Shibiru dari Desa Gandu Wetan: Berdayakan Masyarakat Hingga Melintas ke Pasar Internasional

Fatah Syaifur Rochman menjadi salah satu tokoh penting di Desa Gandu Wetan dengan keberhasilannya membudidayakan tanaman Strobilanthes Cusia. Ia memberdayakan 179 petani dan anak muda di wilayah Temanggung di bawah naungan UMK Shibiru. Shibiru kini melintas ke pasar internasional.
Fatah Syaifur Rochman, perintis UMK Shibiru sedang bergiat di lahan pertanian warga. Sumber: Dokumentasi Fatah Syaifur Rochman.
Fatah Syaifur Rochman, perintis UMK Shibiru sedang bergiat di lahan pertanian warga. Sumber: Dokumentasi Fatah Syaifur Rochman.

Kolomdesa.com, TemanggungStrobilanthes Cusia, tanaman penghasil pewarna alami ini ‘mekar’ di Desa Gandu Wetan sebab cukup menguntungkan bagi warga desa. Sejak 2016, petani membudidayakan tanaman tersebut dengan dikomandoi oleh Fatah Syaifur Rochman melalui UMK Shibiru.

Strobilanthes Cusia merupakan tanaman dari keluarga Acanthaceae yang banyak ditemukan di daratan Asia Selatan, Cina dan Indocina. Tumbuhan ini juga dikenal sebagai nila asam atau lonceng hujan cina. Secara historis, tanaman ini digunakan sebagai bahan dasar pewarna nila dan obat tradisional. 

Ipung, sapaan akrabnya memulai percobaan menanam bibit Strobilanthes Cusia di rumahnya menggunakan media pot, Ipung membagikan bibit yang berhasil dikembangkan kepada petani di wilayah Kelurahan Wonoboyo hingga Desa Tretep untuk ditanam di lahan pertanian mereka masing-masing. 

Sebagai bukti keberhasilannya, Ipung kini merangkul sekitar 179 petani yang turut mengembangkan dan memproduksi tanaman tersebut. Ipung juga telah meresmikan usahanya pada tahun 2019 dengan nama Shibiru dengan jangkauan pemasaran yang gemilang. 

Dari Indigofera Hingga Strobilanthes Cusia 

Ipung memulai usaha pewarna tekstil biru alami ini dari obrolannya bersama dengan kawan sejawat. Salah satu teman Ipung tak sengaja melontarkan bahwa ada tanaman yang dapat menghasilkan pewarna alami pada suatu malam di tahun 2015. 

Obrolan berlanjut seru, kata Ipung, sehingga usainya pertemuan itu, dia mulai mencari informasi terkait tumbuhan yang dikenal sebagai Indigofera sp. atau Indigo Vera Interia. Ia berniat untuk mengembangkan usaha baru dengan menggunakan bahan dasar tanaman itu. 

Shibiru dari Desa Gandu Wetan: Berdayakan Masyarakat Hingga Melintas ke Pasar Internasional
Tanaman Strobilanthes Cusia di antara pohon jambu. Sumber: Dokumentasi Fatah Syaifur Rochman

“Saya baru mengetahui adanya tanaman itu dan ternyata ada sekitar 11 macam yang tumbuh di berbagai negara. Saya mencoba tanaman yang tumbuh di Indonesia yaitu Indigo Vera Interia ini,” kaya Ipung kepada Kolomdesa.com, Selasa (10/9/2024). 

Sebagai orang yang telah berkecimpung di dunia usaha gagang sekop sejak tahun 2005, membuat Ipung lihai mengeksekusi ide untuk usaha barunya dengan menanami tanaman Indigofera di lahan seluas 3 ha. 

Hingga masa panen tiba, Ipung memanen hasil tanamannya untuk diolah menjadi pewarna alami dalam bentuk pasta. Dengan bekal pengetahuan yang terbatas, Ipung sempat mengalami kegagalan sebanyak 11 kali hingga produk berhasil. 

Kegagalan dalam memproduksi tanaman Indigofera diakui sebab faktor iklim dan cuaca. Menurut Ipung, Indigofera akan tumbuh dengan kondisi gemuk pada musim penghujan, namun saat diproses menjadi pasta, kegagalan acap kali terjadi. Sedangkan pada musim kemarau, Indigofera akan tumbuh dengan ukuran yang lebih kecil dan kurus namun pada saat diproduksi menjadi pasta kemungkinan keberhasilannya meningkat. 

“Itu yang menjadi dilema saya, belum lagi saya kesulitan untuk memasarkan, jadi saya bungkus pasta-pasta itu dengan ukuran sekilo, lalu saya bawa keliling ke beberapa daerah untuk dikenalkan pada pengusaha batik atau tenun saya bagikan ke mereka satu-satu,” katanya. 

Seiring berjalannya waktu getok tular pun terjadi, banyak pengrajin batik dan tenun mulai tertarik dengan produk Shibiru tersebut. Permintaan untuk produksi mulai berdatangan, hingga pada 2016, Ipung mengenal tanaman dengan varian baru bernama Strobilanthes Cusia. 

Strobilanthes Cusia merupakan tanaman dari keluarga Acanthaceae yang banyak ditemukan di daratan Asia Selatan, Cina dan Indocina. Tumbuhan ini juga dikenal sebagai nila asam atau lonceng hujan cina. Secara historis tanaman ini digunakan sebagai bahan dasar pewarna nila dan obat tradisional. 

Tanaman ini diperkenalkan oleh William, salah satu pengunjung rumah produksi Shibiru asal Inggris. William bersama temannya, Tony, salah satu dosen dari perguruan tinggi Australia membawakan 5 pot Strobilanthes Cusia kepada Ipung. 

“Mereka datang dengan membawa 5 pohon Strobilanthes Cusia ke sini, namun yang bertahan hidup hanya satu pohon saja dan itu yang saya pelajari dan pertahankan,” katanya. 

Ipung merawat Strobilanthes di samping rumahnya. Sembari ia mempelajari karakter dan cara perawatannya, Strobilanthes rupanya cocok dengan iklim di Kelurahan Wonoboyo.

Kolaborasi dengan Petani

Setelah berhasil melewati beberapa percobaan, Ipung akhirnya mengajak petani kopi dan jambu di daerah kaki gunung Prau untuk berkolaborasi dalam usahanya. Ipung mengaku, ia masih belum dapat menyediakan lahan yang luas untuk membudidayakan tanaman Strobilanthes Cusia tersebut. 

Sebelumnya, Ipung melakukan kunjungannya ke Taiwan untuk melihat langsung proses budidaya tanaman Strobilanthes Cusia. Taiwan menggunakan konsep green house dan teknologi yang cukup mumpuni. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi Ipung. 

Fatah Syaifur Rochman, perintis UMK Shibiru sedang bergiat di lahan pertanian warga. Sumber: Dokumentasi Fatah Syaifur Rochman.
Petani sedang menimbang hasil panen tanaman Strobilanthes Cusia. Sumber: Dokumetasi Fatah Syaifur Rochman.

Ia memutar otak untuk mendapatkan lahan luas tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Hingga pada akhirnya ia mengajak petani untuk ikut membudidayakan tanaman Strobilanthes di lahan kebunnya dengan metode tumpang sari. Tanaman yang sudah siap panen, akan dibeli oleh Ipung. 

“Awalnya petani itu susah banget diajak, tapi setelah ada 3 petani yang mau ikut bergabung, saya sediakan rumah produksinya sekalian dekat dengan lahan mereka. Hingga usaha ini berjalan, akhirnya banyak petani yang mulai tertarik untuk menanam Strobilanthes di lahan mereka,” beber Ipung. 

Meski sempat terkendala Covid-19 yang menyebabkan banyak petani mundur dari kerja sama ini, Ipung dapat mempertahankan setidaknya 179 petani dengan luasan kebun sebesar 65 hektar yang masih aktif dalam produksi tanaman Strobilanthes Cusia hingga hari ini. 

Shibiru Melintas ke Mancanegara 

Tak hanya semangat dalam merangkul petani di Temanggung, Ipung gigih mengitari pulau-pulau di Indonesia untuk mengenalkan produknya. Diakui Ipung, dia napak tilas di Jawa hingga Bali, Lombok, Tapanuli, Toba dan berbagai daerah di Indonesia. 

Bagai pepatah usaha tidak akan mengkhianati hasil. Kini daerah-daerah yang ia datangi menjadi konsumen tetap produk Shibiru ini. 

Sejak 2017, rumah produksi UMK Shibiru memulai produksi massal. Jangkauan pemasaran di tahun ini cukup menjanjikan, terutama di Bali. 

Selain itu, pasar ekspor pasta Shibiru dengan permintaan besar hingga hari ini mencakup Malaysia, Jepang dan Australia. Meski sejak Covid-19, Jepang mulai absen. 

Dalam setahun, UMK Shibiru dapat menghasilkan produk sebanyak 750 hingga 1 ton. Ipung berkata, pada saat Covid-19 pemasukan mereka anjlok sebab tak ada kegiatan ekspor. Di tahun 2022, permintaan mulai berdatangan kembali dengan angka yang kian meningkat tiap tahunnya. 

“Tahun 2022 mulai ada lagi, 2023 sudah mulai rame, dan tahun ini malah kurang-kurang karena lonjakan permintaan sampai hampir menyentuh 2 ton. Dan kami masih belum sanggup di angka tersebut,” katanya. 

Dengan cukup dikenalnya Shibiru, membuat banyak turis asing berkunjung ke rumah produksi di Desa Gandu Wetan. Ada yang dari India, Inggris, Australia, Malaysia dan Amerika untuk melihat langsung proses produksi pasta Shibiru. 

Tarik Anak Muda Kembangkan Kreativitas Melalui Cusia by Shibiru

Kolaborasi sangat penting bagi Ipung. Menurutnya, ide-ide cemerlang justru banyak ditemukan di luar sana yang akan berguna bagi keberlanjutan usaha Shibiru. Tak hanya menggandeng petani dalam praktik kolaboratif, Ipung juga menarik anak muda untuk berkolaborasi dengan Shibiru melalui Cusia by Shibiru

Cusia by Shibiru merupakan salah satu komunitas kerajinan tangan yang diikuti oleh pemuda di wilayah Temanggung dengan menggunakan pewarna Shibiru sebagai ciri khasnya. 

Sesuai dengan slogannya #TemanggungBirukanDunia, Komunitas ini menghasilkan berbagai produk seperti pakaian batik, tenun, tas hingga cinderamata yang memiliki tema warna serba biru. 

Produk dari Cusia by Shibiru pada kegiatan Kriya Nusa 2023 di JCC Senayan. Sumber: Instagram @shibiru.indigo.
Produk dari Cusia by Shibiru pada kegiatan Kriya Nusa 2023 di JCC Senayan. Sumber: Instagram @shibiru.indigo.

Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan workshop dan festival dikerjakan oleh komunitas ini. Ipung berharap, dengan adanya kreativitas anak muda di Temanggung dapat membuka wawasan baru bagi masyarakat sekitar. 

“Banyak sekali yang bergabung dengan Cusia. Akhir-akhir ini kami juga kolaborasi dengan teman-teman yang sudah punya brand. Ada juga yang dari PKK, Dharma Wanita, Ibu Gereja, Fatayat, siswa SMP dan SMK kami semua ajari cara pewarnaan kemudian lahirlah tas, baju, ada sabun pewangi ruangan itu semuanya biru,” bebernya. 

Ipung berharap, ke depannya akan banyak lagi yang mau ikut berkolaborasi dengan UMK Shibiru. “Kami sangat berharap ke depan akan ada produksi barang yang lebih besar lagi,” tutupnya. 

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Inovasi Lainnya