Petik Laut Probolinggo, Tradisi Syukur Nelayan yang Menyatu dengan Alam

Share This Post

Kolomdesa.com, Probolinggo – Tradisi untuk menghormati warisan nenek moyang secara turun-temurun memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat pesisir. Salah satu bentuk dari tradisi ini adalah Petik Laut Mayangan, sebuah ritual khas yang telah lama menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat pesisir di Mayangan. Petik Laut Mayangan tidak hanya merupakan upacara ritual, tetapi juga simbol penghormatan terhadap alam dan warisan leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Petik Laut Mayangan memiliki tujuan utama sebagai ungkapan syukur atas limpahan hasil laut yang diperoleh para nelayan. Masyarakat meyakini bahwa hasil tangkapan yang melimpah adalah berkah dari alam, yang perlu disyukuri dan dilestarikan. Oleh karena itu, melalui ritual ini, mereka mempersembahkan sebagian dari hasil laut kepada laut itu sendiri, sebagai bentuk penghormatan kepada kekuatan alam yang telah memberi mereka kehidupan dan penghidupan.

Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Mayangan pada tahun 1995, dan sejak saat itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. Sebagai warisan leluhur, Petik Laut Mayangan terus dilaksanakan secara konsisten setiap tahunnya, melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam prosesi yang sarat makna spiritual dan kebersamaan. Generasi demi generasi diajarkan untuk memahami pentingnya tradisi ini, bukan hanya sebagai bentuk ritual semata, tetapi juga sebagai pengingat akan keterikatan manusia dengan alam serta pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.

Keberlanjutan tradisi ini menunjukkan betapa pentingnya menghormati dan melestarikan warisan nenek moyang. Petik Laut Mayangan menjadi bukti nyata bagaimana sebuah budaya dapat bertahan dan berkembang dalam masyarakat modern tanpa kehilangan esensi spiritual dan maknanya. Dengan terus menjaga tradisi ini, masyarakat Mayangan tidak hanya memperkuat identitas mereka, tetapi juga meneruskan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.

Secara harfiah, “Petik Laut” dapat diuraikan dengan lebih mendalam sebagai kata yang berasal dari dua unsur, yaitu “Petik” dan “Laut.” Kata “Petik” berarti mengambil, memungut, atau memperoleh, sementara “Laut” mengacu pada perairan yang menjadi sumber utama kehidupan bagi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, “Petik Laut” dapat diartikan sebagai tindakan mengambil atau memperoleh hasil dari laut, terutama berupa ikan dan sumber daya laut lainnya, yang tidak hanya mampu menghidupi masyarakat nelayan, tetapi juga mendukung keberlangsungan kehidupan mereka secara keseluruhan. Tradisi ini menggambarkan bagaimana masyarakat pesisir menggantungkan hidup mereka pada laut, dan bagaimana mereka menghormati serta merawat sumber daya yang menjadi tumpuan kehidupan mereka.

Petik Laut Probolinggo, Tradisi Syukur Nelayan yang Menyatu dengan Alam
Kapal-kapal saat tradisi Petik Laut, Sumber: probolinggokota.go.id

Sejarah Tradisi Petik Laut Probolinggo

Sejarah Petik Laut merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat pesisir, khususnya di kalangan komunitas nelayan, termasuk para nelayan di Pesisir Mayangan. Ritual ini telah menjadi tradisi yang selalu dinantikan dan dirayakan dengan penuh antusiasme setiap tahunnya. Petik Laut di Mayangan dilaksanakan secara rutin pada awal tahun hijriah, tepatnya di bulan Suro atau bulan Muharram, yang dalam budaya Jawa sering diasosiasikan dengan bulan sakral dan penuh makna spiritual. Masyarakat Mayangan menjadikan waktu ini sebagai momen yang tepat untuk mengungkapkan rasa syukur atas berkah yang telah diterima dari laut, serta untuk berdoa demi keselamatan dan kesejahteraan di tahun yang akan datang.

Ritual Petik Laut ini tidak hanya sekadar perayaan, melainkan juga cerminan tanggung jawab kolektif untuk melestarikan kebudayaan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Melalui tradisi ini, para nelayan dan masyarakat pesisir Mayangan diingatkan akan pentingnya menjaga kelestarian laut yang menjadi sumber kehidupan utama mereka. Sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap alam, mereka mempersembahkan sesaji dan doa kepada laut, berharap agar hasil tangkapan di masa mendatang tetap melimpah dan kehidupan mereka terus diberkahi.

Selain itu, Petik Laut juga menumbuhkan rasa solidaritas dan kebersamaan di antara masyarakat. Masyarakat dari berbagai kalangan, tidak hanya nelayan, turut terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan ritual ini, menciptakan ikatan sosial yang kuat. Keterlibatan komunitas dalam menjaga tradisi ini memberikan dorongan yang besar untuk terus mempertahankan dan melestarikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka.

Dengan keberlanjutan tradisi Petik Laut, muncul rasa tanggung jawab yang semakin besar di kalangan masyarakat Mayangan untuk terus menjaga kebudayaan lokal ini. Mereka menyadari bahwa Petik Laut bukan sekadar ritual, tetapi juga simbol kelangsungan hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta wujud penghormatan terhadap leluhur. Oleh karena itu, melalui upaya melestarikan Petik Laut, masyarakat tidak hanya mempertahankan warisan budaya mereka, tetapi juga menunjukkan komitmen mereka untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya laut bagi generasi mendatang.

Petik Laut Probolinggo, Tradisi Syukur Nelayan yang Menyatu dengan Alam
Kapal-kapal saat tradisi Petik Laut, Sumber: probolinggokota.go.id

Rangkaian Pelaksanaan Tradisi Petik Laut Probolinggo

Pelaksanaan tradisi Petik Laut di Pesisir Mayangan dilakukan setiap tahun pada bulan Suro atau Muharram, sesuai dengan penanggalan Jawa. Pemilihan waktu ini bukan tanpa alasan, karena pada bulan tersebut biasanya terjadi pasang air laut pada pagi atau siang hari, yang memudahkan proses pelarungan sesaji ke laut. Pasang air laut dianggap sebagai momen yang tepat dan mendukung kelancaran prosesi yang sarat akan nilai-nilai spiritual dan budaya tersebut.

Rangkaian prosesi Petik Laut diawali dengan arak-arakan gitik, yakni perahu kecil yang diisi dengan berbagai hasil alam seperti buah-buahan, sayuran, dan kepala sapi. Perahu gitik ini menjadi simbol persembahan kepada laut sebagai wujud syukur atas hasil laut yang melimpah. Uniknya, tradisi Petik Laut di Mayangan memiliki perbedaan mencolok dibandingkan dengan tradisi serupa di daerah lain. Di Mayangan, nasi tumpeng, yang biasanya turut dihanyutkan ke laut sebagai bagian dari sesaji, justru dikumpulkan di salah satu masjid setempat. Setelah itu, diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan bagi seluruh masyarakat. Setelah doa selesai, nasi tumpeng tersebut tidak dihanyutkan, melainkan dibagikan kepada masyarakat sekitar sebagai simbol berbagi rezeki.

Setelah arak-arakan gitik mengelilingi wilayah pesisir, perahu kecil tersebut dibawa menuju dermaga, di mana selanjutnya perahu gitik diangkut ke tengah laut menggunakan perahu nelayan yang lebih besar. Pemandangan yang dihasilkan sangat meriah, karena puluhan perahu nelayan yang dihias dengan berbagai ornamen cantik ikut mengiringi perahu utama yang bertugas untuk melarung gitik. Hiasan-hiasan tersebut menambah suasana ritual menjadi semakin semarak dan penuh warna, mencerminkan kekayaan budaya serta antusiasme masyarakat yang terlibat dalam prosesi.

Saat gitik dilarungkan ke tengah laut, tradisi lomba memperebutkan sesaji pun dimulai. Para nelayan dengan penuh semangat menceburkan diri ke laut, berlomba-lomba mengambil seserahan yang dihanyutkan. Buah-buahan, sayuran, dan berbagai hasil alam lainnya menjadi bagian dari persembahan yang diperebutkan. Namun, nasi tumpeng yang biasanya menjadi bagian dari sesaji di tradisi serupa, tetap diperlakukan secara khusus di darat dan tidak termasuk dalam barang yang dilarungkan ke laut.

Setelah prosesi pelarungan sesaji selesai, acara Petik Laut diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh para sesepuh adat dan diikuti oleh warga setempat. Doa ini bertujuan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan bagi masyarakat pesisir, khususnya para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut. Prosesi Petik Laut bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga menjadi momen penting untuk mempererat kebersamaan, menjaga tradisi leluhur, dan mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Editor: Muhklis

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya