SURABAYA – Brobosan adalah upacara adat kematian masyarakat jawa yang ditunjukan sebagai penghormatan terakhir pada jenazah sebelum dimakamkan. Dalam praktiknya, sebagian keluarga berjalan dibawah keranda jenazah yang diangkat tinggi. Tradisi ini dilakukan di halaman jenazah, sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman.Â
Secara bahasa Brobosan berasal dari kata mbrobos yang mempunyai arti berjalan dibawah keranda jenazah yang diangkat tinggi. Pepatah Jawa menyebutnya dengan istilah mikul dhulur jero yang artinya menjunjung tinggi kehormatan para ahli waris terhadap almarhum atau almarhumah.
Dalam keyakinan masyarakat jawa, kematian adalah pintu kedua setelah kelahiran di dunia. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa pintu kedua itu adalah perantara untuk menuju alam yang lebih baik. Maka dengan demikian, harus dilepas dengan cara yang baik.Â
Sejarah dan Nilai Luhur Tradisi Brobosan Masyarakat Jawa
Penelitian zulkarnain (2009) mengungkapkan bahwa upacara kematian merupakan upacara yang telah dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang. Termasuk upacara brobosan. Masyarakat Jawa melakukan brobosan selain untuk menghormati jenazah, serta sebagai wujud bantuan dari keluarga yang hidup agar arwah tenang dan dapat diterima Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Damayanti,T. (2019) tradisi brobosan dilakukan untuk memperkuat aspek sosial, berupa toleransi dan rasa saling menguatkan. Makna itu terejawantahkan dalam beberapa rangkaian upacara mulai dari perawatan jenazah, perlengkapan yang digunakan dalam upacara kematian adat Jawa, prosesi sebelum pemberangkatan sampai prosesi pemakaman akan melibatkan banyak orang dan tetangga setempat.
Secara implisit, tradisi brobosan menunjukkan bahwa semua kebaikan yang ada dalam diri jenazah semasa hidupnya akan menurun ke anak cucunya. Semua kebaikan yang dimaksud mulai dari kepandaiannya, kejayaannya dan segala hal baik yang dilakukan jenazah selama dia hidup di dunia.
Pelaksanaan Brobosan Masyarakat Jawa
Pelaksanaan ritual brobosan digelar ketika jenazah sudah selesai dimandikan, dikafani, dan disholatkan. Sebelum melaksanakan brobosan, biasanya ada tokoh agama yang mewakili keluarga yang berduka untuk berpidato secara singkat.
Lumrahnya, pidato tersebut berisi permintaan serta permohonan maaf kepada masyarakat apabila almarhum atau almarhumah melakukan kesalahan selama hidupnya. Selain permintaan maaf, tokoh agama juga menanyakan terkait hutang piutang yang meninggal dunia kepada seluruh warga yang datang, untuk selanjutnya dapat diselesaikan dengan keluarga atau ahli waris. Hal ini bertujuan agar jenazah tidak mendapatkan siksa yang pedih dan penuh derita gara-gara hutang atau kesalahan yang telah diperbuat selama hidupnya.
Dalam pelaksanaanya, yang pertama dilakukan dalam brobosan adalah keranda atau peti mati akan digotong dibawa keluar menuju halaman rumah jenazah. Setelah itu baru peti mati atau keranda akan diangkat tinggi-tinggi oleh empat atau enam orang yang menggotong.
Selanjutnya, para keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan akan melewati dibawah keranda atau peti mati. Hal tersebut dimulai dari anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki, adan cucu perempuan saling bergantian mengikuti keluarga tertua.
Praktik itu dilakukan searah jarum jam, dimulai dari sebelah kanan jenazah. Setelah itu belok kiri menuju kepala dan terakhir masuk lagi dari sebelah kanan jenazah. Hal itu dilakukan berulang-ulang sebanyak tiga atau tujuh kali putaran.
Apabila semua keluarga sudah melaksanakan brobosan, selanjutnya jenazah akan langsung diberangkatkan ke pemakaman. Dalam barisan pertama terdisi dari perwakilan keluarga yang berduka membawa sapu lidi dan lampu pelita.
Sapu lidi digunakan untuk menyapu halaman yakni tujuh langkah dari tempat awal pemberangkatan jenazah. Sapu lidi dan lampu digunakan sebagai simbol harapan agar jenazah tidak mendapat hambatan dan terang menuju alam akhirat.
Selanjutnya, keluarga jenazah juga melakukan tambahan praktik tradisi yang dinamakan tradisi sawur. Dalam ritual ini, pihak keluarga mencampurkan bunga tujuh rupa, beras putih dan beras kuning serta uang. Sawur ini akan ditabur di atas keranda dari pemberangkatan sampai di pemakaman agar meninggalkan jejak harum.
Sawur yang berisikan campuran bunga tujuh rupa dimaksudkan selain mengharumkan pada saat pemberangkatan sekaligus agar para malaikat turut mengiringi kepergian jenazah. Sedangkan uang dan beras dimaksudkan sebagai bekal dalam perjalanan masih sangat panjang serta menjadi wujud banyaknya kemurahan yang menyertai setiap jengkal perjalanan jenazah.
Editor: Ani