Kolomdesa.com, Nagekeo – Jika Inggris dan Amerika mempopulerkan olahraga tinju sampai hari ini, dan dikenal cukup luas itu. Di Indonesia juga memiliki keolahragaan yang nyaris mirip asal kaki bukit Kelinata, Flores, Nusa Tenggara Timur asalnya yang bernama tinju Etu.
Etu adalah sebuah tradisi tinju yang tidak mengenal kalah dan menang, kebalikan dari tinju dunia, tinju modern yang berasal dari Mesir itu. Sebagaimana tinju modern memakai sarung tangan untuk pengaman dari masing-masing petarung, tinju Etu khas Kampung Lembah Wulu di Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo itu juga memiliki perlengkapan yang sama, hanya saja menggunakan alat tradisional yang terbuat dari pohon enau atau aren.
Tujuan tradisi, atau upacara ini adalah sebagai rasa syukur masyarakat tersebut atas hasil panen yang mereka peroleh, dan juga sebagai sebuah pengharapan kesuburan tanaman di tahun berikutnya. Selain ungkapan perasaan mereka kepada leluhur dan atau tuhan, tradisi ini juga adalah cara mereka dalam mempererat rasa solidaritas antar sesama warga masyarakat.
Kampung Wulu sendiri adalah sebagai pusat, dimana tradisi Etu di Kabupaten Nagekeo dan Ngada di bagian Flores tengah. Wuliwalo sebagi desanya, memiliki empat kampung, seperti Wulu, Iwo, Wagha, dan Paga. Yang terdiri dari enam ratus jiwa dari dua ratus kepala keluarga di sana.
Karena kampung Wulu sebagai pusat tradisi Etu, dalam aturan tetua adat di sana, tidak diperkenankan kampung-kampung lain di seluruh Kabupaten Nagekeo dan Ngada mendahului dalam melaksanakan tradisi tersebut, sebelum tetua adat di Wulu melaksanakannya sesuai kalender adat mereka.
Dulu, tradisi Etu dilakukan di Kampung Leghu-Bhoakota, namun karena saat pelaksanaan terdapat korban jiwa. Akhirnya mereka berpindah tempat karena dianggap tempat tersebut tidak cocok untuk diselenggerakannya ritual.
Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak tiga abad yang lalu, bagaimana orang Nagakeo dan Ngada memiliki tradisi berburu binatang liar untuk dikonsumsi awalnya.
Kemudian sekitar tahun 1956, nenek moyang dari Suku Tongo, Jate Rike menemukan Kampung Wulu di lereng bukit Kalinata saat berburu. Mereka menyebutnya Toalako. Saat itu leluhur mereka menetap di kampung itu, sambal berburu dan melakukan nyanyian adat—atau mereka menyebutnya Dero. Dari sanalah cikal bakal, tradisi Etu itu digelar, dan kampung Wulu sebagai pusat tergelarnya tradisi tersebut.
Masyarakat setempat juga menganggap upacara ini sebagai kesenian, olahraga, dan hiburan. Namun dilakukan ditempat khusus, yaitu rumah pamali atau mereka menyebutnya sao waja. Di tempat inilah semua persiapan berlangsung sampai sekarang.
”Tradisi Etu merupakan sebuah ungkapan resa syukur setelah melaksanakan panen raya dan juga sebagai upacara tolak balak agar terhindar dari segala musibah”, ungkap Paulinus Poso salah satu tokoh adat Kabupaten Nagekeo.
Terdapat, toa loka atau upacara awal sebelum etu dilaksanakan di suatu tempat yang disebut loka. Dalam upacara tersebut dilakukan legi atau sajian untuk arwah nenek moyang.
Sebelum upacara ini dimulai, pihak penyelenggara upacara harus mempersiapkan tanggal upacara, teknis acara, dan penyambutan tamu.
Biasanya pihak penyelenggara sebagai tuan rumah juga wajib mempersiapkan arena dengan membuat pagar keliling atau lako melo—sebutan mereka. Kemudian kepo atau alat tinju yang dibuat dari ijuk yang dipintal pada bagian ujung, mubu atau ikat kepala bewarna merah atau cokelat, kau kasal atau ikat kuda bewarna merah atau coklat, dan sada.
Selain itu, pihak penyelenggara juga harus mempersiapkan dua hal utama, antaralain persiapan fisik dan mental. Persiapan mental juga diperlukan agar dua kubu bisa sportif dan menerima kekalahan saat melaksanakan upacara.
Dimulainya upacara ditandai dengan tinju yang dilaksanakan secara simbolis oleh kedua orang tua. Kedua orang tua berpakaian lengkap. Sebagai pengganti kepo (alat tinju), mereka dilengkapi dengan tongkat jagung.
Seusai acara simbolis ini, para hadirin mulai memadati atau mengelilingi arena loka melo. Suasana semakin semarak karena adanya nyanyian melo dengan pantun-pantun yang dibawakan oleh kedua kubu yang disebut fedha melo.
Sementara itu, para petinju yang sudah mempersiapkan diri beberapa hari atau minggu sebelumnya menyamar duduk di barisan penonton. Bunyi musik yang mengiringi nyanyian dan pantun silih berganti mengisyaratkan bahwa petinju masih dicari. Tahap ini disebut dengan tahap joro.
Ketika melo atau petinju sudah memakai pakaian tinju, maka upacara etu pun berlangsung. Tidak ada ketentuan waktu berapa lama pertarungan tersebut berlangsung, tetapi biasanya pemberhentian dapat terjadi atas keputusan para petinju sendiri.
Olahraga Etu akan dilakukan kaum pria masyarakat adat di Kabupaten Nagekeo dan Ngada, Flores, NTT. Sedang perempuan biasanya akan bertengger di pinggir arena, menyemangati mereka bertarung. Pertarungan semakin meriah. Persuadaraan semakin erat. Tuhan memberkati.
Editor: Muhklis