Kolomdesa.com, Jember – Perubahan nomenklatur Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) setidak-tidaknya cukup menjadi oase di tengah kemarau panjang problematika isu migrasi. Ada pihak yang menganggapnya sebagai angin segar sekaligus harapan baru, tetapi tidak sedikit pula yang tetap pesimis dan menganggap perubahan ini sarat kepentingan politis dan seremonial belaka.
Dengan kata lain, perubahan tersebut diyakini tak akan banyak memberi pengaruh terhadap perbaikan kebijakan dan implementasi praktik pelindungan pekerja migran di Indonesia.
Salah satu orang yang tetap pesimis terhadap hal itu adalah Dewi Srikandi (33), sekretaris Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) Desa Dukuhdempok, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember. Baginya, perubahan nomenklatur ini hanya akal-akalan pemerintah semata.
“Pekerja migran hanya orang-orang yang diperas keringatnya. Negara tak pernah serius melindungi pekerja migran,” bebernya saat saya wawancarai melalui telepon seluler, Sabtu (15/02/2025) lalu. Bagi Dewi, pekerja migran di Indonesia adalah golongan orang yang diperas habis-habisan oleh mereka yang menamai dirinya sebagai negara.
Desbumi adalah sebuah program yang diinisiasi oleh Migrant Care pada tahun 2016 dan diresmikan pada 2017. Saat ini, Desbumi tersebar di tujuh provinsi dengan total 37 Desa. Di Jember, Desbumi berlokasi di tujuh desa, di antaranya: Dukuhdempok, Ambulu, Balung Lor, Sabrang, Wonoasri, Sidomulyo dan Bagorejo.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus melakukan advokasi isu pekerja migran di Indonesia, Migrant Care berupaya terus-menerus melakukan perbaikan kondisi pekerja migran. Salah satunya adalah dengan membuat program di tingkat lokal (grassroot) dengan menggagas semacam kelompok binaan bernama Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi).
Lika Liku Pekerja Migran Perempuan di Indonesia
Dewi adalah satu dari sekian banyak perempuan pekerja migran purna yang saat ini aktif dalam program Desbumi. Ia intens mensosialisasikan migrasi aman serta menumbuhkan kesadaran kritis sejumlah calon pekerja migran Indonesia (CPMI) di sekelilingnya terkait hak-hak mereka.
Tiga tahun banting tulang di negeri orang dan merasa sangat kepayahan–sekaligus di waktu yang bersamaan banyak mendengar kisah-kisah pilu sejawatnya–membuat Dewi selalu curiga terhadap program-program pemerintah yang membawa embel-embel “melindungi dan mensejahterakan pekerja migran”.
Baginya, janji pelindungan itu hanyalah bualan semata. Sejak tahun 2010 atau ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Singapura, hingga hari ini, persoalan migrasi tak pernah tuntas dibicarakan dan tak pernah benar-benar diperbaiki secara menyeluruh. Selalu bersifat reaktif, bukan perubahan yang radikal.
Dalam percakapan kami, Dewi menceritakan dengan detail awal mula ia memilih dan memberanikan diri merantau menjadi pekerja migran. Saat itu umurnya 18 tahun. Keinginan untuk memperbaiki nasib serta tekanan ekonomi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain.
Kondisi kebatinan yang bercampur-campur itu mendorong Dewi mengikuti ajakan tetangganya yang saat itu kebetulan menjadi penyalur tenaga kerja di salah satu perusahaan bernama PT. Bina Karya yang berbasis di Wonokromo, Surabaya–kini telah tutup dan sudah tak beroperasi.
“Saya kepincut dengan iming-iming gaji yang besar. Pada tahun 2010, gaji lima juta rupiah terdengar seperti mimpi basah. Saya akhirnya mempersiapkan segala persyaratan yang diperlukan,” tuturnya.
Sebelumnya, Dewi sudah menimbang-nimbang dan memikirkan dengan matang terkait pilihannya untuk merantau ke Singapura. Ia mengaku sudah memiliki pengalaman bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan merasa pengalaman tersebut akan membantunya untuk beradaptasi di negeri tujuan nanti.
Tentu tak semudah yang dibayangkannya. Saat itu, Dewi mengatakan jika pihak Kementerian Tenaga Kerja Singapura mensyaratkan setiap calon pekerja migran harus mengikuti sejumlah tes terlebih dahulu, seperti tes kesehatan dan tes bahasa Inggris. Termasuk juga mengikuti pembekalannya.
“Syukur di tes bahasa saya lulus di percobaan pertama. Banyak teman saya yang nggak lolos, jadi harus mengulang tes di lain waktu. Tahun itu agak ketat memang,” terangnya.
Tak selesai di sana, Dewi menambahkan, Singapura juga memberlakukan batas usia minimal, yakni 23 tahun. Oleh penyalur, Dewi diminta berdusta dan mengaku jika usianya sudah genap 23 tahun saat ditanya oleh petugas nantinya.
“Saya lahir tahun 1992, disuruh sama penyalur untuk bilang lahir 1987 agar genap 23 tahun. Tapi sebelumnya surat-surat saya seperti paspor dan lain-lain diurus sama penyalur, kata mereka saya tinggal bilang saja. Saya ya manut saja asal bisa berangkat,” paparnya.
Dewi ingat betul dengan iming-iming tetangganya yang penyalur tadi, jika ia akan digaji 740 dolar Singapura atau setara lima juta rupiah (kurs saat itu) setiap bulan. Dengan catatan, akan dipotong selama lima bulan. Penyalur mengatakan jika potongan itu untuk menutupi ongkos akomodasi dan urusan-urusan administratif. Sekali lagi, Dewi manut saja. Harapan, sebagaimana kata nasihat lama, adalah candu.
Tapi Dewi ditipu. Ia keblondrok. Pihak penyalur itu lancung. “Katanya dipotong lima bulan, setelah selesai semua tes dan pembekalan, lalu saya membaca dan menandatangani surat kontrak, ternyata potongannya adalah 10 bulan. Dan gaji saya juga tidak 740 dolar, tapi hanya 350 dolar atau hanya 3 jutaan. Saya kaget, tapi gimana lagi sudah terlanjur,” Dewi menggumam, ia mungkin masih menyimpan amarah itu.
Saat ia harus menelan fakta yang menyakitkan itu, Dewi memang masih belum tahu jumlah potongannya. Ia mengira dan tetap berprasangka baik, jika potongannya masih layak, rasional dan manusiawi. Ternyata tidak.
“Gaji saya dipotong habis-habisan. Saya hanya menerima bersih 20 dolar per bulan selama 10 bulan tadi. Bahkan di bulan pertama saya tidak mendapat gaji sama sekali,” urainya dengan nada yang agak meninggi. Saya mencoba untuk terus mendengarkan dan merendahkan suara, bermaksud berempati.
Belum pernah seumur hidup Dewi semarah itu. Namun toh keadaan membuatnya untuk tetap menabah-nabahkan diri. Ia sudah basah, pantang mundur. Ada mimpi yang masih ia rawat. Ia tetap bekerja dengan sepenuh hati di rumah majikannya, salah satu tugas utamanya adalah merawat orang tua. Domestic worker.
Dewi menyiapkan segala kebutuhannya seperti mandi, makan, minum, menyediakan obat, mendatangi klinik sampai rumah sakit untuk konsultasi dengan dokter. Selain merawatnya, Dewi juga ditugasi membersihkan seluruh rumah, mencuci baju serta memasak.
Tiga tahun Dewi Srikandi bertahan, sebelum akhirnya pulang kembali ke Indonesia pada tahun 2013 dan menetap di kota kelahirannya, Jember, sampai sekarang.

Awal Perjumpaan Dewi dengan Desbumi dan Migrant Care
Saat kembali ke Indonesia pada tahun 2013, dan menjadi pekerja migran purna, Dewi memutuskan untuk menikah. Sebelum bergabung di Desbumi pada tahun 2016, selama kurang lebih empat tahun ia mencoba bekerja serabutan di berbagai tempat dan menjajal bermacam-macam jenis pekerjaan. Dari menjaga konter handphone, bekerja di toko onderdil hingga menjadi pramusaji di cafe.
“Semuanya saya coba. Setelah menikah, saya bekerja di konter HP selama hampir setahun. Lalu bekerja di toko onderdil hanya enam bulan. Lalu lama bekerja di cafe sampai tahun 2016 sebelum akhirnya menjadi anggota sekaligus pengurus di Desbumi Dukuhdempok,” ceritanya.
Ibu dua anak itu mengatakan, adanya survei mantan pekerja migran di desanya pada tahun 2016, membuat Dewi akhirnya mengenal Migrant Care. Di tahun itu, Migrant Care bersama MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) memang sedang menggagas Desa Peduli Buruh Migran. Dan Dewi langsung tertarik pada pandangan pertama.
“Naluri saja, saya merasa cocok dengan apa yang disuarakan dan menjadi visi Migrant Care, jadinya saya gabung saja,” terang Dewi.
Kata Dewi, Migrant Care adalah organisasi pertamanya. Saat itu Dewi berusia 25 tahun. Ia mengaku, semenjak bergabung dan mengikuti kegiatan-kegiatan Migrant Care, terutama Desbumi, ia banyak mendapatkan banyak manfaat, baik dari segi keilmuan, keterampilan-keterampilan teknis hingga menjaring relasi baru.
“Saya mulai berani berbicara di hadapan umum, di depan orang banyak. Saya juga jadi tahu hal-hal yang selama ini belum saya mengerti, seperti hak-hak pekerja migran,” tandasnya.
Sebagaimana akronim dari kata CARE: Counseling, Advocacy, Research & Education, Desbumi memang memuat nada yang sama dengan empat prinsip tersebut. Ia mendorong adanya pemberdayaan kelompok perempuan untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif sebagai sumber penghidupan alternatif.
Dan Dewi adalah salah satu representasi dari total 1098 anggota yang dicita-citakan Migrant Care melalui Desbumi. Yakni sebagai wadah bagi perempuan purna migran untuk berorganisasi, mengembangkan kapasitas pemberdayaan, serta mendorong kepemimpinan perempuan purna migran dalam agenda pembangunan sejak dari desa.
Yang sering terlupa dan rentan terlewatkan begitu saja, negara gagal menyadari bahwa ia tak hanya bertanggung jawab terhadap upaya pelindungan pekerja migran di negara tujuan, tetapi juga memikirkan nasib mereka ketika menjadi pekerja migran purna. Tentu kita semua tahu, banyak para pekerja migran purna yang akhirnya terlunta-lunta dan kesulitan mendapat akses kerja–sebagaimana berjuta-juta pengangguran lainnya–ketika kembali ke Indonesia.
Fakta bahwa pekerja migran purna kebanyakan tak lagi berusia produktif, lapangan kerja yang tak merata dan semakin kompetitif, serta kecakapan yang jauh berbeda adalah beberapa variabel yang–secara sadar atau tidak–ikut memukul mundur para pekerja migran purna dan mengakhirinya menjadi seorang pesakitan tak berpenghasilan.
Negara yang tak hadir utuh pada solusi alternatif dan upaya mencari jalan keluar terkait nasib pekerja migran purna, secara tak langsung ikut membentuk gelombang besar dari apa yang disebut para pakar sebagai pengangguran struktural.
Angan-angan Pelindungan Pekerja Migran dan Jalan Panjang Perlawanan
Bagi Dewi, dalam konteks isu pekerja migran, keterbukaan informasi digital bagai dua mata pisau. Satu sisi, hal ini membantu Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) untuk mengakses segalanya dengan lebih mudah. Namun di sisi yang lain, tanpa sikap kritis dan diimbangi dengan mencari tahu, CPMI rentan dijadikan objek penipuan dengan iming-iming yang membuat banyak orang kepincut.
“Trend menunjukkan, peminat bekerja ke luar negeri banyak diramaikan oleh anak-anak muda, terutama yang baru lulus sekolah tingkat SMA. Saya merasa terbukanya informasi digital adalah sebuah tantangan bagi kita dalam pelayanan migrasi aman,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, hari ini sebagian besar CPMI lebih memilih mencari informasi lewat sosial media. Tanpa edukasi yang memadai, banyak CPMI yang akhirnya terjerembab dalam kondisi yang memilukan dan menjadi korban perdagangan manusia (human traficking).
“Informasi di sosial media jika tak disaring berkemungkinan besar menjadi boomerang. Sebab tidak tahu menahu tentang migrasi aman, banyak kerentanan terjadi, seperti terjebak pada perdagangan manusia,” terangnya.
Dewi menggumam, kondisi migrasi hari ini amatlah miris. Baginya, pemerintah seakan-akan hanya mencari keuntungan dari pekerja migran Indonesia.
Sebagai orang awam, saya meminta kepada Dewi untuk menjelaskannya dengan bahasa yang lebih konkrit atas statement “pemerintah hanya mencari keuntungan pada pekerja migran Indonesia”. Tak perlu pengetahuan yang dalam untuk mengerti kalimat itu, pakai logika sederhana saja sudah kelihatan, katanya.
“Seperti lowongan bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran dibuka lebar-lebar, tapi perlindungannya tidak pernah maksimal. Keropos di sana-sini. Satu contoh, kita dibuatkan BPJS juga sebelum berangkat, tapi tidak bisa dipakai di negara tujuan, lah buat apa?” tanyanya, tentu dengan retoris.
Dewi mengatakan, sebagai penyumbang devisa nomor dua tertinggi setelah sektor minyak dan gas, pekerja migran hanya dijadikan sapi perah oleh pemerintah Indonesia. Menurut berbagai literatur, setiap tahunnya, remitansi dari pekerja migran Indonesia mencapai sekitar 230 triliun atau setara sumbangan lebih dari 10 persen dari total cadangan devisa Indonesia. Kontribusi tersebut menunjukkan peran signifikan pekerja migran Indonesia dalam perekonomian nasional
“Hanya buat menambah devisa, negara untung mendapat remiten. Belum lagi kalau kita kirim barang-barang ke Indonesia, harus bayar cukai dan sebagainya. Pekerja migran terkesan dijadikan komoditas atau objek yang diambil keuntungannya, tapi tidak sejalan dengan pelindungannya,” terangnya.
Menurut Dewi, tidak ada keseriusan pemerintah melindungi rakyatnya yang bekerja ke luar negeri. Aturan turunan dari undang-undang perlindungan pekerja migran di tingkat daerah pun tidak pernah benar-benar dibuat dan digodok dengan matang.
“Implementasi ratifikasi konvensi tidak kunjung diselesaikan. Negara tidak pernah serius mengurus PMI, hanya mengambil keuntungannya,” gerutunya.
Dalam konteks migrasi, ratifikasi konvensi merujuk pada proses suatu negara mengesahkan perjanjian internasional yang mengatur hak-hak dan perlindungan bagi migran, termasuk pekerja migran dan keluarganya.
Salah satu konvensi penting dalam hal ini adalah Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICMW) 1990, yang diadopsi oleh PBB. Konvensi ini menetapkan standar perlindungan bagi pekerja migran, baik yang berdokumen maupun tidak berdokumen, serta mengatur kewajiban negara asal, negara transit, dan negara tujuan migrasi.
Jika suatu negara meratifikasi konvensi ini, artinya negara tersebut berkomitmen untuk menyesuaikan hukum dan kebijakannya agar selaras dengan standar perlindungan migran yang ditetapkan dalam konvensi. Namun, tidak semua negara bersedia meratifikasinya karena alasan politik, ekonomi, atau kedaulatan nasional.
Percakapan kami selesai pada menit ke 32. Saya mengucapkan terimakasih pada Dewi telah menceritakan dengan baik pengalamannya dan menegaskan sikap-sikapnya terhadap dinamika dan problematika isu-isu migran di Indonesia selama ini.

Pada tanggal 6 Desember 2024 kemarin, sebagai representasi penggerak Desbumi Jember, Dewi berkesempatan menyampaikan oral intervention–sebuah laporan atas implementasi Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi oleh Indonesia–dalam sidang Sidang Sesi ke 39 sidang Komite Perlindungan Pekerja Migran Perserikatan Bangsa-bangsa di Jenewa.
Dalam pidatonya, Dewi tetap berteguh pada pendapatnya, bahwasanya pemerintah Indonesia tak pernah benar-benar serius dalam mengimplementasikan konvensi. Pada titik itu, Dewi tidak hanya fasih bicara di depan umum dengan bahasa Indonesia seperti yang dikatakannya di awal tadi, tetapi juga dengan bahasa yang dimengerti oleh khalayak internasional: Inggris.
