Kolomdesa, Bengkalis – Abrasi kawasan pesisir yang terjadi di Desa Pangkalan Jambi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Faktor alami abrasi ini disebabkan oleh gelombang dan arus laut, ditambah dengan rusaknya ekosistem mangrove.
Desa Pangkalan Jambi mengalami penurunan garis pesisir desa hingga 150 meter dalam 20 tahun terakhir, mengakibatkan warga yang semula tinggal di pesisir pantai harus pindah ke dataran yang lebih tinggi.
“Jika terus dibiarkan, daratan desa kami ini akan habis dibawa ombak dan Desa Pangkalan Jambi hanya akan tinggal nama,” ungkap Ketua Kelompok Harapan Bersama Desa Pangkalan Jambi, Alpan, saat diwawancarai Kolomdesa, Rabu, (06/10).
Alpan dengan nelayan Desa Pangkalan Jambi melakukan pembibitan dan revitalisasi mangrove sejak tahun 2005 secara manual dan dengan alat seadanya.
“Ratusan bibit mangrove yang kami tanam, hanya beberapa saja yang berhasil karena air laut pasang,” jelas Alpan.
Penanaman Serentak Mangrove. Sumber: Dokumentasi Aktivitas Pengunjung MEC. Sumber: Dokumentasi Mangrove Education Center (MEC) Desa Pangkalan Jambi
Inovasi Trimba Melalui Corporate Social Responsibility (CSR)
Melalui Program Permata Hijau yang didukung oleh PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI), warga membuat inovasi Triangle Mangrove Barriers (Trimba). Trimba adalah penahan abrasi di pesisir yang dibuat dari kayu nibung sehingga dapat menangkap lumpur air pasang atau sedimen.
“Inovasi Trimba ini dapat meminimalisir kegagalan penanaman mangrove, dimana mangrove bisa tetap bertahan, karena adanya penahan abrasi,” jelas Alpan.
Dalam penanam bibit pohon mangrove, lanjut Alpan, yang ditanam diawal membutuhkan waktu tiga bulan hingga akarnya kuat mencengkeram ke tanah. Jika sudah melalui fase tersebut, maka mangrovenya akan hidup “Cara ini berhasil dilakukan dengan program Trimba ini,” kata Alpan.
Selain menerapkan inovasi Trimba, kelompok nelayan Harapan Bersama juga mendapatkan pelatihan untuk mendukung keberhasilan program revitalisasi dan konservasi kawasan mangrove di Desa Pangkalan Jambi.
Program tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembangunan fasilitas sarana ekowisata mangrove pangkalan jambi seperti pembangunan trek, jembatan, menara, saung-saung, kantin dan rumah produksi olahan mangrove dan ikan untuk mewujudkan ekowisata mangrove.
Selain itu, Kelompok Harapan Bersama juga membudidayakan ikan air payau jenis ikan nila, kolam berada di sekitar hutan mangrove dengan memanfaatkan sumber air pasang surut.
“Adanya kolam budidaya ikan nila telah mendorong peningkatan ekonomi nelayan, sehingga mendapat tambahan pendapatan, apabila nelayan tidak dapat melaut saat cuaca tidak mendukung. Kolam ikan nila dapat menghasilkan panen hingga 500 kilogram pada masa panen,” tutur Alpan.
Penginapan di Mangrove Education Center (MEC) Desa Pangkalan Jambi. Sumber: Dokumentasi Mangrove Education Center (MEC)
Mangrove Education Center (MEC) Desa Pangkalan Jambi
Saat ini Wisata di Desa Pangkalan Jambi yakni lokasi kawasan mangrove sudah menjadi salah satu objek wisata dan juga sudah diresmikan oleh Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah sebagai kawasan konservasi. Kawasan tersebut dinamai dengan Mangrove Education Center (MEC
“Anggota Kelompok Harapan Bersama sudah berjumlah 40 orang dan sudah bisa mendapatkan penghasilan dari kawasan mangrove ini. Setiap bulan kami mendapatkan penghasilan berkisar sekitar 1 sampai 1,5 juta rupiah. Pendapatan ini kami dapatkan dari tiket masuk, pengolahan hasil tanaman mangrove, makanan olahan dari nelayan sekitar dan kolam ikan nila air tawar,” tutur Alpan.
Lebih lanjut, Alpan mengatakan, saat ini pihaknya masih terus melakukan pembibitan pohon mangrove. Sebagai informasi, saat ini kawasan mangrove Desa Pangkalan Jambi memiliki kurang lebih 22 jenis pohon mangrove dan menjadi habitat tempat hidupnya berbagai hewan seperti burung dan sejenis monyet.
Dengan luas lahan sekitar 18,9 hektar, Alpan menerangkan pihaknya dapat mendatangkan 2.000 wisatawan setiap hari. Hal itu juga membuat MEC di Desa Pangkalan Jambi terkategori sebagai Wisata Maju.