PACIRAN – Sebagai daerah pesisir yang ditetapkan menjadi kawasan minapolitan Jawa Timur, Kecamatan Paciran merupakan salah satu daerah yang tumbuh dengan aktivitas ekonomi beragam dan dinamis. Salah satu kegiatan ekonomi skala mikro di sepanjang pesisir Paciran yang hari ini masih eksis dan berjalan dengan baik adalah legen.
Legen dibuat dari bunga pohon siwalan (tanaman Lontar) jenis perempuan yang bunganya berbentuk sulur. Sulur bunga ini dipotong sedikit demi sedikit, disadap getahnya, lalu kemudian ditampung di sebuah tabung. Umumnya, tabung terbuat dari potongan batang bambu satu ruas.
Dalam wawancara dengan tim Kolomdesa.com, Edi mengatakan jika proses pengambilan legen dalam satu hari dapat dilakukan sebanyak dua kali, pagi dan sore
“Lama penyadapan biasanya semalaman, pada sore hari tabung bambu ini diletakkan sebagai penampung, maka pada pagi harinya sudah memuat penuh satu tabung. Satu manggar bunga biasanya menghasilkan sekitar tiga hingga enam tabung legen,” jelasnya.
Edi melanjutkan, untuk menetralisir rasa asam dan memberikan sentuhan rasa manis pada legen yang baru saja dipanen adalah dengan menambahi cairan olahan dari bunga pohon siwalan itu sendiri.
Siwalan, Tumbuhan Multiguna dengan Ragam Manfaat
Air legen ini dalam bahasa Indonesia disebut nila. Tapi nila ada juga yang dihasilkan dari manggar bunga kelapa atau dari manggar bunga pohon aren, tapi secara khusus legen hanya dibuat dari pohon siwalan.
Jenis pohon siwalan ada dua macam, yang satu bunganya manggar seperti kelapa dan menghasilkan buah yang disebut buah siwalan atau ental. Isinya seperti kolang-kaling yang empuk, kenyal dan manis. Sedang pohon jenis lainnya hanya berbunga berbentuk sulur dan khusus dimanfaatkan untuk disadap getahnya menjadi legen.
“Dua pohon jenis ini saling membutuhkan sehingga dapat berlangsung penyerbukan menghasilkan buah siwalan yang kelak dapat ditanam menjadi pohon serupa,” terang Edi.
Legen biasanya disajikan dengan es batu agar semakin segar, bisa juga dicampur dengan potongan buah siwalan, sebagaimana es kelapa muda.
“Selain dibuat minuman, minuman bercita rasa manis dan segar ini juga biasa digunakan menjadi gula atau sirup. Selain menyegarkan, minuman ini memiliki manfaat memperbaiki fungsi ginjal, serta mampu mengobati gejala impotens,” jelasnya.
Dinamika Melanjutkan Usaha Warisan Keluarga: Tantangan dan Peluang
Edi bercerita bahwa dirinya merupakan generasi ke empat dalam usaha turun temurun keluarganya tersebut. Ia lupa sudah berapa tahun pastinya, namun jika ditaksir, apabila rata-rata usia produktif produsen legen adalah 25-50 tahun, itu berarti usaha yang dijalankan keluarganya sudah berusia kurang lebih 100 tahun. 25 tahun dikali empat generasi, satu abad.
Edi menjelaskan bahwa ia mulai jadi pengrajin legen pada usia 20-an tahun. Ia bercerita bahwa di zamannya, mereka yang beruntung mengenyam sekolah menengah atas sudah dianggap terdidik dan pantas memulai kerja. Perkuliahan menjadi dunia yang asing baginya, dan mungkin bagi orang-orang yang hidup pada zaman itu.
Menurut Edi, legen termasuk minuman yang tak tahan lama, dalam waktu empat jam rasanya akan berubah. Dan apabila disimpan terlampau lama pada keadaan kedap akan meledak. Fakta tersebut membuat Legen tidak memungkinkan untuk dijadikan oleh-oleh pelesiran jarak jauh.
“Namun, jika direbus dulu, dapat bertahan hingga 10 jam. Legen berbeda dengan tuak. Tuak adalah legen yang telah mengalami fermentasi sehingga kandungan alkoholnya bisa sampai memabukkan. Legen masih bebas alkohol,” ujar Edi.
Sebagaimana bisnis pada umumnya, Edi mengatakan bahwa usaha produksi legen dalam keluarganya mengalami pasang surut. Ia mengatakan selain makin menjamurnya usaha serupa, banyaknya produsen legen yang tak lagi organik juga menjadi hambatan dan tantangan tersendiri.
“Sekarang produsen legen makin banyak, memang di sepanjang garis pesisir Kecamatan Paciran tumbuhan ini menjadi primadona. Namun, produsen-produsen legen hari ini banyak yang menambahi olahannya dengan gula pasir dan kadar air yang berlebih, katanya agar terasa lebih manis dan tahan lama,” tutur Edi.
Padahal, menurut Edi, menambahkan gula dalam legen menjadikan rasa tidak lagi otentik, justru berpotensi membuat minuman ini tak lagi berguna sebagai obat, justru penyakit.
“Semuanya ada ilmu dan caranya, jika setiap produsen belajar mengolah bunga pohon siwalan untuk menetralisir rasa asam, tidak menutup kemungkinan rasa legen makin terasa unik dan tak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk membeli gula,” ujarnya.
Edi menyebut, kemalasan mencari tahu dan belajar membuat generasi sekarang cenderung memilih untuk mencari jalan paling pintas, meski tak jarang mengorbankan esensinya.
Terlepas tantangan-tantangan yang telah disebutkan, Edi menuturkan bahwa usaha produksi legen masih terbilang cukup menjanjikan dan bernafas panjang. Ia mengatakan bahwa setiap hari, ia masih bisa menjual 100-200 botol setiap hari. Jumlah tersebut belum termasuk yang diambil para distributor untuk dijual lagi. Biasanya para penjual-penjual itu dapat dijumpai di sepanjang jalan kecamatan Paciran.
“Legen yang kami produksi biasanya dijual dalam kemasan botol air mineral ukuran 1.500 ml. Satu botol kami jual 12 ribu,” jelasnya. Dengan rasa yang alami dan segar, harga tersebut tergolong terjangkau.
Edi mengatakan bahwa permintaan legen akan membengkak di bulan puasa hingga lebaran. Ia menyebut, dapat memproduksi dan menjual legen hingga 300-500 botol tiap harinya.