Kolomdesa.com, Lumajang – Ojong atau Ojung adalah tradisi budaya peninggalan nenek moyang yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Sememu, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Acara unik yang melibatkan adu rotan antar warga ini selalu diselenggarakan dengan meriah setiap tahunnya.
Tradisi Ojong menjadi bukti bahwa masyarakat Lumajang sangat mencintai dan menjaga warisan nenek moyang mereka. Selain itu, kegiatan Ojong juga bermanfaat sebagai sarana mempererat hubungan sosial, seperti kebersamaan dan persaudaraan.
Ojong awalnya merupakan ritual yang dilakukan oleh petani desa untuk memohon turunnya hujan. Saat ini, meskipun fungsi tradisi tersebut telah berubah, esensinya tetap terjaga. Tradisi Ojong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga upaya melestarikan budaya yang memperkuat kebersamaan di antara warga.
“Kalau di Desa Sememu dan Kecamatan Pasirian ini rutin digelar pada setiap tahunya. Tradisi ini tidak diketahui sejak kapan adanya, yang pasti sejak terdahulu jaman leluhur desa sudah ada tradisi ini,” kata Sutaji, Kepala Desa Sememu, Kecamatan Paasirian, Kabupaten Lumajang pada Kolom Desa.
Tradisi ini umumnya diadakan sebagai bagian dari acara ruwat atau bersih desa pada setiap bulan Suro atau Muharam. Namun, seiring berjalannya waktu, Ojong juga diselenggarakan sebagai bentuk tasyakuran keluarga, perayaan HUT RI, dan hiburan untuk masyarakat.
Dalam praktiknya, secara umum para peserta Ojong umumnya memakai kostum tradisional, mengenakan celana tanpa baju, dengan diiringi oleh alat musik seperti kendang atau gamelan. Peserta tersebut adalah warga dari desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Pasirian dan sekitarnya.
“Setiap acara ini, para warga yang maju naik ke atas panggung sangat antusias. Mereka berasal dari desa-desa sekitaran Sememu, bahkan juga ada dari luar Pasirian. Ojong sendiri tidak hanya rutin digelar di desa ini, tetapi juga desa-desa lain yang ada di Lumajang,” ungkapnya.
Hiburan Ojong dan Panggung Kebersamaan
Di tengah tantangan zaman, masyarakat Lumajang tetap kokoh menjaga tradisi ini sebagai bagian penting dari identitas budaya mereka. Tradisi Ojong telah menjadi warna dari berbagai kegiatan, termasuk acara-acara di Desa Sememu.
Bukan hanya diikuti oleh pemain berpengalaman, pertandingan Ojong juga menarik perhatian banyak pemain pemula. Terbukti, tak hanya pria dewasa, sejumlah remaja dan anak-anak pun turut tampil beradu ketangkasan di atas panggung.
Tidak mengherankan jika banyak warga yang hadir dengan antusias tinggi untuk menyaksikan pertandingan Ojong. Tradisi Ojong terakhir kali dilaksanakan di Desa Sememu pada Selasa, 17 September 2024, dengan panggung berukuran 6×6 meter dan tinggi 1,5 meter.
Para peserta menggunakan senjata yang disebut “Menjhalin,” yaitu rotan khusus yang berasal dari lereng Gunung Semeru. Rotan ini memiliki panjang 110 sentimeter yang berfungsi sebagai alat untuk memukul serta menangkis serangan dari lawan.
Para pemain bergantian melakukan pukulan sebanyak lima hingga 10 kali sesuai dengan kesepakatan sebelum pertandingan. Dua pemain akan saling bertanding, menguji kelincahan dalam memukul punggung lawan atau menahan serangan lawan.
Sebagai penilai dalam pertandingan, Ojong ini juga didampingi oleh dua orang wasit atau peladang. Sarung dan kaos juga disiapkan penyelenggara sebagai hadiah untuk para pemenang.
Pemenang ditentukan oleh jumlah bekas pukulan rotan yang terlihat di punggung pemain. Pemain dengan luka paling sedikit akan dinyatakan sebagai pemenang, sementara yang memiliki luka terbanyak akan dianggap kalah.
“Pagelaran ojong juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Mereka hadir dari berbagai daerah terutama warga lokal Lumajang. Manfaatnya dari banyaknya kunjungan saat pagelaran tradisi ini adalah meningkatkan perekonomian warga desa,” ujar kades Sutaji.
Nilai-nilai Tradisi Ojong
Pagelaran Ojong menurut cerita dari zaman dulu adalah tradisi untuk meminta hujan dan sebagai sarana menguji kemampuan kekebalan tubuh. Namun, saat ini juga berfungsi sebagai hiburan dan upaya untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang.
“Dulu ojong khusus digunakan sebagai ritual saat musim kemarau untuk meminta agar turun hujan, bahkan uji kekebalan. Saat ini juga menjadi bagian dari hiburan masyarakat sini,” jelas Sutaji.
Sebagai warisan dari nenek moyang, tradisi Ojong mengandung nilai simbolis yang mencerminkan doa dan harapan untuk keberlangsungan hidup warga desa. Ritual ini berfungsi sebagai penghormatan kepada alam dan doa untuk kesejahteraan.
Tidak hanya sekadar perayaan, tradisi Ojong juga mengandung nilai sejarah dan budaya yang kental. Nilai dari kekeluargaan dan persaudaraan juga sangat tinggi dan melekat dalam tradisi ini.
“Mereka saling pukul di atas panggung, tapi saat kelar acara ya mereka berangkulan dan bersalaman kembali,” katanya.
Melalui beragam aktivitas yang dilakukan dalam Tradisi Ojong, Kepala Desa Sememu berharap tradisi ini dapat terus berkembang dan dikenal lebih luas. Selain itu, diharapkan generasi mendatang tetap menghargai dan menjaga tradisi ini agar tidak punah tergerus zaman.
“Saya berharap tradisi Ojong terus dilestarikan sebagai bagian dari identitas lokal, sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya di Lumajang,” harap Sutaji.
Editor: Mukhlis