Menyuarakan Kembali Seni Turunani dari Kawasan Pelosok Transmigran Gorontalo

Kesenian Turunani yang dipentaskan oleh masyarakat Gorontalo. Sumber Foto: Kemendikbud.co.id
Kesenian Turunani yang dipentaskan oleh masyarakat Gorontalo.

Malam itu, tujuh orang melingkar di sebuah ruang tamu milik Aziz Habib, salah satu pendamping desa di Bukit Aren, Gorontalo. Mereka memakai baju kurung berwarna putih. Diantaranya, dua laki- laki tengah memainkan marawis. Sisanya adalah empat perempuan yang menyanyikan syair sholawat. Begitulah suasana permainan seni musik Turunani di Desa Bukit Aren. Seni atraksi ini mirip dengan seni hadrah yang eksis di Pulau Jawa.

 

 

Idealnya, seni Turunani dimainkan oleh satu kelompok yang terdiri dari 6 hingga 10 personil. Masing- masing memiliki peran yang berbeda- beda. Umumnya, 2 personil bertugas sebagai penari, sisanya bertugas sebagai penabuh marawis dan penyanyi syair sholawat.

 

Tarian yang dimainkan bersamaan dengan seni Turunani dinamakan Molapi Saronde yakni tarian adat yang dimainkan dalam acara – acara sacral. Misalnya, penyambutan acara pernikahan dan penyambutan tamu. Tidak semua orang bisa melakukan tarian Molapi Saronde, sebab ada pakem khusus dalam gerakan tarian yang harus diataati.  

 

Kini seni Turunani nyaris tidak tertampilkan dengan formasi ideal. Di kawasan Kota Gorontalo, kesenian ini sudah tidak lumrah dipentaskan. Sebab, rantai regenerasi senimannya nyaris terputus. Anak– anak muda di Gorontalo mulai acuh pada seni Turunani lantaran terlalu hiperbolik dalam mengandrungi gadget. Lalu sebagian lagi memilih untuk merantau ke Ibu Kota.  

 

Justru, masyarakat transmigranlah yang tertarik dan menghidupkan kembali seni Turunani. Masyarakat transmigran yang merupakan mayoritas dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ini hidup di  pelosok Gorontalo. Mereka secara rutin dan istioqomah mengadakan sebuah perkumpulan untuk memainkan seni Turunani.

 

Seorang penyanyi Turunani yang  merupakan keturunan  suku Melayu Gorontalo, Farmawati menjelaskan bahwa ia mulai mempelajari seni Turunani sejak dua tahun terakhir.

 

“Baru – baru ini saja saya mulai aktif ikut arisan Turunani dan belajar tari Turunani, Jadi saya menyanyi dan menari,” tutur wanita 38 tahun itu.

 

Sprit Fatmawati untuk mempelajari kesenian Turunani bukanlah tanpa sebab. Semuanya berawal dari keprihatinannya atas sedikitnya masyarakat yang mulai menggemari seni Turunani. Terlebih, orang tua Fatmawati adalah seorang seniman Turunani.

 

“Orang tua saya adalah seniman Turunani. Saya belajar Turunani biar tidak punah,” imbuh guru Paud itu.

 

Hingga saat ini, Fatmawati bersama dengan sejawat kelompok Turunani gemar mengajak warga transmigran di desanya untuk mengikuti arisan Turunani. Tujuannya, tak lain dan tak bukan untuk melestarikan Turunani.

 

Melalui kesenian ini, masyarakat setempat dapat meningkatkan kwalitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Begitulah dahlihnya dalam mengajak partisipasi para transmigran untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan seni Turunani.

 

Dalam waktu dua tahun, Fatmawati bersama dengan sejawwatnya mampu mengajak di tiga transmigran untuk istiqomah dalam melakukan seni Turunani. Kegiaatan ini oun dilakukan secara bergilir dengan skema arisan. Dalam satu pekan, biasanya arisan Turunani dilakukan sebanyak dua kali.

 

“Hampir semua ikut arisan. Ya, orang local dan Trans,” imbuhnya singkat.

 

Misalnya, terdapat 586 KK di Desa Bukit Aren. Golongan masyarakat inilah yang turut mendorong eksisnya seni Turunani dan menyebarkan di desa- desa transmigran. Fatmawati berharap, dengan adanya konsistensi arisan aktivitas seni Turunani, anak- anak muda di Gorontalo juga tergerak untuk berperan dan berpartisipassi dalam melestarikan seni Turunani.

 

Penulis: Ani

 

 

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *