Tradisi Pasola, Simbol Kemakmuran dan Kesuburan Masyarakat Sumba Barat

Share This Post

Sumba BaratMasyarakat Sumba Barat, memiliki tradisi perang adat yang rutin diselenggarakan sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan. Tradisi ini sering diadakan setiap tahun sekali pada saat permulaan musim tanam. Penyelenggaraan Pasola biasanya diselenggarakan pada bulan Februari di Kecamatan Lamboya dan pada bulan Maret di Kecamatan Wanokaka dan Laboya Barat/Gaura.

 

Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing. Dalam konteks ritual, pasola adalah perang adat yang terdiri dari dua kelompok penunggang kuda yang saling berhadapan, kejar kejaran sambil melemparkan lembing kayu ke arah lawan. 

 

Dalam menentukan tanggal perayaan Pasola, ditentukan oleh para rato yang berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang serta melihat tanda-tanda alam. Dalam satu bulan sebelum upacara Pasola, ada pantangan yang harus dipatuhi masyarakat seperti tidak boleh mengadakan pesta, membangun rumah, dan acara lainnya.

 

Pelaksanaan upacara Pasola ini sangat berkaitan dengan persiapan pengerjaan tanah perkebunan atau perkebunan. Hal tersebut dipercaya setiap tetesan darah pada saat Pasola mempunyai kekuatan magis menyuburkan dan menghidupkan. Anggapan ini sejalan dengan konsep kejadian oleh Gregory Forth (1983) terkait kehidupan janin dalam kandungan yang mendapat daya hidup dari darah seorang ibu yang dialirkan dari tali pusar. Dengan demikian darah atau sesuatu yang menyerupai darah dipercaya mempunyai kekuatan sakti menyuburkan dan menghidupkan.

 

Tradisi Pasola Sumba Barat.  Sumber Foto: Twitter @ELFARAFM
Tradisi Pasola Sumba Barat. Sumber Foto: Twitter @ELFARAFM

 

Sejarah dan Nilai Pasola

 

Pasola ditengarai merupakan tradisi dari sebuah kisah dari cinta segi tiga di Kampung Waiwuang. Konon, ada tiga bersaudara yang tinggal di kampung tersebut bernama Ngungo tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla. Ketiga bersaudara ini sudah berkeluarga termasuk si bungsu yakni Ubu Dulla yang memperistri wanita cantik yang bernama Rabu Kabba.

 

Suatu ketika ketiga bersaudara tersebut pergi ke laut untuk mencari ikan. Namun mereka terus berlayar sampai ke Muhu Karera, sebuah negeri yang sangat dikenal dengan kemakmurannya untuk seseorang yang mengadu nasib. Hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan istri-istrinya dan warga Waiwuang.

 

Hari demi hari terus berlalu, tetapi mereka tidak kunjung pulang, sampai warga ikut cemas mencarinya. Namun hal tersebut sia-sia seperti mereka semua tertelan lautan lepas. Masyarakat Waiwuang meyakini bahwa mereka bertiga sudah meninggal dunia karena sudah beberapa hari mereka tidak kembali.

 

Rabu Kabba setiap harinya dilanda kesedihan dan kepedihan atas kepergian suaminya. Tetapi pihak lain dia tidak percaya bahwa Ubu Dulla telah meninggal bahkan setiap ada kesempatan dia pergi ke tepi laut berharap keajaiban datang yaitu melihat perahu suaminya kembali pulang.

 

Tradisi Pasola Sumba Barat.  Sumber Foto: Twitter @Lutanojr
Tradisi Pasola Sumba Barat. Sumber Foto: Twitter @Lutanojr

 

Pada akhirnya harapan itu benar-benar terjadi, terlihat sebuah perahu muncul dari tengah laut, wajah Rabu Kabba terlihat bahagia kegirangan. Namun setelah perahu itu semakin dekat dan bersandar harapan itu tiba-tiba pupus begitu saja karena yang datang di perahu tersebut bukanlah Ubu Dulla melainkan pemuda lain yang bernama Teda Gaiparona.

 

Setelah sampai di tepi pantai Teda Gaiparona menyandarkan perahunya lalu mendekat ke Rabu Kabba. Kemudian keduanya saling berpelukan dan Rabu Kabba menjalin persahabatan dengan pemuda asal Kodi itu. Seiring berjalannya waktu keduanya merasa nyaman dan perlahan Rabu Kabba mulai melupakan suaminya yang belum juga ada tanda-tanda pulang. 

 

Suatu ketika keduanya sudah saling merasakan jatuh cinta satu sama lain dan ingin melanjutkan ke tahap pernikahan. Tetapi hubungan mereka berdua terkendala dengan aturan adat etika di sana sehingga mereka berdua memutuskan untuk kawin lari.

 

Namun, tidak lama kemudian secara tiba-tiba ketiga bersaudara itu kembali pulang ke kampung Waiwuang. Masyarakat Waiwuang menyambut kedatangan mereka dengan suka cita dan tidak menyangka bisa pulang kembali. Namun tidak lama kemudian suasana menjadi duka yang mendalam bagi Ubu Dulla setelah mendengar kabar bahwa istri yang dia cintai kabur bersama pria lain.

 

Demi menjaga kehormatan, Ubu Dulla ditemani sejumlah warga mencari Rabu Kabba dan Teda Gaiparona. Setelah sekian lama pencarian akhirnya membuahkan hasil, Ubu Dulla menemukan mereka berdua. Ubu Dulla yang masih mencintai Rabu Kabba lalu ia mengajak pulang bersamanya, namun ajakan tersebut ditolak oleh Rabu Kabba.

 

Mendengar penolakan tersebut Ubu Dulla merasa sakit hati yang mendalam,dengan berat hati Ubu Dulla Pun harus merelakan istrinya dengan Teda Gaiparona asalkan mereka berdua menikah secara resmi. Selain itu Teda Gaiparona juga diwajibkan membayar sejumlah belis atau mas kawin sebagai pengganti yang pernah ia berikan kepada Rabu Kabba.

 

Semua persyaratan itu dipenuhi oleh Teda Gaiparona dan sebagai tanda penghormatan atas kesabaran yang dimiliki Ubu Dulla, keluarga dari Teda Gaiparona memberikan sebungkus nyale hidup. Arti dari nyale hidup adalah cacing laut warna warni yang kemunculannya merupakan pertanda kemakmuran.

 

Perjalanan Ubu Dulla untuk mencari kemakmuran sampai ke Muhu Karera tidak sia-sia walaupun pada akhirnya harus kehilangan istri yang dicintainya. Kemudian kedua belah pihak menyepakati untuk menggelar upacara Pasola, yaitu perang adat yang menggunakan tombak kayu sebagai simbol mengenang kejadian tersebut.

 

Jadi, apabila kejadian itu tidak diselesaikan dengan damai dan arif maka tidak menutup kemungkinan akan ada perang antar kedua keluarga besar mereka. Sehingga ritual Pasola ini ada dan tetap menjadi tradisi tahunan, dan darah yang menetes saat acara Pasola dipercaya turut menyuburkan kesuburan bumi. 

 

Tradisi Pasola Sumba Barat.  Sumber Foto: Twitter @GarasiFM
Tradisi Pasola Sumba Barat. Sumber Foto: Twitter @GarasiFM

 

Pelaksanaan Pasola 

 

Pelaksanaan Pasola bergantung pada lokasi dan penyelenggara, jadi setiap wilayah berbeda-beda. Dari beberapa sumber yang paling lengkap dalam pelaksanaan ritualnya adalah wilayah Wanokaka. 

 

Beberapa rangkaian upacara Pasola di Wanokaka sebagai berikut.

 

Purung Laru Loda , secara bahasa menurunkan tali larangan, sedangkan secara istilah Purung Laru Loda merupakan pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali dengan sejumlah pantangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini yang dilakukan oleh para rato di kampung-kampung Pasola yaitu Waigalli, Ubu Bewi, Lahi, Pangabang, Prai Goli, dan Puli. 

 

Pemeliharaan Waktu , penyelenggaraan Pasola yang dilakukan pada saat munculnya purnama raya. Bentuk bulan menjadi dasar utama dan sebagai pendukung adalah tanda-tanda alam seperti bunga katina mekar, babi hutan membuat sarang dan lain sebagainya. 

 

Pati Rah, empat hari menuju puncak perayaan yang akan diisi dengan ritual-ritual pening. Hari pertama, para rato Waigali  dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama. Maksudnya melakukan kunjungan ke setiap wilayah untuk mengecek persiapan menjelang perayaan.

 

Hari kedua, menyelenggarakan tinju tradisional di pantai Teitena yang dipercaya tempat Ubu Dulla dan saudara-saudaranya terdampar. Hari ketiga merupakan hari padat kegiatan, ritual-ritual akan terus dilaksanakan sampai hari puncak perayaan, seperti Palaingu jara/melarikan jaran. 

 

Sedangkan malam harinya semua rato penyelenggara berkumpul di Ubu Bewi untuk melakukan ritual pemujaan. Biasanya juga ada penyembelihan sejumlah ayam sebagai media untuk meramal kejadian yang akan terjadi pada saat Pasola berlangsung. Sekaligus melihat mengamati sekali lagi bulan yang muncul sempurna sebagai tanda final datangnya Nyale dan Pasola. 

 

Acara tersebut ditutup dengan penabuhan tempur suci pada pukul 3 dini hari. Hal ini sebagai tanda bahwa Pasola tela menjelang dan ketupat adat sudah boleh dimakan (nganang katupat).

 

Madidi Nyale, merupakan sebuah ritual memanggil Nyale yang berlangsung di hari keempat Pati Rahi. Ritual ini dilakukan setelah selesai ritual di Ubu Bewi kemudian para rato  beriringan menuju pantai Wanokaka untuk memimpin upacara. Masyarakat dan pengunjung juga ikut berburu Nyale atau cacing laut warna-warni yang menjadi indikator hasil panen selain sedap menjadi kudapan. 

 

Nyale yang banyak dan bersih menunjukkan hasil panen yang melimpah, Nyale kotor dan saling menggigit berarti menunjukan ada hama tikus.Kalau Nyale busuk berarti akan ada hujan yang berlebihan sehingga hasil panen busuk, tetapi jika Nyale tidak muncul berarti akan terjadi kemarau panjang yang akan menyebabkan musibah kelaparan.

 

Pasola , diselenggarakan di dua tempat yang berbeda secara berurutan, tempat pertama di pantai Wanokaka, setelah ritual Madidi Nyale. Selanjutnya akan diselenggarakan di arena utama yaitu Kamaradena dari pukul 09.00 sampai menjelang siang dan selesai.

 

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya