Menghidupkan Moderasi Beragama Melalui Tradisi Sakral Karya Tawur Agung Labuh Gentuh dan Panca Wali Krama

PJ Gubernur dan Beberapa Tokoh lain hadir dalam perayaan tradisi di Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sumber: Youtube/ AriDwipayana
PJ Gubernur dan Beberapa Tokoh lain hadir dalam perayaan tradisi di Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sumber: Youtube/ AriDwipayana

Share This Post

Kolomdesa.com, Lumajang— Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Pura Mandara Giri Semeru Agung berdiri sebagai pusat spiritualitas dan kegiatan keagamaan khususnya tradisi Hindu. Pada Kamis 18 Juli 2024, upacara sepuluh tahunan Karya Tawur Agung Labuh Gentuh, Panca Wali Krama, dan Pangusaban berlangsung dengan khidmat, memancarkan kesakralan dan makna mendalam bagi umat Hindu.

Upacara ini merupakan representasi hubungan manusia dengan sekelilingnya dan merupakan wujud mendekatkan diri manusia dengan Tuhannya, dengan kata lain merupakan simbol harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Penjabat Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, menekankan pentingnya peran tradisi sakral ini dalam menjaga kerukunan umat beragama. “Upacara ini sangat langka dan penting untuk memperkuat moderasi beragama serta kerukunan di antara kita,” ujarnya.

Menghidupkan Moderasi Beragama Melalui Tradisi Sakral Karya Tawur Agung Labuh Gentuh dan Panca Wali Krama
Para umat Hindu berkumpul di Pura Mandara Giri Semeru Agung, Lumajang, untuk mengikuti rangkaian upacara sakral Karya Tawur Agung Labuh Gentuh. Sumber: Youtube/ AriDwipayana

Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Timur memainkan peran penting dalam menjaga kerukunan beragama di tingkat nasional. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) provinsi ini mencapai 77,55 pada tahun 2023, melampaui rata-rata nasional sebesar 76,02. Ini menunjukkan keberhasilan dalam mempromosikan toleransi dan moderasi.

Upacara ini adalah bentuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan wujud penyucian diri serta komunikasi dengan alam semesta. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama, Prof. I Nengah Duija, menjelaskan, “Melalui upacara ini, kita berharap agar keseimbangan alam tetap terjaga dan kita semua diberikan kedamaian, kesejahteraan, serta perlindungan.”

Konsep Tri Hita Karana yang dipegang teguh oleh umat Hindu mendapat apresiasi dari Adhy. Konsep ini menekankan keseimbangan dan harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Prinsip-prinsip ini membantu menciptakan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera.

Melalui acara ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkomitmen untuk menjamin kebebasan semua umat beragama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran masing-masing, sejalan dengan komitmen menjaga kerukunan umat beragama di provinsi ini.

Sebagai dukungan nyata, pemerintah telah mengalokasikan dana untuk instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di area pura, termasuk pemasangan 39 titik Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS) dan 16 paket Solar Home System (SHS). Langkah ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi konvensional tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.

Penjabat Bupati Lumajang, Indah Wahyuni, yang turut menghadiri upacara tersebut, menekankan pentingnya kerukunan antar umat beragama. “Kerukunan dan kedamaian adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif,” tuturnya. Pura Mandara Giri Semeru Agung, sebagai salah satu pura tertua di Asia Tenggara, menjadi simbol kebersamaan dalam kehidupan beragama di Lumajang.

Rangkaian Ritual

Rangkaian acara ini dimulai dengan upacara Mapepada Wewalungan pada Minggu 14 Juli 2024, diikuti dengan pemelastian Ida Betara di Segara Watu Pecak pada Senin 15 Juli 2024. Puncak karya dilaksanakan pada Sabtu 20 Juli 2024, di mana Ida Betara nyejer selama 15 hari, diakhiri dengan bakti Metetingkeb dan Ida Betara Ngeluwur pada 4 Agustus 2024.

Menghidupkan Moderasi Beragama Melalui Tradisi Sakral Karya Tawur Agung Labuh Gentuh dan Panca Wali Krama
Rangkaian acara adat dalam perayaan tradisi di Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sumber: Youtube/ AriDwipayana

Upacara ini melibatkan berbagai elemen, termasuk tanam pohon bunga kenanga dan pemelastian, yang semuanya dirancang untuk menyucikan dan menyeimbangkan kembali energi spiritual di sekitar pura.

Keberadaan PLTS di pura adalah simbol dari komitmen pemerintah dalam mendukung keberlanjutan energi dan harmoni sosial. Inisiatif ini menunjukkan kepedulian terhadap semua komunitas, tanpa memandang latar belakang agama.

Yuyun menambahkan bahwa langkah ini adalah contoh nyata bagaimana kita bisa hidup selaras dengan alam sambil memenuhi kebutuhan energi. “Pura Mandara Giri Semeru Agung dan Pondok Pesantren Kyai Syarifuddin adalah tempat peribadatan penting bagi masyarakat Lumajang. Dengan adanya energi terbarukan ini, kita berharap dapat memberikan contoh hidup selaras dengan alam,” jelasnya.

Upacara Karya Tawur Agung Labuh Gentuh dan Panca Wali Krama di Lumajang ini tidak hanya sebatas tradisi keagamaan atau sebatas simbol keagamaan belaka. Melalui tradisi ini, manusia hadir dengan menjaga alam sekitar dan berharmoni satu sama lain. Lalu juga menjadi sebuahdari persatuan, kerukunan, dan keberlanjutan. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat, tradisi ini terus hidup, membawa pesan kedamaian dan harmoni di tengah keragaman budaya Indonesia.

Penjabat Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, berharap bahwa kerukunan umat beragama dapat menjadi pondasi pembangunan di Jawa Timur. “Dengan kerukunan ini, kita optimis dapat menjalani Pilkada 2024 dengan aman, damai, dan kondusif,” pesannya.

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya