SULAWESI SELATAN– Indonesia kaya akan berbagai tradisi. Semua tradisi itu memiliki makna filosofis tertentu. Salah satunya seperti tradisi Mallanca atau adu betis yang dilakukan oleh Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Tradisi Mallanca digelar setelah panen raya. Tujuannya sebagai bentuk rasa syukur untuk mengenang jasa para leluhur yang telah menjaga kerajaan Gowa.
Tradisi ini diselenggarakan di makam Gallarang Moncongloe. Makam tersebut merupakan makam leluhur desa Moncongloe yang merupakan paman dari Raja Gowa, Sultan Alauddin.
Asal Usul Mallanca
Mallanca berasal dari bahasa daerah ‘lanca’ yang artinya menyepak dengan menggunakan tulang kering. Sementara itu yang menjadi sasaran yaitu ganca-ganca artinya bagian kaki diatas tumit. Sehingga, tradisi ini familiar dikenal dengan istilah tradisi ini adu betis.
“Permainan adu betis ini bukan merupakan sebuah perlombaan yang memiliki pemenang, karena setiap orang mendapatkan lawan yang seimbang. Garis besar dari A’lanca atau Mallanca atau adu betis ini sebatas hiburan tradisional yang wajib kita jaga,” kata Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros, Rosmiati.
Pelaksanaan Tradisi Mallanca
Ada beberapa ritual yang harus dilakukan sebelum melaksanakan Mallanca. Salah satunya adalah peserta terlebih dahulu melakukan mabaca-baca atau berdoa kepada Tuhan untuk memohon adanya kelancaran dalam melaksanakan Mallanca.
Pembacaan doa dipimpin oleh para sesepuh yang dipercaya dan ditokohkan oleh masyarakat setempat. Setelah selesai ritual sesajen dan mabaca-baca, masyarakat bersiap-siap menggelar permainan Mallanca.
Dilaksanakan di Dua Daerah di Sulawesi
Tradisi Mallanca dilakukan di dua daerah Sulawesi yaitu, di Kecamatan Moncongloe dan Kecamatan Tompobulu. Untuk pelaksanaan dan tujuannya sama saja hanya saja tahapan dan tempatnya berbeda.
Di kecamatan Moncongloe tradisi ini juga diselenggarakan di dekat makam Gallarang Moncongloe yakni, makam dari paman Raja Gowa, Sultan Alauddin.
Sedangkan, di Kecamatan Tompobulu tradisi adu betis ini diawali dengan ziarah makam para nenek moyang atau leluhur. Tujuannya untuk menghormati jasa-jasa para tokoh adat yang telah lebih dulu meninggal dunia. Usai melakukan ritual sesajen berupa nasi, ayam kampung utuh, sengkolo (beras ketan), kapur dan sirih yang dibawa ibu-ibu masyarakat setempat dan kemudian mabaca-baca yang dipimpin oleh sesepuh setempat, setelah itu masyarakat setempat melakukan aktivitas dengan makan bersama.
Selanjutnya, warga setempat membentuk sebuah lingkaran di sekitar makam Gallarang Moncongloe sebagai arena untuk mengelilingi peserta yang melakukan permainan adu betis. Adapun peserta adu betis ini terdiri dari dua tim, masing-masih tim terdiri dari dua orang yang saling beradu kekuatan betisnya.
Dalam permainannya, masing-masing peserta memiliki dua kesempatan menendang betis lawan. Sehingga total dalam satu tim mempunyai empat kali kesempatan menendang betis lawan secara bergantian. Tradisi permainan ini berlangsung selama empat jam, yakni mulai siang hingga sore.
Selanjutnya, tradisi ini juga dilakukan di Kecamatan Tompobulu. Tradisi ini populer dengan sebutan A’Lanca. Tradisi ini berlangsung hanya satu tahun sekali setelah panen. Sebelumnya, masyarakat setempat mengawali dengan ziarah ke makam leluhur.
Setelah itu masyarakat berkumpul kembali ke persawahan dan membentuk lingkaran untuk membentuk sebuah arena perlombaan yang mengelilingi empat peserta yang akan bermain adu betis secara bergantian.
“Agenda seperti ini masih terus dilaksanakan oleh masyarakat dalam serangkaian pesta adat untuk menyambut masa panen warga dan mensyukuri hasil panen masyarakat” kata Nasrudin camat Tompobulu dikutip dari facebook @visit_maros
Biasanya tradisi ini diselenggarakan saat bulan Agustu bertepatan dengan musim panen raya serta bersamaan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia.
Selesai makan bersama masyarakat berkumpul membentuk lingkaran sebagai arena para pemain. Dalam tradisi ini satu tim terdiri dari dua orang jadi dalam satu kali permainan ada empat orang atau dua tim yang akan saling bergantian mengadu betisnya.
Adapun cara bermain tradisi ini yaitu kaki dua orang membentuk kuda-kuda dan kaki yang satunya diapit dengan kaki satu timnya. Tugas tim lawan menendang betis yang sudah diapit sebanyak dua kali. Satu peserta memiliki jatah menendang lawan sebanyak dua kali. Sehingga dalam satu tim memiliki kesempatan menendang empat kali kepada tim lawan secara bergantian.
Editor: Ani