Kolomdesa.com, Kayong Utara – Pamor Pemerintah Desa Podorukun, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara mencuat setelah berhasil masuk dalam nominasi lomba tingkat desa nasional pada 4 September 2024 lalu. Desa ini merupakan salah satu rumah bagi kopi lokal varietas liberika yang cukup dikenal hari ini.
Kopi liberika merupakan salah satu komoditas unggulan kepunyaan Kayong Utara. Sejak tahun 2023, kopi liberika asal Kayong Utara resmi mengantongi Sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM RI. Kopi Liberika Kayong Utara juga menjadi salah satu dari 363 pendaftaran kekayaan intelektual yang diterbitkan oleh Kemenkumham.
Perolehan Sertifikat IG bertujuan untuk mendorong, mempromosikan, dan memberdayakan produk-produk yang memiliki tanda asal daerah dan kualitas khas yang terkait dengan faktor lingkungan geografis. Sudah lazim diketahui, kopi liberika merupakan salah satu pendongkrak kemajuan daerah di Kalimantan Barat.
Kelapa Desa Podorukun, Mukhlas mengatakan terdapat 11 program unggulan desa yang mencakup berbagai aspek vital dari ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan dan pencegahan stunting. Salah satunya adalah pembukaan lahan baru seluas 12 hektar untuk penanaman kopi liberika, diharap hal ini dapat menjadi suplai tambahan pendapatan Desa Podorukun.
“Saat ini kami sedang menyiapkan untuk lahan penanaman kopi liberika di belakang kantor desa. Luasannya sekitar 12 hektar,” ungkap Mukhlas kepada Kolomdesa.com, Selasa (24/9/2024).
Lahan tersebut juga menjadi salah satu target konservasi yang dilakukan oleh Komunitas Kopi Jalanan atau biasa disebut dengan Kopi Kojal. Lahan tak produktif ini merupakan kawasan mangrove. Mukhlas mengatakan, lahan tersebut baru dikaji ulang pada masa kepemimpinannya.
“Saya juga mengajak ibu-ibu PKK yang proaktif di desa untuk ikut kontribusi dalam reboisasi kopi liberika ini yang akan kami lakukan penyemaian pada bulan sepuluh besok,” ungkapnya.
Hingga saat ini, kopi liberika yang menjadi produk unggulan di Desa Podorukun telah dikembangkan seluas 81 ha yang digarap oleh Kelompok Cahaya Seponti.
Para petani pun menyeriusi budidaya kopi liberika dengan mengusulkan perlindungan varietas kopi lokal liberika pada November 2021 dan berhasil mendapatkan Tanda Daftar Varietas Tanaman dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian RI dengan penamaan varietas “Liberikayong”.
Kelompok tani tersebut mendapatkan pembinaan dan fasilitasi dari Kopi Kojal. Bantuan sarana prasarana pun datang datang dari Bank Indonesia dan Tropenbos serta Dinas Pertanian dan Pangan KKU.
Menurut Mukhlas, kopi liberika bisa berproduksi 40 ton per tahun dan telah berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Pembina Kopi Jago Jalanan atau Kojal, Gusti Iwan Darmawan pun membenarkan bahwa pendapatan petani kopi liberika dapat ditaksir sekitar 8 juta per bulan hanya dengan menjual buahnya saja.
“Dari angka 8 juta menurut saya itu sudah mencapai angka yang layak untuk kehidupan sebuah keluarga bisa cukup untuk makan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain,” kata Iwan.
Kopi liberika Kayong Utara memiliki ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya yaitu memiliki ukuran buah dan biji relatif lebih kecil dengan warna kuning hingga kuning keemasan dan memiliki kekhasan karakter aroma cempedak.
Di Kayong Utara, setidaknya terdapat 3 jenis kopi yang telah dibudidayakan sejak lama. Antara lain Liberika (Coffee Liberika varietas Lokal Liberika Young), Liberika Ekselsa (Coffee Liberica var. Dewevrei), dan Robusta (Coffea Canephora).
Citarasa yang mendominasi kopi liberika meliputi caramelly (karamel) serta spicy (pedas). Citarasa lain yang mungkin muncul adalah buah-buahan tropis seperti biji cempedak, apel hijau serta anggur, dengan sisa rasa tertinggal seperti kayu manis dan manis karamel seperti gula stevia.
Iwan mengatakan kopi liberika yang tumbuh subur di wilayah Kayong dimulai sejak adanya program transmigrasi pemerintah pada tahun 80-an. “Kopi ini dibawa dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur,” katanya pada Kolomdesa, Selasa (25/9/2024).
Kopi Liberika Kayong Utara saat ini dihasilkan di Desa Podorukun dari jenis kopi liberika dan ekselsa karena memiliki kesesuaian lahan yang sangat cocok di dataran rendah dan berada pada pinggiran DAS Seponti dan DAS Lida yang diperkaya dengan kawasan hutan mangrove serta kawasan gambut.
Menurut Iwan, kopi ini cocok ditanam di kawasan spesifik dataran rendah Kalimantan dengan kisaran ketinggian tempat berkisar antara 0 – 50 mdpl dengan kelerengan <14% dan didukung oleh formasi geologi “kuarter” mewakili kawasan pesisir Kalimantan Barat.
Kabupaten Kayong Utara memiliki tingkat curah hujan yang termasuk dalam kategori tinggi berdasarkan data yaitu berkisar antara 2098 – 3778 m per tahun. Berdasarkan data curah hujan menunjukkan bahwa Kabupaten Kayong Utara masuk dalam kategori pola equatorial yang dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodal atau dua puncak hujan.
Peran Kopi Kojal di Desa Podorukun
Kojal merupakan kependekan dari Kopi Jago Jalanan yang berdiri sejak tahun 2017 dan berkomitmen mempromosikan kopi dari petani lokal Kalimantan Barat dengan kopi varietas lokal yang telah dibudidayakan sejak dulu. Kelompok usaha ini menargetkan kopi-kopi lokal yang memiliki nilai konservasi.
“Tujuan kami mengembangkan kopi di Kalimantan Barat ini bukan untuk dagang saja namun kami akan membina warga untuk juga melakukan konservasi alam melalui kopi liberika ini,” kata Iwan.
Setidaknya, ada 5 kelompok yang terdiri dari kelompok tani dan kelompok hutan yang dibina langsung oleh Kopi Kojal. Desa Podorukun menjadi salah satu wilayah binaan Kopi Kojal dengan berfokus pada pelestarian mangrove dan lahan gambut.
Iwan bercerita, Kopi Kojal mencoba melakukan konservasi kopi liberika di Desa Podorukun karena memiliki tingkat kesesuaian lahan yang cocok. Meski sempat ragu sebab kopi liberika masih minim peminat dibanding robusta, Iwan optimis dengan bekal sumber daya alam yang cukup melimpah.
“Kami melakukan observasi dan memilih kopi liberika ini sebab sumber daya alamnya bagus tapi warganya masih belum mengetahui apa jenis kopi yang mereka tanam selama ini,” katanya.
Sebagai sarjana kehutanan, Iwan melakukan identifikasi tanaman kopi liberika secara mandiri. Ia observasi setiap aspek pohonnya lalu mensosialisasikannya pada petani.
“Jadi mereka tahu bahwa ini adalah kopi liberika lalu saya bimbing dan bina bagaimana cara merawatnya hingga proses panen,” beber Iwan.
Kopi Kojal memfasilitasi sarana prasarana berupa mesin pasca panen untuk poktan. Fasilitas tersebut mereka beli menggunakan dana hibah baik dari perbankan hingga Non-Organization Government (NGO).
Semenjak mendapat suntikan dana hibah, Iwan mengaku Kopi Kojal tak pernah kehabisan stok bibit. Melihat peluang tersebut, Kopi Kojal terus meningkatkan branding dari produk kopi liberika itu.
“Salah satunya kami melakukan campaign bernama landscape campaign,” katanya.
Landscape campaign merupakan upaya pemberian alternatif livelihood warga Desa Podorukun melalui kopi liberika. Desa Podorukun dikelilingi dengan lahan mangrove dan gambut, namun masyarakat masih bergantung pada penghasilan sawit.
“Dengan menjaga mangrove dan lahan gambut, petani sawit memiliki alternatif mata pencaharian dengan bertani kopi di sekitaran mangrove dan lahan gambut tersebut,” katanya.
Hingga saat ini, Kelompok Tani Cahaya Seponti masih aktif dalam budidaya kopi dan sudah memiliki pasar tetap di lingkup kecamatan dan kabupaten.
Untuk saat ini, Kopi Kojal dalam proses pembinaan dalam pembukaan lahan 12 hektar yang diadakan di Desa Podorukun. Rencana ini juga disokong oleh Tropenbos, NGO asal Belanda dengan memberi suplai persiapan pembibitan.
“Alhamdulillah kami sudah ada kerja sama dengan Tropenbos dan akan kami eksekusi pada bulan depan,” katanya.