Inovasi Pangan Desa Sukajadi: Hanjeli Olahan Pangan Pengganti Beras

Desa Sukajadi diversifikasi pangan melalui budidaya hanjeli sebagai alternatif pengganti beras, dengan potensi besar tumbuh di lahan marginal dan manfaatnya sebagai bahan pangan serta obat. Selain itu, terdapat juga Desa Wisata Hanjeli yang menjadi pionir pengembangan hanjeli melalui inovasi eduwisata dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Proses Penumbukan Hanjeli. Sumber: Dokumentasi KWT Desa Sukajadi.
Proses Penumbukan Hanjeli. Sumber: Dokumentasi KWT Desa Sukajadi.

Kolomdesa, Sumedang Jawa Barat, dengan luas wilayah 35.377,76 km² dan jumlah penduduk yang besar, diharapkan dapat menjadi daerah mandiri pangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggenjot produksi pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor, terutama beras. Salah satu alternatif yang tengah digencarkan adalah hanjeli, tanaman lokal yang mulai dibudidayakan di Desa Sukajadi, Kabupaten Sumedang.

“Dahulu, hanjeli termasuk tanaman liar. Namun, kini sudah banyak dibudidayakan. Hanjeli dapat tumbuh baik di lahan marjinal sehingga tidak mengganggu tanaman utama seperti padi, jagung, atau kedelai,” ujar Ade Mamat, Kepala Desa Sukajadi, saat diwawancarai Kolomdesa, pada Rabu (13/11).

Hanjeli mampu tumbuh optimal di dataran tinggi hingga 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Karena itu, hanjeli berpotensi menjadi tanaman alternatif untuk mendukung ketahanan pangan. Meski begitu, luas lahan tanam hanjeli saat ini masih relatif rendah, dan umumnya tanaman ini ditanam secara polikultur atau sebagai tanaman pagar.

“Desa Sukajadi memiliki sumber daya alam melimpah, seperti hanjeli, jagung, dan cengkeh. Dari hasil bumi inilah masyarakat desa mampu meningkatkan perekonomian mereka,” lanjut Ade Mamat.

Inovasi Pangan Desa Sukajadi: Hanjeli Olahan Pangan Pengganti Beras

Bentuk Biji Hanjeli sebelum Diolah. Sumber: Dokumentasi Pemerintah Desa Sukajadi.

Budidaya Hanjeli Dimulai pada 2018

Ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok menjadi tantangan besar dalam menjaga ketahanan pangan, terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan keterbatasan lahan. Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 2018, Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Jawa Barat mulai memperkenalkan budidaya hanjeli di Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang, dengan lahan seluas 20 hektar.

“Panen pertama pada Juli 2019 menghasilkan sekitar 7,5–8 ton biji hanjeli, dengan produktivitas rata-rata 0,3–0,5 ton per hektar. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi iklim yang cukup ekstrim,” jelas Ade Mamat.

Saat ini, sentra produksi hanjeli di Jawa Barat tersebar di beberapa wilayah, seperti Punclut, Cipongkor, Gunung Halu (Kabupaten Bandung), Jatinangor, Tanjungsari, Wado (Kabupaten Sumedang), Ciamis, Garut, Ciletuh (Kabupaten Sukabumi), Cirebon, dan Indramayu.

“Hanjeli dapat ditanam di lahan marjinal di seluruh Indonesia dan memiliki potensi diuji di lahan masam sekalipun,” tambah Ade.

Biji hanjeli memiliki beragam manfaat, mulai dari campuran nasi hingga bahan makanan seperti oatmeal, bubur hanjeli, hingga fermentasi seperti tape ketan. Selain itu, hanjeli dipercaya memiliki khasiat obat, seperti peluruh air seni dan antitumor atau antikanker.

Inovasi Pangan Desa Sukajadi: Hanjeli Olahan Pangan Pengganti Beras

Produk KWT Pantastik Olahan Hanjeli Desa Sukajadi. Sumber: Dokumentasi KWT Pantastik.

KWT Pantastik: Produk Hanjeli Desa Sukajadi

Berangkat dari keinginan mengembalikan kearifan lokal sekaligus menyelamatkan dari kemungkinan punah, Anisa Choeriah dan teman-temannya di  Dusun Cikawung, Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang mendirikan Koperasi Warga Tani (KWT) Pantastik.

“Tanaman pangan ini punya nilai kearifan lokal, karena nenek moyang menanam hanjeli bukan untuk diperjualbelikan tetapi sebagai cadangan pangan bilamana terjadi kegagalan panen akibat hama dan kemarau panjang. Masyarakat juga memanfaatkan beras hanjeli untuk bahan membuat kue tradisional,” jelas Anisa Pendiri KWT Pantastik.

Sayangnya tanaman lokal seperti hanjeli ini baik dalam bentuk gabah maupun beras semakin langka. Hal ini  membuat petani tidak lagi mempunyai cadangan pangan dan bergantung pada beras padi sebagai bahan makanan pokok.   Sedangkan jagung dan ketela pohon adalah komoditas ekonomi yang dijual bukan untuk konsumsi  karena rasa dan teksturnya berbeda dengan nasi.

“Produk hanjeli ini sudah dipasarkan ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya dan beberapa daerah di luar Jawa,” ungkap Anisa.

KWT Pantastik mengolah hanjeli menjadi aneka macam produk mulai dari beras, tepung sereal, teng-teng, kerupuk, opak, rengginang, cookies, brownies kukus dan sebagainya.  Produk  hanjeli ini sudah memiliki PIRT, Halal dari BPOM MUI, dan uji lab produk.  

“Saat ini jumlah anggota sampai November adalah 62 orang. Omzet pada Tahun 2024 kurang lebih mencapai Rp 260 juta. Sedangkan aset koperasi sebesar Rp 320 juta. Sementara luas lahan keseluruhan milik anggota mencapai 6 hektar,” ungkap Anisa.

Menurut dia pengetahuan masyarakat terhadap hanjeli masih terbatas, sehingga pasar yang masih terbatas. Pihaknya harus banyak mengikuti pameran dan kegiatan lainya dalam mengenalkan hanjeli.

“Saat ini belum adanya program terpadu pengembangan hanjeli secara lokal maupun nasional baik oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Produktivitas hasil panen hanjeli masih rendah, karena keterbatasan penelitian dan SDM petani,” tambahnya.

Ketekunan KWT Pantastik, membuat koperasi ini  raih sejumlah penghargaan di antaranya, Juara 1 Adhikarya Pangan Nusantara Jawa Barat 2018, Juara 3 Produk Terbaik Cooperative Fair Jawa Barat Tahun 2019, Finalis Kreatif Food dan Food Startup Bekraf Tahun 2018.

Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Inovasi Lainnya