Kolomdesa.com, Kuningan – Yayasan Rumah Antara Graha Berdaya mengawali kegiatannya dengan senam sehat di halaman teras. Senam bersama ini diikuti oleh sekitar 30 orang kelompok disabilitas mental yang tinggal di yayasan tersebut.
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Yayasan Rumah Antara Graha Berdaya ini dirintis oleh Kepala Desa Tambakbaya, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, Lukman Mulyadi dan Shinta Yunia Setha. Berangkat dari kepeduliannya terhadap kelompok marjinal yang masih cukup terbilang banyak.
Pada 2016, Lukman dan Inta berinisiasi membangun yayasan sebab di daerah Kuningan masih banyak metode penanganan penyandang disabilitas mental yang dinilai kurang tepat. Mereka banyak yang dipasung oleh keluarganya, walau menurut Lukman, hal itu adalah bentuk cinta dari keluarga penyandang.
“Di sini masih banyak ODGJ (red: Orang Dalam Gangguan Jiwa) yang dipasung, dalam Hak Asasi Manusia itu kan tidak boleh, tapi (masyarakat) di daerah menganggap itu adalah bentuk kasih sayang orang tua yang takut kehilangan anaknya,” katanya pada Kolomdesa.com, Senin (19/11/2024).
Fenomena pemasungan ini juga merupakan bentuk ketidaktahuan masyarakat bagaimana menangani penyandang disabilitas mental. Sehingga mereka memilih alternatif tersebut, alih-alih untuk lebih mudah dalam menjaganya.
Lukman mengatakan, penanganan pemerintah terhadap kelompok marjinal tersebut masih jarang ditemukan, apalagi setingkat desa atau kecamatan. Lukman menyebut, yayasan bagi disabilitas mental ini termasuk perintis di daerah Jawa Barat.

Lukman dan Inta melakukan pemetaan di wilayah Kuningan, bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. Dari data yang diperoleh tersebut, mereka melakukan pembinaan kelompok disabilitas mental dengan dan mengantar mereka untuk pemeriksaan kesehatan tiap bulannya di salah satu rumah sakit mitra.
“Kami turun ke desa-desa, menjemput setiap rumah yang salah satu anggota keluarganya merupakan penyandang disabilitas mental lalu kami lakukan pemetaan dan selanjutnya pembinaan di yayasan. Untuk mereka yang di rawat di rumah, kami jemput untuk periksa kesehatan sebulan sekali,” katanya.
Selain itu, Lukman mengajak kelompok disabilitas yang tidak memiliki identitas. Kebanyakan dari mereka tinggal di jalanan dan tidak memiliki keluarga.
“Bagi mereka yang hidup di jalan, kami ajak, kami beri mereka identitas dari desa kami (Desa Tambakbaya),” beber Lukman.
Asah Motorik dan Sensorik
Kelompok disabilitas mental yang tergabung dalam Yayasan Antara Graha Berdaya dibina dengan kegiatan-kegiatan jasmani dan rohani. Sehari-hari Lukman dibantu beberapa warga mendampingi dan merawat mereka.

Lukman mengatakan, terdapat sekitar 30 orang yang tinggal di yayasan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Setiap harinya, mereka gotong royong melakukan pekerjaan rumah. Hal ini ditujukan agar kemampuan motorik dan sensorik penyandang terus terasah.
“Jadi ada yang bertugas memasak, bersih-bersih, ikut keterampilan bikin keset, ada juga yang berkebun,” kata Lukman.
Semangat penyandang disabilitas mental untuk sembuh tampak tinggi, karena beberapa di antaranya sudah bisa hidup tanpa harus ketergantungan dengan orang lain.
Bahkan, ada juga yang sudah sembuh namun masih ingin mengabdi di rumah singgah yang didirikan oleh Lukman untuk terus merawat orang-orang dengan gangguan kejiwaan yang tidak memiliki keluarga.
“Mentor yang ngajari keterampilan juga penyandang disabilitas sebelumnya. Tentunya yang sudah tertangani dengan baik, yang jiwa leadership sudah terasah,” ungkap dia.
Selain itu, beberapa penyandang disabilitas mental mendapat kesempatan kerja. Mereka bekerja sebagai office boy atau OB di kantor Pemerintah Desa Tambakbaya.
Jadi Percontohan Daerah Lain
Sejak berdirinya Yayasan Antara Graha Berdaya ini, setidaknya 500-800 penyandang disabilitas mental telah pulih melalui kegiatan rehabilitasi selama di yayasan. Kebanyakan dari mereka dapat menjalani aktivitas normal dan bekerja, ada pula yang masih dalam tahap pemulihan.
“Pasien kami tersebar di wilayah Cirebon kabupaten maupun kota, ada juga yang dari Majalengka,” jelasnya.
Saat ini, Desa Tambakbaya menjadi salah satu desa inklusif, program dari Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal dalam bidang sosial. “Sejak tahun 2022, desa kami jadi model”.
Dilema Sarana Prasarana dan Administrasi

Lukman menyebut, sarana dan infrastruktur di yayasan masih dibilang terbatas. Jika dibanding dengan jumlah pasien yang ditangani.
Saat ini, yayasan hanya cukup dihuni oleh 30 orang saja. Kondisi rumah di yayasan, menurut Lukman, masih perlu dimaksimalkan.
“Sebetulnya yayasan ini masih belum finish, dinding kami masih belum selesai sempurna. dan itu yang masih kami usahakan,” katanya.
Di sisi lain, pihak yayasan masih membutuhkan penanganan administrasi khusus bagi penyandang disabilitas mental. Sebab, peserta yayasan yang kebanyakan di ajak dari jalanan, yang tidak memiliki identitas, harus menunggu 14 hari setelah masa aktif BPJS. Kata Lukman, menunggu waktu 14 hari itu cukup memberatkan bagi keluarga penyandang disabilitas.
“Salah satunya ketika kami melakukan pendekatan medis, kami butuh BPJS, BPJS ini butuh identitas. Makanya kami membutuhkan identitas mereka. Selama ini prosesnya kerja sama kami cukup bagus lah. Namun kadang kami membutuhkan proses yang cepat,” katanya.
Lukman bercerita, pihaknya sudah melakukan mediasi dengan pihak BPJS Kesehatan. Namun, permintaan diskresi yang diajukan Lukman tertangguhkan, sebab tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
“Mereka taat aturan. Tapi kondisi di lapangan kan belum tentu bisa. Jadi ini kami meminta kepada pemerintah pusat untuk dikaji ulang,” kata Lukman.