Kolomdesa.com, Probolinggo – Malam itu, akhir Agustus, Wanai dan Lilik tampak gesit dan terlatih merajang tembakau. Mereka merajang di depan halaman rumah Mukri, salah satu juragan tembakau di Desa Jambangan, Kecamatan Besuk, Probolinggo.
Keduanya dikenal sebagai pekerja rajang sambilan. Mereka datang dan menyanggupi panggilan Mukri. Malam itu ada sekitar dua kuintal tembakau basah yang harus dirajang. Pekerjaan merajang tembakau biasanya dimulai seusai Magrib hingga larut malam.
Alat rajang itu masih konvensional saja. Pisaunya lebar, agak tidak simetris di tengahnya, lalu meruncing di bagian ujung. Buatan sendiri, tidak ada pabrik yang memproduksi pisau dengan jenis itu.
Cara kerja alat rajang tradisional hampir menyerupai multi paper cutter yang biasa dipakai di usaha fotocopy. Jika paper cutter dioperasikan dengan cara dipegang ujungnya lalu ditarik ke bawah, alat rajang tembakau agak berbeda. Utamanya di bagian kaki.
Para perajang menempatkan telapak kaki kiri sebagai penyangga, lutut kiri digunakan untuk menahan dan menjaga kestabilan agar menghasilkan rajangan tembakau yang presisi. Sedangkan kaki kanan menyangga di bawah. Sebagai tumpuan.
Ketika posisi tubuh sudah mantap, perajang menggunakan tangan kanan untuk memegang pisau. Pisau itu kemudian diayunkan dari atas ke bawah, membelah tumpukan tembakau yang masih setengah basah. Dengan gerakan yang konstan. Pisau rutin diasah setiap beberapa kali ayunan agar terus tajam. Seperti Katana.
Konon, jika tidak terbiasa, sekuat apapun mengayunkan pisau rajang, tembakau tidak akan sempurna terpotong. Pisau rajang akan tersendat dan mandek di tengah jalan, tak berhasil menembus tumpukan tembakau sampai ke bawah.
Selain membutuhkan jam terbang tinggi dan tenaga ekstra, merajang tembakau adalah kerja-kerja yang mengedepankan ketelitian dan ketelatenan. Bagi saya, membayangkan terkena muntaber sepertinya tak lebih menakutkan ketimbang harus merajang tembakau. Sebuah pekerjaan mekanis, dengan intensitas yang padat.
Para perajang melakukannya berkali-kali, kadang semalam suntuk. Dengan fokus yang harus terus terjaga. Saya dan teman saya–yang juga asing dengan dunia produksi tembakau–sampai terheran-heran.
Sebenarnya, sudah ada mesin rajang otomatis di daerah-daerah penghasil tembakau di sepanjang Probolinggo Kabupaten. Namun, menurut Mukri, tembakau hasil rajangan mesin tidak sebaik dirajang secara manual. Mungkin, tembakau yang dirajang dengan tangan membawa sentuhan yang tak bisa dijelaskan oleh mesin.
Mukri, bersama beberapa pemilik ladang-ladang tembakau yang lain, masih percaya bahwa hasil rajangan orang-orang panggilan memiliki kualitas yang lebih baik. Selain itu, iya meyakini, dengan mengupahi pekerjanya, usaha produksi tembakaunya akan lebih barokah. Sebuah keyakinan transenden khas orang-orang Madura.
Mukri mengakui, merajang dengan cara manual, memang kurang efisien secara waktu. Tidak secepat dengan mesin. Seperti sudah jadi sunnatullah, setiap metode mesti ada kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana cara mengimprovisasinya.
Jika dengan mesin, membutuhkan modal yang besar di awal, dan lebih irit secara pemakaian jangka panjang. Namun kualitas rajangan tembakaunya dianggap kurang memuaskan.
Di lain sisi, jika dikerjakan secara manual, tembakau yang dihasilkan memang lebih bagus. Namun, para juragan juga harus menyiapkan upah untuk perajang.
Para perajang di Desa Jambangan biasanya mendapat upah setidaknya dua ratus ribu rupiah per panggilan. Bergantung banyaknya tembakau basah yang akan dirajang. Semakin banyak, upah semakin tinggi.
Produksi tembakau tradisional yang terjadi di akar rumput memang melibatkan banyak elemen masyarakat dengan proses yang relatif panjang. Selain sangat dipengaruhi oleh cuaca, teknik yang diwariskan secara turun-temurun serta jenis tembakau yang ditanam juga akan menentukan perlakuan yang berbeda.
Selepas dirajang, tembakau biasanya akan dijemur agar kering. Tembakau akan ditata rapi secara bersaf-saf di bilah-bilah bambu yang telah dirakit menjadi tempat penjemuran.
Panjang tempat penjemur itu sekitar satu meter dengan lebar lima puluh centi. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan, kebanyakan ibu-ibu paruh baya.
Menurut informasi yang saya dapat, setiap satu rakit bambu yang di atasnya telah dijejer tembakau, dihargai seribu rupiah. Biasanya ibu-ibu di Desa Jambangan mampu menata dan memenuhi lima puluh lebih penjemur tembakau tersebut.
Untuk ukuran pekerjaan sambilan yang dapat dikerjakan beramai-ramai–sembari bergosip–, dilakukan pada malam hari, serta tanpa tenggat yang berarti. Menjadi serabutan penata tembakau merupakan jalan ninja yang rasa-rasanya cukup menguntungkan.
Setelah mengering, tembakau itu diblandong atau dikemas di sebuah tempat yang sepintas menyerupai anyaman tikar. Sebelum diblandong, tembakau yang sudah kering akan ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan harga jual. Sebelum akhirnya akan didistribusikan di pabrik-pabrik yang akan mengelolanya lebih lanjut.
Karakteristik tembakau di daerah Probolinggo memang bukan jenis yang dapat langsung dikonsumsi. Ia harus diolah lagi. Biasanya urusan ini diambil alih oleh pabrik-pabrik dengan skala yang lebih besar.
Malam ketika saya menghampiri Wanai dan Lilik adalah malam yang meriah. Hampir di seluruh wilayah penghasil tembakau berkultur Madura, musim tembakau selalu menghadirkan malam-malam yang riuh dan panjang.
“Ini musim yang bagus, satu kilogram tembakau kering dapat dijual Rp 70.000. Dua tahun terakhir, harga tembakau stabil dan baik,” terang Mukri.
Ketika saya bertanya dengan polos mengapa dua tahun belakangan harga tembakau membaik. Mukri mengatakan dengan suara yang sebenarnya ia sendiri tak yakin.
“Mungkin faktor pemerintahan juga berpengaruh. Dua tahun lalu Bupati Probolinggo ditangkap gara-gara korupsi, lalu diganti. Dan setelah diganti tembakau harganya bagus terus,” kata Mukri, tentu dengan bahasa Madura.
Dugaan Mukri, entah benar atau tidak, tetap berarti bagi saya. Setidaknya, itu menjadi alasan yang sangat dapat diterima dan rasional. Konstitusi, selalu melahirkan konstituen. Kebijakan pemerintah, selalu berdampak pada masyarakat, entah langsung atau tidak.
Memang, menurut data, jika dibandingkan dengan padi dan jagung, tembakau merupakan komoditas yang paling menggiurkan. Produksinya mencapai 1.2 ton per hektar dengan harga jual Rp 50.000- 70.000 per kilogram.
“Harga setiap daerah berbeda. Di Bojonegoro, lebih murah, sehingga ketika kita panen berbarengan dengan mereka, harga di sini anjlok. Di Madura, tembakau di sana dapat menyentuh 100.000 per kilogram,” sahut Wanai ketika saya terlihat antusias bertanya.
Saya senang dengan jawaban itu, merasa diterima. Sebab sebelumnya saya khawatir, kehadiran saya di sana dianggap mengganggu pekerjaan.
Di Jawa Timur, jika bicara sentra tembakau memang tak dapat dilepaskan dari tiga daerah utama penghasil komoditas ini: Madura, Jember dan Bojonegoro.
Di Madura, tembakau dipercayai sebagai ‘Daun Emas’ atau ‘Emas Hijau’. Setiap musim panen, para pemulia tanaman tembakau bisa kaya mendadak. Pantas saja, musim kemarau panjang yang biasanya menjadi momen musim tanam adalah waktu yang ditunggu-tunggu para petani tembakau.
Kisah tersebut nyaris sama halnya dengan fenomena “Haji Kopi” yang kerap terjadi di beberapa daerah penghasil kopi di Jember. Jika musim panen bagus, para petani kopi kerap menginvestasikan keuntungannya untuk mendaftar haji.
Tak boleh didebat, di balik watak masyarakatnya yang cenderung puritan dan keras kepala, masyarakat Madura adalah jenis masyarakat yang agamis dan gemar memikirkan kehidupan pasca kematian: akhirat.
Saya bersama teman cukup lama memperhatikan proses merajang dan menata tembakau di tempat penjemuran. Selain itu menjadi hal baru bagi saya, keramahan ibu-ibu di tempat penjemuran dan suara rajangan tembakau terdengar puitis di telinga saya, Membuat saya berbetah-betah.