Manfaatkan Mata Air, Desa Tepian Terap Penuhi Kebutuhan Listrik Mandiri 

Desa Tepian Terap, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur berhasil mengembangkan inovasi pembangkit listrik secara mandiri dengan memanfaatkan potensi alam berupa mata air bernama Jiwata. Dengan inovasi ini, mereka dapat menikmati listrik 24 jam dan perekonomian warga desa terus berjalan.
Turbin untuk PLTMH di Desa Tepian Terap. Sumber foto: Istimewa

Kolomdesa.com, Kutai Timur – Warga Desa Tepian Terap, desa terpencil di Kabupaten Kutai Timur berhasil menikmati listrik 24 jam. Sebelumnya, desa ini tidak mendapatkan jaringan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebab akses menuju desa sangat terbatas. 

Desa ini memiliki luas 77.778,72 hektar. Untuk mengunjunginya, harus menempuh perjalanan darat selama 5 jam dengan jarak 155 km dari Kota Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur.  

Sementara jika dari pusat kecamatan, diperlukan waktu sekitar 45 hingga 60 menit perjalanan untuk menempuh jarak 25 km menggunakan kendaraan motor. Setelah itu, dilanjut dengan transportasi sungai berupa speed bot, kapal ferry, ketinting atau perahu tempel yang mampu memuat kendaraan. 

Desa Tepian Terap dihuni oleh mayoritas Masyarakat Adat Dayak Basap. Meski berada di daerah terpencil, desa ini memiliki kekayaan alam berupa mata air Jiwata yang telah berhasil dikembangkan sebagai sumber tenaga listrik di desa tersebut. 

Desa Tepian Terap Sebelum Inovasi

Masih banyak pemukiman atau desa di wilayah terpencil Kalimantan Timur masih yang belum tersentuh akses kebutuhan dasar seperti listrik. Luasnya wilayah serta akses jalan yang minim membuat persentase elektrifikasi nyaris tak pernah mencapai target.

Misalnya di Kabupaten Kutai Timur, rasio elektrifikasi untuk jaringan PLN saja hanya mencapai 82,17 persen. Ini mengindikasikan, jika secara keseluruhan rasio tersebut di atas 90 persen, maka cukup banyak wilayah yang memenuhi sumber listriknya tidak dari PLN.

Pemerintah desa di kawasan yang tidak tersentuh jaringan listrik itu tentu harus mengeluarkan ongkos lebih besar agar pemukiman mereka terang. Mereka menggunakan mesin generator berbakar solar untuk memenuhi kebutuhan listrik sehari-hari. 

Selain lumayan merogoh kantong, penggunaan solar pada mesin genset – sebutan awam masyarakat cukup boros dan tidak ramah lingkungan. Tak tanggung, biaya yang dibebankan kepada setiap rumah dapat menyentuh Rp 1 juta per bulan. Belum lagi kelangkaan solar yang sering melanda.

Kepala Desa Tepian Terap, Eko Sutrisno mengungkapkan, penggunaan listrik hanya berkisar pada pukul 6 hingga 12 pagi saja. Dari rentang waktu tersebut, setiap mesin memakan 3 hingga 4 liter solar. “Pada waktu itu harganya lumayan tinggi, 50 ribu untuk jam 6 hingga jam 12 saja,” katanya. 

Dengan kondisi seperti itu, pemerintah desa bersama warga Desa Tepian Terap mulai memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki desa itu berupa sumber mata air bernama Jiwata. Debit airnya cukup deras, bahkan tak berhenti mengalir bahkan saat musim kemarau sekalipun. 

“Awalnya sumber mata air itu hanya digunakan sebagai sumber mata air bersih. Lalu tahun 2010 kami mencoba pengembangan inovasi mata air jadi pembangkit listrik berupa kincir angin atau turbin,” kata Eko. 

Dari Kincir Angin Hingga Pembangunan PLTMH

Manfaatkan Mata Air, Desa Tepian Terap Penuhi Kebutuhan Listrik Mandiri 
Turbin untuk PLTMH di Desa Tepian Terap ini mampu mengaliri listrik ke seluruh warga desa. Sumber foto: Istimewa.

Melalui program PNPM Mandiri, lanjut Eko, pemerintah desa bersama warga setuju untuk membangun kincir angin sebagai sumber energi listrik. Proyek kincir angin ini terealisasi melalui sumbangan swadaya dari masyarakat setempat. 

Inisiasi pemerintah desa membangun kincir angin sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2006 dan dimatangkan pada tahun 2008 hingga akhirnya terealisasi pada tahun 2010. Kincir air tersebut dilengkapi dengan dinamo dan aliran listrik menuju rumah-rumah warga. 

Setelah disiapkan secara matang, pengoperasian kincir angin berhasil dan memuaskan. Dinamo bergerak dan menghasilkan energi listrik. Namun di pertengahan jalan, ternyata kincir air tersebut tidak mampu menahan debit air yang terlalu deras dan akhirnya mengalami kerusakan. 

“Meskipun dinamo sempat berputar sebentar dan aliran listrik berhasil mengalir ke rumah-rumah warga, namun hanya berlangsung selama dua jam,” ungkapnya. 

Kegagalan percobaan kincir air membuat pemerintah desa bersama warga tidak patah arang. Mereka mencari cara agar desanya tetap terang, dengan melakukan riset kecil-kecilan dengan mengakses informasi di media sosial.

“Bahkan kami mencari di youtube, daerah mana saja yang memanfaatkan aliran air untuk pembangkit listrik. Akhirnya sekitar 2013 2014, ketemu dengan teknologi pembangkit mikro hidro. Kami gali terus soal itu,” kata Eko.

Selain itu, pemerintah desa meminta bantuan pihak kecamatan dan kabupaten untuk menghubungkan ke pembuat turbin. Usaha mereka tidak sia-sia, teknisi dari Blitar didatangkan untuk melihat langsung kondisi debit air dari mata air Jiwata. 

Teknisi tersebut kemudian mendukung rencana Pembangunan PLTMH karena konsistensi debit aliran air. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pun dibuat. Pendanaan berasal dari Dana Desa, CSR perusahaan sawit di sekitar desa, dan kumpulan dana swadaya masyarakat.

Akhirnya pada tahun 2015, kemandirian energi itu terwujud. Bahkan terus beroperasi dengan baik hingga saat ini. Pengelolaanya diserahkan ke BUMDes Jiwata Energi milik Pemerintah Desa Tepian Terap.

Listrik yang dihasilkan cukup besar. Hanya dengan satu trafo, mampu mengaliri listrik ke 300 rumah. Voltase yang dihasilkan dari tiga fase 380- 400 Volt. Untuk yang satu fase menghasilkan 220- 230 volt. Daya maksimum per hari ini sudah menghasilkan 150 KVA.

“Karna jumlah konsumen semakin banyak, maka kami harus menambah dayanya. Sekarang saja sudah 150 KVA dan akan ditambah lagi,” kata Eko. 

Jaringan yang digunakan adalah jaringan tegangan menengah atau biasa disebut Jaringan TM. Ini dipilih untuk mengantisipasi hilangnya arus atau daya saat dialirkan.

Karena jarak antara sumber daya dengan konsumen kurang lebih 3 kilometer.

Aliran listrik ke rumah-rumah menggunakan tiang kayu ulin. Sementara BUMDes menyediakan secara gratis meteran listrik. Tak ada pungutan biaya lain yang dikeluarkan untuk sambungan baru.

Harga listrik per ampere hanya Rp 100 ribu. Untuk ukuran rumah tangga sederhana, 1 ampere saja cukup. Namun untuk rumah tangga besar bisa menggunakan 2 ampere dengan harga dua kali lipat.

“Untuk warga yang kurang mampu kami subsidi,” kata Eko.

Dampak yang Dirasakan 

Eko mengungkapkan, dampak yang dirasakan setelah adanya PLTMH sangat membantu. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, adanya listrik 24 jam di Desa Tepian Terap juga menyokong perekonomian warga. 

“Perekonomian keluarga berjalan. Mereka membuat es, makanan yang dijual di sekolah-sekolah, cukup ringankan beban kami,” kata Eko. 

Omzet yang diperoleh juga besar. Pemerintah desa dapat meraup keuntungan bersih hingga mencapai 130 juta per tahun. Hasil itu cukup untuk dialokasikan pada pengembangan PLTMH seperti perawatan sparepart dan operasional turbin hingga pembangunan desa. 

“Pembangunan desa juga dari hasil ini, baik fisik maupun sosial,” ungkapnya. 

Eko berharap, pengembangan inovasi sumber mata air Jiwata masih dapat direalisasikan. “Kami ada rencana untuk membuatkan air dalam kemasan dari sumber mata air ini, masih dalam tahap perencanaan,” pungkasnya. 

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Inovasi Lainnya