

“Untuk warga Lamongan yang lain ada yang mengonsumsi ada juga yang menghindari makan lele. Semua kembali ke keyakinan masing-masing,”pungkasnya.

Editor: Mukhlis

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya