Menganal Tari Sintren Khas Pesisir Utara Jawa

Tari Sintren. Sumber Foto: Twitter Gowonpark
Tari Sintren. Sumber Foto: Twitter Gowonpark

Share This Post

CIREBON – Tari Sintren, sebuah tarian tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Tengah dan Jawa Barat, terkenal tidak hanya karena gerak tarinya yang khas, tetapi juga karena kehadiran elemen mistis yang kuat di dalamnya, yang melibatkan ritual khusus untuk memanggil roh atau dewa. Tarian ini tersebar luas di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Cirebon, Majalengka, Indramayu, Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Banyumas.

“Awalnya ini adalah seni tradisi rakyat di daerah pesisir pantai. Ini adalah kesenian rakyat, di kala para bapaknya melaut sebagai nelayan, ibu dan anak-anak, serta sebagian bapak-bapak yang tidak melaut, membuat kesenian yang namanya Sintren,” kata Riyan Ariffudin, Kepala Unit Sanggar Budaya Kraton Kacirebonan.

sedangkan menurut sejarahnya, asal-usul Tari Sintren terkait dengan kisah percintaan antara Raden Sulandono dan Sulasih, yang terhalang oleh ketidakrestuan dari orang tua Raden Sulandono. Situasi ini memaksa Raden Sulandono untuk melakukan pertapaan atas perintah ibunya, yang memberikannya selembar kain sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih setelah pertapaannya selesai. Di sisi lain, Sulasih diminta untuk menjadi penari dalam setiap acara bersih desa yang diadakan sebagai syarat untuk bertemu Raden Sulandono.

Pada saat pertunjukan rakyat yang diadakan untuk memeriahkan bersih desa, Sulasih menari dengan gemulai sebagai bagian dari pertunjukan. Malam itu, di bawah cahaya bulan purnama yang memancar, Raden Sulandono turun dari pertapaannya dengan hati yang penuh kegelisahan, bersembunyi di antara bayang-bayang pohon sambil memegang erat selembar kain yang menjadi tanda dari ibunya.

Saat Sulasih memulai gerakannya, dunia seakan membelah ruang dan waktu, dan kehadiran Dewi Rantamsari menyelimuti tubuhnya, menguasainya dengan kekuatan mistis sehingga mengalami kesurupan yang menggetarkan jiwa. Melihat keadaan yang seperti itu, tanpa ragu, Raden Sulandono melemparkan kain tersebut ke arah Sulasih, menandakan akhir dari kesurupan yang mengguncang. Terkaparlah Sulasih, pingsan dalam pangkuan kegelapan, tetapi dengan sentuhan magis Raden Sulandono, ia bangkit kembali, dan bersama-sama, mereka melarikan diri dari cengkraman takdir yang memisahkan mereka.

Dari peristiwa itu lahirlah sebutan “Sintren” untuk penari yang teralami kesurupan, dan “balangan” sebagai simbol dari perbuatan Raden Sulandono melemparkan kain yang menjadi tanda persatuan mereka, menjadi cikal bakal dari Tari Sintren yang legendaris ini.

Menganal Tari Sintren Khas Pesisir Utara Jawa
Tari Sintren. Sumber Foto: Twitter KitaINA

Nilai-nilai Luhur Tari Sintren

Pertunjukan Tari Sintren mengandung sejumlah nilai luhur yang menggambarkan kearifan lokal yang mendalam. Salah satu nilai utamanya adalah kebijaksanaan yang berakar pada kebaikan, didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberikan kehidupan dan rezeki tanpa henti.

Adapun setiap gerakan dalam Tari Sintren memancarkan rasa syukur dan penghargaan kepada Tuhan atas segala berkah yang diberikan. Selain itu, tarian ini juga mengandung nilai-nilai seperti kesederhanaan, keharmonisan, dan kerjasama, yang tercermin dalam setiap gerak dan interaksi antara penari. Dengan demikian, Tari Sintren tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan seni, tetapi juga menjadi sarana untuk menghargai dan merayakan kearifan lokal serta menghormati nilai-nilai luhur yang telah turun-temurun menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa.

Makna Simbol dalam Pertunjukan Tari Sintren

Dalam Tari Sintren, simbolisme dari benda-benda seperti kurungan bambu, tali untuk mengikat penari, pembakaran kemenyan, balangan,dan temohon.

Menganal Tari Sintren Khas Pesisir Utara Jawa
Tari Sintren. Sumber Foto: Twitter komunitas kretek

Kurungan bambu, yang sering digunakan dalam tarian ini, mewakili dunia yang luas namun terbatas, yang digambarkan melalui sekat-sekat pada kurungan. Ini mencerminkan kondisi manusia yang hidup di dunia dengan segala keterbatasan dan batasan yang ada.

Tali yang digunakan untuk mengikat penari melambangkan tali persaudaraan. Dalam kehidupan manusia, menjaga hubungan persaudaraan sangatlah penting. Konsep persaudaraan tidak hanya terbatas pada hubungan darah, tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia yang berbagi agama, suku, dan bahkan bangsa.

Pembakaran kemenyan pada prosesi dupan menjadi awal dari pertunjukan Tari Sintren. Asap kemenyan yang naik ke langit melambangkan doa manusia kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini menambahkan dimensi spiritual dalam pertunjukan, mengingatkan penonton akan hubungan manusia dengan yang Maha Kuasa dan pentingnya berdoa dalam kehidupan sehari-hari.

Balangan adalah momen dalam pertunjukan Tari Sintren di mana sang penari sedang menari dan penonton melemparkan sesuatu seperti uang koin atau bunga-bunga ke arah penari, yang kemudian membuat penari tersebut pingsan. Filosofi di balik penari pingsan saat menerima lemparan uang koin atau bunga-bunga adalah sebagai pengingat bahwa manusia tidak boleh serakah atau mengambil hak orang lain, karena benda yang dilemparkan bukanlah milik penari tersebut.

Sementara itu, temohon adalah bagian di mana sang penari Sintren mendatangi penonton dengan membawa nampan di tangannya untuk meminta tanda terima kasih dalam bentuk uang sekilasnya. Temohon ini mengandung filosofi bahwa manusia harus mengerti arti berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh orang lain, dalam bentuk apapun itu. Tanda terima kasih dapat diberikan dalam berbagai bentuk, mulai dari memberikan uang, memberikan bantuan, atau dalam bentuk ungkapan terima kasih lainnya. Ini mengajarkan pentingnya sikap apresiatif dan menghargai kontribusi orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya