Filosofi Barongko, Kue Khas Bugis Makassar

Kue Barongko. Sumber: Kolom Desa/Habib.
Kue Barongko. Sumber: Kolom Desa/Habib.

Share This Post

Kolomdesa.com, Makassar – Kota Makassar yang dihuni masyarakat multietnis menyimpan beragam warisan kebudayaan dari masa lampau. Mulai dari tarian, seni pertunjukan, hingga kuliner yang selalu menjadi salah satu destinasi favorit bagi para wisatawan.

Salah satu ragam kuliner di wilayah ini yaitu Barongko. Kue berbahan dasar pisang atau dalam bahasa bugis utti manurung, telur, gula dan santan lalu dibungkus menggunakan daun pisang itu memiliki cita rasa kue basah lembut, manis dan wangi.

Kuliner khas Sulawesi Selatan, khususnya bagi Suku Bugis dan Suku Makassar ini konon merupakan menu yang dihidangkan sebagai makanan penutup para raja, juga diyakini berasal dari kerajaan terbesar di Gowa di masa lampau. Selain itu, Barongko bisa ditemukan di momen-momen tertentu, seperti pernikahan, upacara adat dan keagamaan.

Cara pembuatan Barongko tergolong mudah namun membutuhkan kesabaran. Biasanya sebelum membuat adonan, terlebih dulu dibuatkan cetakan atau pembungkus yang terbuat dari daun pisang. Banyak orang yang meyakini, aroma khas Barongko berasal dari daun pisang yang membungkusnya.

Dilihat dari secara bahasa, Barongko merupakan singkatan dari ‘barangku mua udoko’, yang dalam bahasa Bugis artinya ‘barangku sendiri yang kubungkus’. Secara harfiah memang adonan Barongko dimasak dan disajikan dengan dibungkus menggunakan daun pisang.

Adapun filosofi bagi orang Bugis-Makassar, arti membungkus atau menjaga harga diri merupakan amalan dari nilai siri’ dengan maksud untuk menjaga harkat dan martabat diri sendiri dan keluarga.

Selain itu, juga melambangkan keharmonisan dan keselarasan dalam bertindak, baik di keluarga atau di luar lingkup masyarakat. Makanya kue Barongko ini wajib dibuat berbahan daun pisang dan tidak boleh diganti menggunakan pembungkus lain.

Sementara rasa manis dan gurih Barongko memiliki harapan akan kesejahteraan dalam kehidupan rumah tangga, baik dalam bentuk rezeki maupun keturunan.

Filosofi kejujuran dalam setiap gigitan Barongko didapat dari irisan nangka atau panasa yang terkait dengan ungkapan Bugis yaitu ‘Iyyana kuala sappo unganna panasae nabelona kanukue’ yang artinya ‘kuambil sebagai pagar diri dalam rumah tangga ialah kejujuran dan kesucian’.

Untuk diketahui, Barongko ini juga tercatat sebagai warisan budaya tak benda. Hal itu tertuang melalui SK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60128/MPK.E/KB/2017.

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya