Kolomdesa.com, Tambrauw – Keputusan pemerintah tentang penetapan hutan desa di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya mendapat penolakan keras dari masyarakat adat setempat. Mereka terdiri dari masyarakat Marga Yewen, Marga Bofra dan Marga Nso.
“Negara mengambil semua wilayah adat, lalu kami harus kelola wilayah di mana?” tanya Rosalina Yewen, perwakilan dari Marga Yewen Siak, Kamis (15/08/2024).
Selain itu, terdapat delapan marga lainnya yang wilayah adatnya turut dimasukkan dalam peta hutan desa juga menyuarakan penolakan. Masyarakat adat Tambrauw menuntut agar proses penetapan hutan desa dihentikan dan status hutan tersebut dikembalikan menjadi hutan adat.
Bahkan, Kepala Distrik Fef mengakui bahwa LSM tersebut tidak berkoordinasi dengan pemerintah setempat dalam proses penetapan hutan desa ini. Sehingga warga meminta agar LSM yang terlibat segera menghentikan aktivitasnya di wilayah adat.
Sebagai bentuk protes, mereka berencana menuntut pertanggungjawaban dengan melakukan pemalangan kantor LSM di Fef. Selain itu juga pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait.
Penelitian menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat cenderung memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah. Hal inii disebabkan oleh hubungan spiritual dan budaya masyarakat adat dengan hutan mereka, serta sistem pengelolaan berkelanjutan selama berabad-abad.
Dengan latar belakang ini, masyarakat adat Tambrauw kini menuntut agar Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup segera mencabut SK penetapan hutan desa. Masyarakat meminta agar mengembalikan status hutan tersebut menjadi hutan adat.
Masyarakat adat Tambrauw kini menuntut keadilan dan berharap pemerintah dapat mengembalikan kedaulatan mereka atas wilayah adat yang terancam oleh kebijakan ini. Mereka berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan hutan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Penulis: Wahyu
Editor: Aziz