Tana Toraja – Tana Toraja merupakan daerah yang dikenal dengan wisata alam dan budayanya. Sampai saat ini tanah Toraja masih mempertahankan adat istiadat warisan leluhur mereka, termasuk Pa’piong, makanan khas Toraja yang sakral, unik dan mengandung sejarah yang panjang.
Konon, kuliner ini menceritakan terkait perjalanan hidup nenek moyang orang Toraja bernama Pong Gaunti Kembong dan pasangannya beserta Puang Mattua sebagai anak keturunan mereka. Berangkat dari cerita tersebut, Pa’piong biasa disajikan pada acara sakral seperti kematian maupun pernikahan.

Sejarah Pa’piongÂ
Berdasarkan cerita dari beberapa sumber, dijelaskan bahwa konon ada seorang laki-laki yang bernama Pong Gaunti Kembong sedang terbang dan melihat seorang perempuan yang menawan di daratan. Setelah melihat perempuan itu, timbullah perasaan ingin menangkapnya, namun perempuan itu malah lari dan bersembunyi di dalam batu. Sang perempuan mau menjadi pasangan Pong Gaunti Kembong dengan syarat membuat Pa’piong Sanglampa (Satu ruas bambu di piong).
Setelah itu, Pong Gaunti Kembong menyetujui dan ia berusaha memenuhi syarat yang diberikan oleh perempuan tersebut. Ketika Pong Gaunti Kembong berhasil memenuhinya maka perempuan itu keluar dari batu dan menjadi pasangannya.
Kemudian mereka berdua di karuniai seorang anak yang bernama Puang Mattua. Sampai saat ini ia menjadi leluhur dan disakralkan oleh masyarakat Toraja. Puang Mattua sepanjang hidup sampai akhir hayatnya bersemayam di Toraja Sebelah utara. Ini yang membuat rumah-rumah adat Toraja (Tongkonan) dibangun menghadap ke utara.

Ada berbagai macam Pa’piong yang khas pada masyarakat Toraja.
Pa’piong manuk
Pa’piong Manuk khas Toraja biasanya akan disajikan pada acara adat syukuran seperti acara pernikahan (Rambu Tuka’), kelahiran, upacara panen raya, peresmian tuha Tongkonan dan lain sebagainya. Kuliner ini disajikan sebagai hidangan kepada tamu undangan yang datang ke acara tersebut.
Kuliner ini tidak bisa ditemukan pada acara upacara kematian (Rambu Solo’). Manuk sendiri berasal dari bahasa Toraja yang memiliki arti ayam. Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, manuk dilarang menjadi hidangan pada saat upacara kematian. Walaupun tidak ada penjelasan secara detail terkait alasan dilarangnya Pa’piong Manuk disajikan di upacara kematian, namun itu sudah menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat Toraja.
Pa’piong Babi
Sesuai namanya, Pa’piong babi dibuat dengan bahan utama daging babi. Hidangan ini biasanya disajikan untuk upacara kematian atau upacara Rambu Solo’. Upacara kematian tersebut biasanya dimulai dari jam 12 siang atau sore hari hingga menjelang malam.
Namun belakangan ini masyarakat Toraja banyak menggunakan tedong atau daging kerbau sebagai bahan dasar pembuatan Pa’piong. Karena daging kerbau lebih mudah didapatkan, lebih murah dan mudah dijangkau secara ekonomi oleh masyarakat.
Seiring berkembanganya waktu, Pa’piong saat ini tidak hanya ditemukan pada saat upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ saja. Akan tetapi masyarakat Toraja bisa memasak kapan saja. Dan beberapa restoran di Rentepao dan Makale (Tana Toraja) hingga Makasar juga sudah menyediakan menu Pa’piong. Bahkan Pa’piong juga sudah bisa ditemukan di Jakarta, salah satunya di Rumah Makan Solata (Toraja) di daerah Kelapa Gading, Jakarta.

Cara Membuat Pa’piong Khas Toraja
Untuk membuat Pa’piong, kita perlu mempersiapkan bambu dengan ukuran besar. Biasanya bambu yang tumbuh di Toraja memang berdiameter sekitar 8 cm sampai 12 cm, sehingga cocok untuk alat memasak di setiap acara pesta yang besar.
Bahan yang perlu disiapkan diantaranya daging. Penggunaan daging bisa menggunakan daging kerbau, babi, ayam dan ikan. Daging kerbau atau ikan kemudian dipotong-potong hingga menjadi ukuran kecil, setelah itu dicampur dengan daun miana, parutan kelapa, irisan cabai, bawang merah, bawang putih, garam, jahe dan serai.
Bahan yang sudah disiapkan tadi, selanjutnya akan dimasukkan kedalam bambu yang sudah disiapkan dan dilapisi daun pisang kemudian ditutup rapat, untuk kemudian dibakar. Pada saat memasak Pa’piong posisi bambu harus dibuat berdiri sekitar kemiringan 30-40 derajat diatas permukaan api. Posisi bambu yang dipakai sebagai alat masak tersebut harus terkena api semua dengan diputar beberapa kali hingga bambu terkena api secara merata.
Untuk mengetahui matang atau tidaknya masakan Pa’piong, kita dapat mengiris bambu. Jika setelah diiris bambu tersebut mengeluarkan tetesan lemak, artinya masakan Pa’piong sudah matang dan siap untuk disajikan.