Nandong Smong merupakan kesenian yang diwariskan secara turun temurun untuk kepada anak cucu untuk memperlihatkan gejala suatu bencana. Budaya kesenian ini populer di daerah Aceh, khususnya di daerah Simeulue.
Kesenian Nandong Smong, yang telah diwariskan secara turun temurun, nyanyian atau alunan lagu memiliki pesan tersirat, yaitu sebuah pesan yang mengingatkan akan bahaya bencana alam, khususnya tsunami.
Dalam bahasa setempat, tsunami dikenal dengan sebutan Smong. Namun, Smong memiliki makna akan simbol keberanian dan kebijaksanaan masyarakat Simeulue dalam menghadapi ancaman bencana. Sejak peristiwa dahsyat pada tahun 1907 di daerah Salur, masyarakat Simeulue telah belajar membaca tanda-tanda alam melalui syair-syair Nandong, yang menggambarkan gejala gempa bumi dan tsunami.
Dalam setiap bait lagu, terkandung pesan yang memiliki akar budaya dari Masyarakat Simeulue dengan kemasan hiburan. Mereka mengajarkan anak cucu untuk pandai melihat tanda-tanda alam, seperti guncangan kuat, air laut yang nampak tertarik surut, hingga gelombang besar yang akan menyapu pantai. Melalui generasi-generasi, pesan pengetahuan dan akar tradisi ini terus diturunkan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Pengalaman Bencana Masyarakat Simeulue
Peristiwa alam yang membekas pada 26 Desember 2004, dialami masyarakat Aceh dan Sumatra Utara dengan gempa dan tsunami dahsyat, menunjukkan betapa berharganya kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue. Tanpa pondasi pengetahuan modern dan teknologi canggih, masyarakat Simeulue mampu menghindari korban jiwa yang besar. Hanya tujuh orang dari 78.000 penduduk pulau tersebut yang menjadi korban, sebuah angka yang kecil jika dibandingkan dengan daerah lain yang terkena dampak serupa.
Tradisi Nandong Smong memiliki akar sejarah tersendiri sehingga terlahir kemampuan membaca tanda-tanda alam oleh masyarakat Simeulue. Perubahan sosial ini terjadi setelah peristiwa 1907 dimana terjadi gempa dahsyat dan tsunami.
Pada tahun 1907, nenek moyang masyarakat Simeulue menciptakan istilah “smong” untuk menyebut gelombang besar dan air bah yang terjadi setelah gempa dahsyat. Gempa tersebut terjadi sekitar jam 09.00 dan diikuti oleh air laut yang surut sejauh 0,5 hingga 1 km. Meskipun sebagian masyarakat curiga akan terjadi sesuatu yang luar biasa, beberapa orang malah berhambur ke pantai untuk memungut ikan. Namun, ombak besar kemudian datang, menyapu perkampungan, dan memaksa sebagian masyarakat untuk menyelamatkan diri ke gunung. Peristiwa ini memberikan pelajaran penting kepada orang-orang yang selamat, yang kemudian merasa berkewajiban untuk selalu menginformasikan pengalaman tersebut kepada anak keturunan dari generasi ke generasi. Peristiwa ini, di mana air naik hingga puluhan meter dan menghempas daratan, dikenal sebagai “smong”.
Masyarakat yang selamat dari bencana ini bangkit Kembali dan juga membentuk sikap tanggap terhadap bencana secara berkelanjutan hingga saat ini. Mereka memahami bahaya gempa besar di dasar laut yang bisa menyebabkan tsunami, serta cara-cara penyelamatan diri dengan berlari ke tempat tinggi.
Tidak hanya itu, pemikiran dan persepsi masyarakat tentang tsunami juga mengalami transformasi besar. Dari ketidaktahuan akan bahaya menjadi kesadaran yang mendalam akan risiko yang mengancam. Bahkan, istilah “Smong” tidak hanya menjadi nama untuk tsunami, melainkan juga menjadi ikatan sosial budaya yang mengingatkan setiap orang akan pentingnya mempersiapkan diri dan menyampaikan pengetahuan bencana kepada generasi berikutnya.
Penulis : Lukacs Lazuardi
Editor : Mukhlis