Mengenal Lontar Dharma Caruban, Kuliner Bali Jaman Dulu

Share This Post

Kolomdesa.com, Buleleng – Dalam agama Hindu, Lontar Dharma Caruban adalah sebuah teks yang memiliki peran penting dalam tata cara mengolah makanan. Lontar ini tidak hanya memberikan petunjuk tentang proses memasak untuk keperluan upacara, tetapi juga untuk konsumsi sehari-hari. Di Bali, di mana kehidupan agama Hindu sangat kuat, Lontar Dharma Caruban dijadikan sebagai panduan utama dalam menyajikan hidangan. Setiap langkah dalam persiapan makanan, mulai dari pemilihan bahan hingga penyajian akhir, diatur sesuai dengan ajaran yang tertuang dalam lontar ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kepatuhan terhadap tata cara adat dalam menjaga kebersihan, kesucian, dan kesakralan setiap hidangan yang disajikan dalam konteks keagamaan Hindu.

Dharma Caruban berasal dari kata “Dharma” yang berarti tata cara dan “Caruban” yang berarti mencampur. Gabungan kata ini mengandung makna sebagai panduan atau tata cara pengolahan yang dianggap disukai oleh para dewa. Teks ini tidak hanya menjelaskan tentang proses pengolahan makanan, tetapi juga mencakup penjelasan mendetail mengenai bahan-bahan yang digunakan dalam proses tersebut. Selain itu, Dharma Caruban juga mengandung mantra-mantra yang harus diucapkan atau dipanjatkan selama mengolah makanan, untuk memastikan kesucian dan kesakralan dari setiap hidangan yang disajikan dalam upacara keagamaan Hindu.

Dalam upaya mempertahankan Lontar Dharma Caruban, Mahasiswa Bali mengadakan Pameran Kewirausahaan yang kali ini diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Bali Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali. Pameran ini menampilkan berbagai macam makanan yang diolah berdasarkan resep-resep tradisional yang terdapat dalam lontar tersebut, yang diwariskan oleh leluhur mereka. Acara ini diadakan pada Kamis, 4 Juli 2024, sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan budaya dan spiritual dalam konteks kuliner Hindu Bali, serta untuk mempromosikan kewirausahaan di kalangan mahasiswa.

Pameran sederhana itu dilakukan oleh mahasiswa semester 4 (empat) program studi Bahasa Bali, dan siapa saja yang datang ke pameran tersebut boleh makan sepuasanya dengan sistem bayar seikhlasnya (ngajeng sajang kapnyane naur saka ledang). Sungguh sistem yang mengenyangkan.

Mereka menampilkan beberapa produk makanan yang diolah berdasarkan ajaran atau resep dari lontar Dharma Caruban—secara sederhana dapat dikatakan: lontar resep makanan—sebagaimana mereka ditugaskan untuk itu. Masing-masing dari mereka dibagi menjadi lima tampekan (kelompok). Terdiri dari tampekan jaje, tampekan be, tampekan jukut, tampekan ajengan, dan tampekan minuman.

Seperti prasmanan atau sebuah kantin yang menyediakan makanan berat, di meja ruang pameran itu tersedia menu makanan yang sudah siap disantap, dengan berbagai macam menu makanan lokal.

Setiap tahun, Prodi Pendidikan Bahasa Bali memang rutin menggelar pameran dengan skala kecil. Pameran itu sebagai implementasi tugas akhir dari mata kuliah kewirausahaan berbasis kearifan lokal berdasarkan literatur Bali yang dipilih pada semester IV.

Dalam hal ini, mereka juga memiliki moto yang diambil dari paribasa (pribahasa) Bali dengan filosofi “Be Cotek” (ikan cotek). Cotek sambung layur, cenik lantang, lais tileh. Artinya, ketika ikan kecil disambung, dalam kuantitas, maka akan sama saja ukurannya dengan ikan layur.

Dengan kata lain, meski mendapat keuntungan sedikit, tapi bila terus berlanjut maka akan sama saja hasilnya, seperti usaha yang untungnya besar. Begitu juga dengan informasi keluar, meski dilakukan dari mulut ke mulut, maka akan sampai juga kepada target.

Ayam suir sambal matah, ayam suir sambal serai, sayur nangka, dan pisang goreng, serta daluman (cincau), menjadi menu masakan yang dihidangkan. Makanan tersebut tentu tak kalah menggodanya dengan makanan di etalase restoran modern.

Kemudian, ada olahan sate, lawar, sayur, jajanan, serta ada pula yang disebut dengan Tri Rasa, atau tiga bahan yang dimasak menjadi satu-kesatuan. Konsep tri rasa dalam lontar Dharma Caruban itu diadaptasi dan disederhanakan melalui olahan yang dekat dengan keseharian masayarakat sekarang.

“Jika mengikuti resep yang tercatat dalam lontar, mungkin akan rumit karena itu resep kuno. Maka kami adaptasi dan sederhanakan dengan menu ini, agar mahasiswa juga memiliki gambaran mengenai Tri Rasa seperti dalam lontar,” ungkap Ida Bagus Putra Manik Aryana, Dosen pengampu mata kuliah Kewirausahaan, Bahasa Bali, Undiksha Singaraja, Kamis (4/7/2024) pagi.

Menariknya, mereka memasak tanpa bahan pengawet dan bahan penyedap rasa (msg). Tetapi, apakah bisa jika makanan yang diolah berdasarkan Lontar Dharma Caruban yang kuno itu, bersaing dengan makanan kekinian yang lebih dominan mengandalkan rayuan penyedap rasa sekarang?

Bagus Putra menanggapi pertanyaan tersebut dengan sangat cermat. “Melalui pameran ini, tujuannya memang untuk itu—memantik jiwa berwirausaha mahasiswa. Ini implementasi ilmu yang telah mereka pelajari dari lontar Dharma Caruban di kampus,” ujar Bagus Putra. Karena, kata Bagus Putra lagi, lontar itu adalah lontar kuliner, yang mencatat resep-resep tradisional masyarakat Bali.

Dalam lontar terserbut, ada beberapa rempah yang berperan sebagai pencipta rasa. Dalam perbumbuan Bali berdasarkan lontar Dharma Caruban, rempah-rempah itu memiliki formula. Ada formula Meme, Bapa, Wayan, Made, Nyoman, Ketut. Meme adalah bawang merah yang diibaratkan sebagai ibu atau pertiwi dengan simbolisasinya berwarna merah serupa dengan warna tanah. Bapa adalah kesuna atau bawang putih yang diibaratkan sebagai bapak/ayah atau akasa atau awan dengan simbolisasinya berwarna putih.

Meme dan Bapa ini memiliki 4 anak dengan formulanya sendiri. Wayan adalah Isen, Made adalah jahe, Nyoman adalah cekuh dan Ketut adalah kunyit. Jika makanan itu bersumber dari laut, maka Wayan atau isen (lengkuas) mengambil peran yang lebih dominan. Dan jika bahannya daging, maka jahe yang lebih dominan.

“Jika makanan itu bersumber dari laut, misalnya, maka isen atau lengkuas mengambil peran lebih dominan sebagai bumbu. Sementara jika bahannya dari daging, maka jahe yang lebih dominan,” ucap Bagus Putra.

Dengan pola yang seperti itu, maka makanan ini menyebabkan tubuh sehat. Secara tidak langsung ada obat herbal berupa rempah yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Rempah manfaatnya juga untuk menghancurkan kolestrol. “Ada virus dan bakteri yang bisa dihancurkan juga oleh rempah itu,” tutur Bagus Putra.

Lontar Dharma Caruban juga memiliki resep-resep makanan yang disajikan kepada raja-raja dan dewa-dewa. “Dan ini biasanya diperuntukan untuk upcara-upacara. Yang kemudian kami adaptasi untuk bisa dinikmati (bersama),” lanjutnya.

Menurut Bagus Putra, lontar Dharma Caruban juga berkaitan dengan lontar Ajengan Pawetonan. Pada lontar itu diatur mengenai resep-resep kuliner yang dapat dinikmati oleh seseorang dengan karakter tertentu.

“Dasarnya adalah Dharma Caruban tetapi dimuatnya dalam Ajengan Pawetonan, yang bertujuan  untuk meredam karakter tertentu dalam diri manusia. Jadi itu mengkhusus, dan hanya orang-orang dengan karakter khusus yang boleh mengonsumsinya,” imbuhnya.

Sampai di sini, di balik makanan yang dihasilkan, ternyata mengandung kisah yang menarik—bernilai sejarah. Apalagi sangat menyehatkan. Tiada yang tahu, suatu saat, manusia akan kembali pada naluri hidupnya dalam memilih makanan, selain sehat juga pada yang lebih sederhana. Siapa yang tahu?

Editor: Muhklis

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya