Bank Sampah Desa Mandalahaji: Mengurai Masalah, Menjemput Harapan

Keberadaan Bank Sampah dari Dinas Lingkungan Hidup di Desa Mandalahaji cukup menyadarkan warganya untuk mengelola sampah lebih baik. Namun di balik itu, masih ada pekerjaan rumah untuk menyeriusi program ini.
Dewi, Kader Penggerak Bank Sampah di Desa Mandalahaji. Sumber: Dokumentasi Kolomdesa.com
Dewi, Kader Penggerak Bank Sampah di Desa Mandalahaji. Sumber: Dokumentasi Kolomdesa.com

Kolomdesa.com, Bandung – Sepetak gubuk kayu di tengah kebun pinus menjadi lumbung pengelolaan sampah di Desa Mandalahaji, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Sampah-sampah yang dikumpulkan diambil dari rumah ke rumah oleh relawan Bank Sampah.

Desa Mandalahaji termasuk dalam wilayah pegunungan. Selama menuju desa tersebut, terlihat bentangan gunung dan bukit dari kanan dan kiri. Sebagian besar wilayahnya cenderung berombak dan sedikit berbukit. 

Sehari sebelum ke desa, Tim Kolomdesa.com bertemu dengan salah satu pejabat Dinas Pemberdayaan Masyarakat Daerah Kabupaten Bandung. Ia mengaku, dari ratusan desa di Kabupaten Bandung, Desa Mandalahaji mempunyai potensi masyarakat yang progresif. 

Banyak warganya yang berkumpul dan membentuk komunitas. Dari komunitas perempuan, kesehatan hingga kelas lansia. 

Awalnya, kami beranggapan pernyataan tersebut normatif belaka. Cara basa-basi pemerintah daerah pada para pendatang, terlebih bagi mereka yang memiliki tujuan tertentu. Namun saat kami bertemu dengan warga peserta Desa Inklusif, pernyataan dan klaim-klaim tadi ada benarnya.

Kami bertemu dengan Dewi, yang saat itu menjadi salah satu kader Desa Inklusif yang diprogramkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dewi mengikuti sosialisasi bersama dengan 6 perempuan lainnya. 

Acara berlangsung hingga tengah hari. Untuk menggali informasi lebih dalam, kami berbincang dengan peserta perempuan. Mereka aktivis desa yang bergerak dalam beberapa bidang. Pada saat itu juga, kami mengetahui bahwa Dewi adalah penggerak pelestarian lingkungan Desa Mandalahaji melalui Bank Sampah. 

Dewi bercerita bagaimana proses perjuangannya mengelola bank sampah tersebut. Kolomdesa.com tertarik untuk mendalaminya. Memisah dengan forum, kami bergeser menuju lokasi Bank Sampah yang letaknya tak jauh dari Kantor Desa Mandalahaji. 

Saat dibentuk oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung, Dewi dan satu temannya diminta untuk berkunjung ke Bappeda Kabupaten Bandung. Untuk menyatakan kesanggupannya sebagai Koordinator Kampung Bebenah Desa Sejahtera atau Bedas, program unggulan Bupati Bandung yang menjabat saat ini.

Dewi bersepakat menjadi bagian dari program tersebut dan mengikuti berbagai pelatihan bersama dengan 9 relawan lainnya. Pada hari pertama, dibentuklah keanggotaan Bank Sampah Mandiri dan study banding ke Desa Wangisagara, lokasi Bank Sampah Induk yang membawahi beberapa wilayah di Kabupaten Bandung.

Mereka belajar mengenal jenis-jenis sampah, tata cara pemilahan dan perawatan. Selain itu, DLH memberikan edukasi tata kelola administrasi Bank Sampah.

“Tahun kemarin juga ada pelatihan dari dinas tentang pengelolaan sampah dan kemarin tanggal 25 Juli kami ada pelatihan tentang pengelolaan sampah basah dan budidaya magot,” kata Dewi kepada Kolomdesa.com pada Senin (5/8/2024).

Keterbatasan dan Dilema

Bank Sampah Desa Mandalahaji: Mengurai Masalah, Menjemput Harapan
Sampah-sampah telah dipilah dan ditimbun di Bank Sampah Desa Mandalahaji. Sumber: Dokumentasi Kolomdesa.com

Sesampainya di lokasi Bank Sampah, nampak bangunan masih sangat sederhana. Hanya ada meja tempat kardus-kardus bekas, dan atap dari bambu untuk menyimpan botol-botol yang sudah dipilah. Sebagai identitas, banner nama dan struktur organisasi juga menggantung di antara bangunan bambu. 

Tiap hari Minggu, relawan Bank Sampah sudah bersiap berkeliling dan menjemput sampah di rumah-rumah warga. Mereka menyebar dari pukul 8 pagi hingga menjelang sore. 

Sampah-sampah yang telah dikumpulkan, dipilah di bank sampah oleh para relawan. Kardus, botol dan gelas plastik bekas dipilah masing-masing, sedangkan kantong plastik dan dedaunan kering dibakar memakai tungku pembakaran sampah. 

Dewi mengatakan, relawan masih belum dapat memperluas jangkauan. Selain masih menggunakan kendaraan pribadi, kapasitas SDM masih sangat terbatas.

Bank Sampah Desa Mandalahaji: Mengurai Masalah, Menjemput Harapan
Relawan Bank Sampah Desa Mandalahaji sedang menjemput sampah dari rumah warga. Sumber: Dokumentasi Dewi.

“Karena kami belum punya pengangkut yang memadai, masih menggunakan motor biasa, juga terkendala tempat yang ibu tahu sendiri seperti apa keadaannya,” kata Dewi sambil tersenyum.

Selain keterbatasan sarana, Dewi sempat mengeluhkan fluktuasi harga. Tak hanya sekali dua kali, relawan acap kali mengalami kerugian. 

“Pas kami ambil dari rumah warga harganya masih naik, lah pas disetor ternyata harganya lagi anjlok, jadi rugi banyak teh,” katanya. 

Tak bisa dinafikan, relawan bank sampah masih mencari celah keuntungan dari penjualan sampah. Bank Sampah Induk di Desa Segara Wangi pula masih belum menawarkan solusi apapun. 

“Jadi kami kadang cari uang dari mana aja selain penghasilan setor sampah ini,” bebernya. 

Setidaknya ada 4 RW yang warganya sudah berlangganan menjadi nasabah Bank Sampah Desa Mandalahaji. Sampah yang mereka setorkan ditimbang langsung di depan warga yang bersangkutan. Kata Dewi, 50 dari 60 orang masih aktif setor sampah.

Bank Sampah Desa Mandalahaji: Mengurai Masalah, Menjemput Harapan
Nasabah Bank Sampah yang sedang mengambil tabungannya. Sumber: Dokumentasi Relawan Bank Sampah.

Uang hasil penyetoran dapat ditabung. Warga dapat mengambil penghasilannya minimal setelah tabungan mengendap selama satu bulan. Namun jika sedang terdesak, tabungan tersebut dapat diambil sewaktu-waktu.

Sampah-sampah dihargai mulai dari Rp. 2 ribu, tergantung dengan jenisnya. Jika harga sedang bagus, setidaknya relawan mendapat keuntungan untuk kas mereka. Namun jika harga sedang anjlok, mereka bisa rugi dua kali lipat.

Tak hanya harganya yang naik turun tak tentu, lanjut Dewi, banyak pengepul sampah yang menjadi pesaing relawan. Iklim persaingan yang tumbuh di antara keduanya tidak lepas dari imbas relawan belum mendapatkan upah dari penyelenggara program.

“Mau mundur sudah terlanjur basah, Te,” akui Dewi. 

Berharap Dukungan Intens Pemerintah

Dewi mengaku, relawan bank sampah masih membutuhkan dukungan materi dari pemerintah untuk mendukung operasional bank sampah. Tak hanya sebatas pelatihan dan dukungan moral saja. 

Dewi bercerita, bahwa Dinas Lingkungan Hidup saat ini hanya menyumbang tungku pembakaran saja. Bahkan gubuk bank sampah tersebut merupakan swadaya dari relawan. 

Bank Sampah Desa Mandalahaji: Mengurai Masalah, Menjemput Harapan
Struktur organisasi Bank Sampah Mandiri. Sumber: Dokumentasi Kolomdesa.com.

Hal lain yang masih membuatnya khawatir, bank sampah tersebut masih berdiri di atas tanah milik warga yang mana sewaktu-waktu dapat diminta kembali. 

“Apalagi anaknya baru menikah kemarin, saya teh ketar ketir. Kalau diminta ini sampahnya mau dipindah kemana,” katanya. 

Dewi sempat menyinggung bahwa anggota relawan bank sampah pun sempat naik turun semangatnya. Namun, dia masih optimis kelompoknya dapat bertahan lebih lama lagi. 

Saat ditanya apa yang memotivasinya, dengan santai Dewi menjawab bahwa ia senang lingkungan desanya lumayan lebih bersih dari sebelumnya. Warga pun sedikit demi sedikit sadar bagaimana menjaga lingkungan. 

“Awalnya saya prihatin melihat lingkungan ini banyak sampah berserakan dimana-mana. Padahal itu bisa jadi uang kalau mau diproses lagi,” katanya. 

Kata Dewi, dirinya tak mempunyai pengalaman sama sekali. Kesehariannya hanya menjadi ibu rumah tangga dan kader posyandu. 

“Gak pernah tahu beginian, taunya cuma nimbang dan ngukur balita, sama pendataan kesehatan aja,” pungkasnya. 

Editor: Rizal K 

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Inovasi Lainnya