Mallanca Tradisi Unik Masyarakat Suku Bugis

Tradisi Malanca Sumber Foto: X @kodimbone
Tradisi Malanca Sumber Foto: X @kodimbone

Share This Post

Kolomdesa.com, SULAWESI SELATAN – Indonesia kaya akan berbagai tradisi. Semua tradisi itu memiliki makna filosofis tertentu. Salah satunya seperti tradisi Mallanca atau adu betis yang dilakukan oleh Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Tradisi Mallanca digelar setelah panen raya. Tujuannya sebagai bentuk rasa syukur untuk mengenang jasa para leluhur yang telah menjaga kerajaan Gowa. 

Tradisi ini diselenggarakan di makam Gallarang Moncongloe. Makam tersebut merupakan makam leluhur desa Moncongloe yang merupakan paman dari Raja Gowa, Sultan Alauddin.

Asal Usul Mallanca

Mallanca berasal dari bahasa daerah ‘lanca’ yang artinya menyepak dengan menggunakan tulang kering. Sementara itu yang menjadi sasaran yaitu ganca-ganca artinya bagian kaki diatas tumit. Sehingga, tradisi ini dikenal dengan istilah tradisi ini adu betis.

“Permainan adu betis ini bukan merupakan sebuah perlombaan yang memiliki pemenang, karena setiap orang mendapatkan lawan yang seimbang. Garis besar dari A’lanca atau Mallanca atau adu betis ini sebatas hiburan tradisional yang wajib kita jaga,” kata Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros, Rosmiati.

Pelaksanaan Tradisi Mallanca

Ada beberapa ritual yang harus dilakukan sebelum melakukan Mallanca. Salah satunya adalah peserta terlebih dahulu melakukan mabaca-baca atau berdoa kepada Tuhan untuk memohon kelancaran dalam melaksanakan Mallanca. 

Pembacaan doa dipimpin oleh para sesepuh yang dipercaya dan ditokohkan oleh masyarakat setempat. Setelah selesai ritual sesajen dan mabaca-baca, masyarakat bersiap-siap menggelar permainan Mallanca. 

Mallanca Tradisi Unik Masyarakat Suku Bugis
Tradisi Mallanca, Sumber Foto: X @kodimbone


Dilaksanakan di Dua Daerah di Sulawesi

Tradisi Mallanca dilakukan di dua daerah Sulawesi yaitu, di Kecamatan Moncongloe dan Kecamatan Tompobulu. Untuk pelaksanaan dan tujuan yang sama saja hanya saja tahapan dan tempatnya berbeda.

Tradisi di kecamatan Moncongloe ini juga diadakan di dekat makam Gallarang Moncongloe yakni, makam dari paman Raja Gowa, Sultan Alauddin.

Sedangkan di Kecamatan Tompobulu tradisi adu betis ini diawali dengan ziarah makam para nenek moyang atau leluhur. Tujuannya untuk menghormati jasa-jasa para tokoh adat yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Usai melakukan ritual sesajen berupa nasi, ayam kampung utuh, sengkolo (beras ketan), kapur dan sirih yang dibawakan ibu-ibu masyarakat setempat dan kemudian mabaca-baca yang dipimpin oleh sesepuh setempat, setelah masyarakat itu setempat melakukan aktivitas makan bersama. 

Selanjutnya, warga setempat membentuk sebuah lingkaran di sekitar makam Gallarang Moncongloe sebagai arena untuk mengelilingi peserta yang melakukan permainan adu betis. Adapun peserta adu betis ini terdiri dari dua tim, masing-masing masih tim terdiri dari dua orang yang saling beradu kekuatan betisnya.

Dalam permainannya, masing-masing peserta memiliki dua kesempatan menendang betis lawan. Sehingga total dalam satu tim mempunyai empat kali kesempatan menendang betis lawan secara bergantian. Tradisi permainan ini berlangsung selama empat jam, yakni mulai siang hingga sore. 

Selanjutnya tradisi ini juga dilakukan di Kecamatan Tompobulu. Tradisi ini populer dengan sebutan A’Lanca. Tradisi ini berlangsung hanya satu tahun sekali setelah panen. Sebelumnya, masyarakat setempat mengawali dengan ziarah ke makam leluhur. 

Setelah itu masyarakat berkumpul kembali ke persawahan dan membentuk lingkaran untuk membentuk sebuah arena perlombaan yang mengelilingi empat peserta yang akan bermain adu betis secara bergantian.

“Agenda seperti ini masih terus dilaksanakan oleh masyarakat dalam serangkaian pesta adat untuk menyambut masa panen warga dan mensyukuri hasil panen masyarakat” kata Nasrudin camat Tompobulu dikutip dari facebook @visit_maros

Biasanya tradisi ini dirayakan saat bulan Agustu bertepatan dengan musim panen raya serta bersamaan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia.

Selesai makan bersama masyarakat berkumpul membentuk lingkaran sebagai arena para pemain. Dalam tradisi ini satu tim terdiri dari dua orang jadi dalam satu kali permainan ada empat orang atau dua tim yang akan saling bergantian mengadu betisnya.

Adapun cara bermain tradisi ini yaitu kaki dua orang membentuk kuda-kuda dan kaki yang satunya diapit dengan kaki satu pengatur. Tugas tim lawan tendangan betis yang sudah diapit sebanyak dua kali. Satu peserta memiliki jatah tendangan lawan sebanyak dua kali. Sehingga dalam satu tim mempunyai kesempatan menendang empat kali kepada tim lawan secara bergantian.

Nilai-nilai Luhur Tradisi Mallanca

Pada Tradisi Mallanca, kita dapat menyaksikan dengan jelas betapa dalamnya nilai luhur yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Bugis, terutama dalam hal kekeluargaan dan gotong-royong. Setiap tahap persiapan acara dilaksanakan secara kolektif oleh seluruh warga, menunjukkan betapa kuatnya rasa kebersamaan di antara mereka.

Persiapan dimulai jauh-jauh hari, di mana setiap individu memiliki peran masing-masing. Bapak-bapak biasanya bertanggung jawab dalam mendirikan panggung, menghias tempat, dan memastikan segala sesuatu berjalan lancar dari segi teknis. Anak-anak muda seringkali membantu dengan antusias, memperlihatkan semangat gotong-royong yang telah diwariskan turun-temurun.

Peran ibu-ibu dalam acara ini tidak kalah pentingnya. Mereka secara sukarela datang membawa aneka jenis makanan ke lokasi acara. Makanan yang dibawa bukan hanya untuk anggota keluarga mereka, tetapi juga untuk dibagikan kepada semua orang yang hadir. Ibu-ibu ini biasanya menyiapkan hidangan khas daerah dengan penuh cinta dan perhatian, memastikan setiap tamu bisa menikmati sajian yang lezat dan bergizi.

Ketika acara berlangsung, suasana menjadi meriah dan penuh kehangatan. Tidak ada perbedaan antara penonton dan peserta, semua orang dipersilakan untuk menyantap makanan yang telah disediakan. Inilah wujud nyata dari semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang mengakar dalam budaya masyarakat suku Bugis. Nilai-nilai luhur ini menjadikan acara tersebut tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya kebersamaan dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Keharmonisan ini mencerminkan betapa masyarakat Bone sangat menghargai dan menjaga warisan nilai-nilai luhur mereka, memastikan bahwa tradisi tersebut tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang.

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya