Kolomdesa.com, Banjar – Setelah terapung-apung selama kurang lebih 20 jam di kapal Dharma Rucitra I kelas ekonomi-tidur, saya dan tujuh orang teman akhirnya tiba di pelabuhan Trisakti pukul 8 malam WITA. Hari itu tanggal 4 Januari 2025, sehari lagi Haul Sekumpul akan digelar.
Di kapal yang mulai beroperasi tahun 1990 dan bermuatan maksimal 850 penumpang tersebut, lebih dari sepertiganya adalah jamaah Haul Sekumpul.
Perjalanan sebelum tiba di pelabuhan cukup panjang. Kurang lebih delapan jam. Dari Terimal Paciran ke Terminal Bungurasih (transit terminal Bunder) kami menjajal Trans Jatim–sebuah program besutan Khofifah-Emil yang menghubungkan wilayah aglomerasi Gerbangkertosusila: Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan.
Kemudian dari Bungurasih ke Pelabuhan Tanjung Perak kami menaiki Suroboyo Bus. Dengan kata lain, perjalanan darat menuju pelabuhan benar-benar kami tempuh dengan hanya mengandalkan transportasi umum. Dan Muhammad Helman Sadid, penjamu kami, sudah menunggu di pelabuhan.
Perjumpaan dengan Ustadz Adid dan Kerja-kerja Kerelawanan
Sebelum berjumpa dengan Ustadz Adid–demikian kami menyapa Muhammad Helman Sadid–, saya sudah mendapati banyak relawan haul Guru Sekumpul yang menyambut di pelabuhan dengan ramah, dengan tatapan yang bersahabat, sekaligus menanyakan apakah kami sudah mendapat tumpangan atau penginapan.
Kami menjawab jika sudah dijemput dengan tambahan isyarat menanggukkan kepala. Salah satu relawan menghampiri kami, memastikan sekali lagi dengan benar dan cermat. Ia bahkan membuntut di belakang, memantapkan penglihatannya jika kami benar-benar sudah ada yang menjemput.
Mereka, para relawan, begitu tulus, tidak hanya sekedar abang-abang lambe sebagaimana kebiasaan orang Jawa. “Kami semua relawan, akan selalu menghormati dan melayani dengan baik semua tamunya Abah Guru Sekumpul. Di pelabuhan, di bandara, di titik-titik kedatangan kami sudah stand by, ” Ustadz Adid berkata demikian saat bertemu pertama kali, hati saya terenyuh. Ada rasa haru yang sulit terjelaskan.
Bersama satu muridnya, Ustadz Adid mengajak kami menuju parkiran mobil. Ada dua mobil yang sudah siap dan akan mengantarkan kami ke rumahnya untuk makan malam dan istirahat.
Rumah Ustadz Adid terletak di Desa Pandansari, berjarak kurang lebih 39 KM atau masih sekitar 54 menit dari musala Ar-Raudhah–titik utama acara Haul Sekumpul. Kami manut saja, selain Ustadz Adid adalah tuan rumahnya, kami juga sudah kelaparan dan ingin segera bergegas membersihkan diri, atau merebahkan badan barang sejenak.
Rumah Ustadz Adid sederhana saja. Sebagaimana lazimnya rumah-rumah di Kalimantan (bukan hanya Kalimantan Selatan), di sana terpajang foto-foto Abah Guru Sekumpul. Suasana hangat makin terasa.
Konon, karomah Abah Guru Sekumpul tidak hanya dipercaya dan diyakini oleh orang muslim saja, melainkan juga oleh orang-orang non-muslim. Maka tak heran, jika menjumpai ada orang non-muslim di seantero Kalimantan pula memajang foto Abah Guru Sekumpul di kediamannya.
Dengan ruang tamu yang lebar, rumah Ustadz Adid memang ideal digunakan untuk tamu-tamu yang ingin bermalam. Belakangan saya tahu jika rumah tersebut adalah markas Majelis Ahbabun Nabi. Sebuah majelis salawat yang rutin diadakan tiap malam Rabu, Ustadz Adid adalah penggagasnya.
Tapi malam itu saya tak langsung tidur, ada titipan dari Mamak untuk Paklik saya yang merantau di Banjarbaru. Mengajak satu teman yang juga hendak mengunjungi keluarga perantauannya di daerah yang berdekatan, saya meminjam motor ustad Adid. Berdua, menerjang dingin malam.
Saat itu pukul sepuluh malam, setiap berapa ratus meter sekali posko-posko makan gratis terlihat. Para relawan antusias mengamankan jalan sekaligus mempersilakan jamaah haul untuk rehat, mengganjal perut dan menghangatkan diri dengan teh atau kopi.
Jalanan meriah sekali. Masyarakat di sana dan segenap relawan menyambut haul Abah Guru Sekumpul dengan penuh gairah dan gegap gempita. Atmosfernya nyaris menyerupai malam lebaran, namun bedanya tak ada lantunan takbir. Ada semacam vibrasi khusus yang mengendap di perasaan.
“Sudah ramai sejak 1 Januari, di sini uang tidak terpakai. Semuanya gratis untuk para jamaah yang datang, mulai makanan, penginapan, bahkan BBM di SPBU tertentu digratiskan. Ada yang mensponsori,” tutur Ustadz Adid ketika perjalanan menuju rumahnya seusai menjemput kami di pelabuhan. Saya terbelalak.
Hikayat Desa-desa dan Bagaimana Kedermawanan Dijalankan
Saya telah banyak mendengar kisah-kisah kedermawanan dalam hidup, namun saya benar-benar merasakan dan melihat sendiri praktiknya ketika hadir dalam Haul Sekumpul. Sebuah kerja gotong royong yang sangat rapi dan terorganisir. Inilah yang mungkin disebut Bung Hatta sebagai ekonomi kerakyatan; semua saling bahu membahu dan bergandengan tangan berasas kekeluargaan.
Di Purut,–sebuah desa yang berjarak 70 KM dari Komplek Sekumpul–setiap tahun masyarakat berswasembada pangan. Mendirikan posko makan gratis dari mengolah hasil tani dan kolam ikan.
Suriansyah (53), Kepala Desa Purut, mengatakan jika tradisi tersebut sudah berjalan selama 10 tahun. “Dari tanah desa sekitar 1.5 hektare, kami memanen 60 karung beras. 30 karung untuk dimasak, sisanya dijual untuk membeli bumbu dan keperluan dapur,” terangnya, saat saya hubungi via telepon, Rabu, (08/01/2025).
Selain itu, Suriansyah juga menuturkan, dari empat kolam ikan berjenis patin dan nila yang dimiliki desa, menghasilkan 500 kilogram panenan ikan tahun ini. Semua penjualannya untuk peringatan Haul Sekumpul.
“Tahun lalu malah 1 ton. Setiap satu tahun panen dua kali, biasanya panen pertama keuntungannya digunakan untuk kesejahteraan desa, panen kedua untuk peringatan Haul Abah Guru Sekumpul,” urai pria yang baru menjabat selama tiga tahun sebagai Kepala Desa purut tersebut.
Di desa yang hanya terpaut 3 kilometer dari Kelurahan Sekumpul bernama Jawa Laut, jauh sebelum memasuki tahun baru, masyarakatnya sudah mulai mempersiapkan jamuan dan penginapan. Selayaknya desa-desa lain.
Syairozi (55), Kaur Umum Desa Jawa Laut mengungkapkan jika di desa yang sama-sama terletak di Kecamatan Martapura itu telah menyiapkan sekitar enam titik posko makan gratis. Juga delapan titik penginapan.
“Tiga titik penginapan berkapasitas 80-100 jamaah, berupa bangunan-bangunan besar seperti sekolah. Lima sisanya adalah rumah warga yang bisa memuat 10-30 orang. Semuanya sukarela,” bebernya. Saya berhasil mendapat nomor teleponnya dari arsip data tempat saya bekerja, setelah gagal mengontak kepala desanya.
Kerja kerelawanan demikian sudah berjalan bertahun-tahun, lanjut Syairozi. Pria yang telah menjabat sebagai aparatur desa mulai 2002 itu mengaku, sejak Abah Guru Sekumpul masih hidup, sampai Haul-nya yang ke-20, rasa cinta dan hormat kepada Guru Sekumpul tak pernah menyusut, malah semakin menjadi-jadi.
“Ini adalah bukti kecintaan masyarakat di sini kepada Abah Guru Sekumpul. Tujuannya mempraktekkan keteladanan yang beliau ajarkan, utamanya dalam kedermawanan dan saling berbagi,” imbuhnya, sekaligus memungkasi percakapan kami.
Lima Rajab dan Puncak Kecintaan Berjuta-juta Manusia
Seusai mengantarkan titipan dari Mamak, saya kembali ke rumah Ustadz Adid. Kami diminta beristirahat. Rasa-rasanya baru sebentar saja saya memejamkan mata, sebelum akhirnya sadar dibangunkan pukul empat pagi. Dengan terkantuk-kantuk dan badan yang masih pegal-pegal, kami bergantian mandi dan bersiap-siap menuju lokasi acara haul.
Malam sebelum kami terlelap, Ustadz Adid memang sudah memberitahukan bahwa kami semua akan mengendarai motor menuju acara. “Besok akan sangat macet. Mobil bukan pilihan bagus, naik motor saja biar bisa masuk gang-gang kecil dan dapat tempat lebih dekat dengan mushola Ar-Raudhah,” jelas Ustadz Adid.
Maka, saat kami terbangun, sudah ada delapan motor yang terparkir rapi di depan rumah Ustadz Adid. Dari delapan motor itu, tujuhnya milik murid-murid Ustadz Adid. Formasinya, kami, tamu-tamunya akan dibonceng Ustadz Adid dan murid-muridnya menuju lokasi. Mereka benar-benar ingin melayani kami sedapat mungkin.
Kami tiba di sebuah rumah salah satu kenalan Ustadz Adid. Lokasinya di gang Penghulu 3, berjarak hanya 450 meter dari Ar-Raudhah. Jalanan pagi itu padat sekali. Sebagian besar jamaah sudah menggelar sajadah di jalan-jalan dan di halaman depan rumah-rumah warga.
Ustadz Adid mengajak kami ziarah ke makam Abah Guru Sekumpul terlebih dahulu. Ia tahu, dengan jutaan manusia yang ada, sudah pasti tidak mungkin menembus jarak yang lebih dekat. Maka ia meyakinkan kami untuk mengikuti acara di rumah salah satu kerabatnya saja.
“Mari ziarah dulu. Yang penting sampai dulu ke makam Abah Guru Sekumpul. Sambil keliling-keliling biar tau,” tutur ustad Adid.
Semenjak tahun 2020 atau sudah 5 kali acara haul, makam Abah Guru Sekumpul atau yang biasa disebut Kubah Sekumpul masih ditutup. Selain alasan renovasi dan pandemi, ada cerita bahwa keluarga Abah Guru belum merestui kubah tersebut dibuka. Belum mendapat isyarah, katanya.
Alternatifnya, para jamaah yang ingin tetap berziarah diarahkan menuju Gang Taufik. Gang ini terletak persis bersebelahan dengan Kubah Sekumpul. Para jamaah melakukan ziarah dan berkirim doa sambil berdiri, khusyuk menghadap pembatas tembok.
Saya mendadak jadi teringat bagaimana orang-orang Yahudi berdoa di tembok barat. Sebuah tembok yang terletak di Yerusalem, dianggap sangat suci dalam tradisi Yahudi.
Tentu tak mudah mencapai Kubah Sekumpul saat acara haul akan dilangsungkan di malam yang sama. Para jamaah berjubel-jubel. Kami harus berdesak-desak, meniti dan berbagi jalan, sembari tetap bersiaga dengan barang-barang yang kami bawa.
Selepas ziarah, kami diajak Ustadz Adid menuju toko Az-Zahra–usaha pertokoan penyedia pakaian yang didirikan Abah Guru Sekumpul. Kami membeli beberapa hal yang dibutuhkan sebelum akhirnya kembali ke rumah kerabat Ustadz Adid.
Dalam perjalanan kembali ke rumah kerabat Ustadz Adid, kami beberapa kali melipir ke posko-posko makan. Mencicipi Soto Banjar, Nasi Seman khas Sekumpul, dan beberapa hidangan dan minuman lain yang gratis. Benar kata pepatah, perut yang terisi membuat separuh masalah hidup hilang sementara.
Malamnya, bada jamaah magrib, acara haul dimulai. Tidak ada sambutan-sambutan, langsung ke pembacaan Maulid Simthud Durar–itu pun tidak semua rawi dibaca. Dua syiir dilantunkan dengan iringan tabuhan hadroh di sela-selanya: Khobbiri dan Thola’al Badru (ketika mahalul qiyam), dan dipungkasi dengan salawat Nurul Musthofa. Dilanjut dengan tahlil singkat, berkirim doa ke Abah Guru Sekumpul.
Sama Rasa Sama Rata dan Apa-apa yang Terkenang di Dalamnya
Yang membedakan acara Haul Sekumpul dengan haul lain adalah keefektifan dan efisiensi susunan acaranya. Betapapun besar nama dan latar belakang segenap para undangan, baik para habaib, pejabat, politisi, mereka hanya dipersilakan duduk dan datang sebagaimana jamaah lain.
Tak ada karpet merah, tak boleh ada protokoler dan pengawalan berlebih-lebihan. Tak ada basa-basi yang berpanjang-panjang, juga tak ada perayaan-perayaan seremonial yang tak jelas faedahnya. Semuanya setara dan duduk sama rata.
Bahkan, kemarin, pendakwah sekondang Habib Ja’far hanya mampu duduk di gang Penghulu 5, artinya berjarak dua gang saja dari rumah kerabat Ustadz Adid yang saya duduki. Itupun dalam unggahan instagramnya, Habib ja’far harus berjalan 4 kilometer terlebih dahulu, kemungkinan mobilnya sudah tak dapat menerabas lebih jauh.
Acara selesai pukul setengah sembilan malam waktu setempat. Dilanjut salat isya berjamaah lalu kemudian ditutup. Para relawan membagikan nasi pada jamaah sebagai hidangan akhir. Sesaat saya termenung, dan saya tak tahu kenapa air mata saya mendadak berjatuhan.
Saya mungkin bukan pribadi yang religius, tetapi siapa yang tak tersentuh oleh keajaiban sebuah malam yang begitu magis, malam yang mampu mengumpulkan berjuta-juta jiwa di satu tempat untuk suatu hal yang melampaui alasan-alasan duniawi dan fana?
Dalam salah satu kredonya, Agus Sunyoto, seorang budayawan Nahdlatul Ulama pernah mengatakan, kebudayaan baru dapat disebut sebagai kebudayaan jika ia bermuara pada keluhuran dan nilai-nilai yang dianggap baik dan bermanfaat.
Dalam pandangan saya, Haul Sekumpul bukan sekadar agenda tahunan belaka, melainkan manifestasi dari produk kebudayaan sebagaimana yang dikatakan Sunyoto. Sebagai produk kebudayaan, ia punya sifatnya yang evergreen—tak lekang oleh waktu. Hal ini terbukti dari jumlah jamaah yang terus meningkat setiap tahunnya.
Melansir dari Radar Banjarmasin, jumlah jamaah haul yang datang diperkirakan menembus angka 4.1 juta. Nyaris meningkat 25% dari tahun sebelumnya, yakni 3.3 juta jiwa–perhitungan jumlah jemaah ini berdasarkan dengan pengguna provider Telkomsel, XL, dan Indosat.
Sukar untuk mengatakan jika Haul Sekumpul tak memiliki pengaruh besar yang berdampak langsung pada masyarakat akar rumput, baik dari segi materi maupun dalam membentuk keseharian masyarakatnya untuk berbudi pekerti luhur.
Pengaruh ini tidak hanya terlihat dari dinamika sosial dan ekonomi yang bergerak selama pelaksanaannya, tetapi juga dari cara nilai-nilai spiritual dan kebersamaan tertanam dalam kehidupan masyarakat. Menjadikannya lebih dari sekadar peristiwa, melainkan sebuah tradisi yang menguatkan identitas kolektif.
Merawat Ingatan dan Sebuah Kepulangan
Tak lama seusai acara, hujan mengguyur Martapura. Membasahi para jamaah yang hendak pulang. Hujan selalu menjadi pertanda baik, betapapun di situasi-situasi tertentu, kita kerap mengeluhkannya.
Kami tak langsung pulang. Kata Ustadz Adid, kondisi jalanan sedang gila-gilanya. Tinggal sejenak adalah pilihan yang paling masuk akal. Ustadz Adid dan murid-muridnya juga masih sibuk membantu relawan lain menertibkan jamaah, kami diminta istirahat.
“Istirahat atau tidur saja, nanti saya bangunkan,” ia menasehati. Saya kira kami dibangunkan saat Subuh, tetapi ternyata tidak. Kami terjaga pukul tiga pagi. “Ayo bangun, pulang sekarang. Jalan sudah mulai kondusif,” lagi-lagi, cukup mendadak. Kami butuh waktu untuk mengumpulkan nyawa.
Kami membentuk formasi yang sama saat waktu berangkat: delapan motor, delapan pengemudi kami. Yudi adalah salah satu murid Ustadz Adid yang membonceng saya, ia alumni UIN Banjarmasin jurusan Manajemen Pendidikan. Masuk kuliah angkatan 2019, setahun lebih muda dari saya.
“Seusai Haul Sekumpul pasti hujan, Mas. Saya ikut Haul Sekumpul pertama kali tahun 2016, saat itu masih kelas 1 SMK. Sampai sekarang, tak pernah tidak hujan,” Yudi bercerita dengan dialek Banjar-nya, di atas motor saat membonceng saya.
Saya selalu tak suka dengan kata kebetulan, namun siapa yang hendak menyangkal keganjilan cerita Yudi? Ia tentu dalam kondisi sadar lahir batin saat mengisahkan hal itu kepada saya. Ia tak mengigau, itu jelas pengalaman empiriknya.
Sudah jam dua dini hari, tanggal enam Januari–tiga hari selepas hari ulang tahun saya. Ustadz Adid memang tadinya mengatakan jalanan sudah mulai kondusif. Tetapi, rasa-rasanya, pengertian kondusif antara Ustadz Adid dengan saya berbeda sama sekali.
Macet belum juga surut, jalanan masih berupa lautan manusia. Malam seolah-olah menggulung waktu, dan jarum jam seperti berjalan mundur. Kami akhirnya mengambil jalanan memutar, menghindari macet.
Dini hari itu juga saya harus berpamit dan undur diri. Saya berkata pada Ustadz Adid jika harus terbang ke Jakarta pukul empat sore di hari itu juga. Untuk kembali bekerja, kembali mencangkul. Saya menyalami mereka, Ustad Adid dan semua muridnya, dan teman-teman perjalanan saya dari Surabaya. Perpisahan memang tak pernah menyenangkan.
Memisah dari rombongan, Yudi mengantar saya sampai depan rumah Paklik. Saya memang diminta menginap di sana, sekaligus akan diantar ke Bandara Syamsuddin Noor nantinya. Letak bandara hanya terpaut 30 menit dari rumah Paklik.
Saya merogoh tas dan hendak bermaksud memberi Yudi sedikit uang lelah-lelah, namun ia membatu, keras sekali menolak. “Ustad Adid tak pernah mengajarkan menerima uang dari tamu Abah Guru Sekumpul,” tegasnya. Kemurahan hati sekali lagi.
Rumah Yudi sebenarnya berada di Kota yang sama dengan rumah tempat Paklik saya. Namun ia harus tetap kembali ke rumah Ustadz Adid yang masih 30 menitan jarak tempuhnya. “Helm saya tertinggal, besok saya juga harus balik ke Tanah Bumbu,” kata Yudi.
Yudi diterima sebagai guru di satu sekolah yang berada di Tanah Bumbu. Sebuah Kabupaten yang berjarak 133 KM dari rumahnya, Kota Banjarbaru. Saya terkaget-kaget ketika tahu itu. Yudi juga mengatakan, dari rumahnya, perlu waktu empat jam mengendarai motor untuk mencapai sekolah tempat ia mengajar.
Hati saya remuk redam, hancur berkeping-keping. Bukan bermaksud membandingkan, namun apa yang kadang saya keluhkan sehari-hari tidak sebanding dengan apa yang dialami orang lain. Orang-orang lain berjuang lebih hebat, merasakan derita berkepanjangan, namun jarang sekali meracau. Tak seberisik saya.
Saya akhirnya meminta tahu akun instagram Yudi, untuk saling mengikuti dan berjanji akan saling mengabari suatu saat. Saya amat berhutang rasa, semoga Tuhan membalas kebaikan mereka. Lemah teles.
Siangnya, diantar Paklik, saya menuju Bandara. Mampir sebentar ke toko oleh-oleh, hendak membeli amplang–oleh-oleh primadona khas Kalimantan Selatan. Amplang Meilan adalah pilihan terbaik, meski harganya agak mahal dibanding merk lain.
Sesampainya di Bandara, saya melihat jamaah Haul Sekumpul memenuhi ruang tunggu, menunggu jadwal boarding. Langit Banjarbaru sedang cerah-cerahnya saat saya memasuki pesawat Pelita Air tujuan Bandara Soekarno Hatta.
Di ketinggian sekitar tujuh ribu kaki, sore mulai menggelayut. Rumah-rumah bergaya Bubungan Tinggi masih jelas terlihat. Dan Barito, sungai terbesar dan terluas di Tanah Borneo itu masih nampak gagah seperti cerita-ceritanya. Kenangan berceceran di jalanan.
Dari atas, kapal-kapal tongkang juga nampak hilir mudik, mengeruk dan mengangkut pasir Sungai Barito–salah satu jenis pasir sungai terbaik–sekaligus membuang tambang limbahnya di sana: mereka seperti tak pernah berpuas diri menghabisi bumi.