2 Desa di Grobogan Puluhan Tahun Hidup Tanpa Listrik

Belasan kepala keluarga (KK) yang tinggal di dua desa, Kabupaten Grobogan, Jawa Tenagh hidup terisolasi selama puluhan tahun. Foto : Rustaman Nusantara
Belasan kepala keluarga (KK) yang tinggal di dua desa, Kabupaten Grobogan, Jawa Tenagh hidup terisolasi selama puluhan tahun. Foto : Rustaman Nusantara

GROBOGAN – Sembilan belas Kepala Keluarga di Desa Sugihmanik dan Desa Kedungjati Kecamatan Tanggungrejo dan Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan hidup terisolasi selama 60 tahun. Mereka selama ini hidup tanpa listrik dan kurangnya akses jalan membuat mereka bertaruh nyawa melintasi jalur ekstrem di perlintasan kereta api yang masih aktif.

“Sebetulnya berkaitan warga desa terpencil itu masuknya Dusun Rejosari karena itu berdomisili di tanah PJKA bukan tanah desa. Saya sarankan untuk kembali ke Dusun Rejosari sehingga kalau ada kebutuhan apa dengan warga itu bisa dimasukkan ke program-program. Tapi saya tetap perhatian terhadap mereka. Dulu pernah saya bantu genset dan itu bermanfaat,” ujar Kepala Desa Sugihmsnik Imam. Selasa (7/5/2024).

Lanjut dia karena akses menuju pedukuhan, yakni Dukuh Kramat, Ngambakrejo, Desa Sugihmanik serta beberapa pedukuhan di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati tidak bisa dilalui kendaraan. Pihak desa berupaya memberikan bantuan genset kepada warga yang terisolasi untuk digunakan sebagai penerangan.

Sugihmanik menambahkan, Kecamatan Tanggungharjo telah mengusulkan untuk pengadaan listrik. Usulan tersebut, kata dia tidak bisa terlaksana.

Salah satu warga Dusun Ngambakrejo Sati, Desa Sugihmanik menuturkan, telah terbiasa hidup tanpa listrik. Dia menyadari, akses untuk masuk ke pedukuhan ini sangat sulit dan harus melewati jalur berbahaya.

Dia mengungkapkan, ada beberapa warga yang enggan untuk pindah karena ini merupakan tanah warisan turun-temurun yang harus dijaga dan dirawat. Ada juga warga yang bersedia untuk relokasi asalkan telah disediakan tempat oleh pemerintah.

“Saya bertani menanam jagung. Penghasilan dari situ,” ujar Sati.

Dia menyampaikan, sejak 2017 warga mulai beralih dari lampu petromaks ke tenaga surya. Untuk bisa mendapatkan alat penyerap tenaga surya, mereka harus membeli seharga Rp2,5 juta.

Seluruh panas yang diserap oleh alat tenaga surya ini kemudian disimpan ke dalam aki dan dialirkan ke seluruh lampu. “Ini baru ada tenaga surya, beli sendiri,” ucapnya.

Sutiyo, warga Dukuh Kramat, Desa Sugihmanik menjelaskan, arus listrik yang tersimpan di dalam aki hanya bisa digunaan selama beberapa hari saja. Saat hujan deras turun beberapa hari, warga khawatir karena arus listrik yang tersimpan di dalam aki akan semakin melemah dan akhirnya habis.

Untuk menghemat arus listrik, warga mesti mengurangi beban jumlah lampu yang menyala. Meski kondisi arus penuh, listrik juga tidak bisa digunakan untuk aktivitas lain seperti menyalakan televisi, kulkas dan barang elektronik lainnya karena akan semakin mempercepat pelemahan arus.

“Ini listrik menggunakan tenaga surya,” ucap Sutiyo.

Selama ini warga bertahan hidup dengan mengandalkan sektor pertanian mengelola lahan milik perhutani. Mereka menanam jagung dan ketela untuk dijual ke pasar serta berternak sapi dan kambing. Warga berharap agar pemerintah bisa memberikan solusi untuk warga dengan membuka lahan untuk akses jalan sehingga aktivitas warga bisa menjadi lancar dan listrik bisa mengalir ke seluruh rumah di tengah hutan ini.

Penulis : Moh. Mu’alim
Editor : Habib

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *