Kolomdesa.com, Semarang – Banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi di desa, meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan segenap aparatur desa. Tren kasus korupsi desa yang kian meningkat signifikan dari tahun ke tahun, membuat publik makin skeptis dan trust issue pada kinerja pemerintah desa, profesionalisme mereka kerap dipertanyakan.
Tahun 2015, atau semenjak disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah mulai melakukan alokasi untuk Dana Desa. Tahun 2023 saja, pemerintah menggelontorkan Rp 68 triliun untuk sekitar 75.265 desa di seluruh indonesia. Artinya, rata-rata satu desa dapat mengelola Dana Desa sebesar Rp. 903 juta.
Melansir rilis resmi Indonesia Corruption Watch, setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan tingginya angka korupsi di sektor desa. Pertama, minimnya pemahaman tentang pembangunan desa. Kedua, belum optimalnya Badan Permusyawaratan Desa. Ketiga, keterbatasan informasi tentang pengelolaan Dana Desa. Keempat, ketidaksiapan Kepala Desa dan perangkatnya mengelola dana dalam jumlah besar.
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 2022 KPK meluncurkan program Desa Antikorupsi. Program ini diinisiasi untuk menyampaikan nilai-nilai antikorupsi pada level desa. Diharapkan pembangunan berjalan optimal, ekonomi bertumbuh dan kualitas pendidikan masyarakat desa meningkat sesuai perencanaan desa.
Melalui metode Desa Antikorupsi, ditetapkan 10 Desa Antikorupsi dari 22 Provinsi berbeda. Tahun 2023, Desa Antikorupsi bertambah 22. Artinya, sudah ada total 33 Desa Antikorupsi yang telah dikukuhkan dan dianggap layak dengan mempertimbangkan 5 indikator yang telah ditentukan.
Desa Banyubiru, Pemimpin Gerakan Desa Antikorupsi dari Jawa Tengah
Jawa Tengah acapkali disebut-sebut sebagai provinsi dengan UMK paling rendah dibandingkan tetangganya di Timur dan Barat. Terlepas dari fakta tersebut, di Jawa Tengah, ada satu desa bernama Desa Banyubiru yang berdiri sebagai pelopor perubahan.
Desa Banyubiru menjawab tantangan korupsi yang sering membayangi pembangunan desa di Indonesia. Desa ini kini dikenal bukan hanya karena sejarah panjang dan lanskap hijau alamnya, tetapi juga sebagai simbol perjuangan melawan korupsi.
Desa Banyubiru merupakan desa penyanggah di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Menurut jejak historis dalam sebuah cerita babat Tanah Perdikan Banyubiru, Desa Banyubiru sudah ada sejak zaman kerajaan Islam Demak, Pajang dan Mataram.
Kami menghubungi Riska Ayu Fitriyasari, Sekretaris Desa Banyubiru. Riska menuturkan, bahwa Desa Banyubiru merupakan Desa Antikorupsi dengan nilai tertinggi di seluruh Indonesia.
“Dari 5 indikator yang telah ditetapkan, seperti tata laksana, pengawasan, kualitas pelayanan publik, partisipasi masyarakat dan nilai kearifan lokal. Kami mendapat nilai 96.75, angka paling tinggi dari Desa Antikorupsi lain di Indonesia,” jelasnya saat diwawancarai Kolomdesa, Rabu (14/08).
Desa Banyubiru terpilih menjadi Desa Antikorupsi pada tahun 2022 sebagai 10 desa pertama yang ditetapkan sebagai Desa Antikorupsi oleh KPK. Riska menyampaikan bahwa bulan Juli kemarin, Desa Banyubiru baru saja didatangi oleh pihak KPK untuk monitoring dan evaluasi.
“Selain itu, setiap 6 bulan sekali Inspektorat Kabupaten rutin mengadakan evaluasi. Baik langsung turun ke lapangan, maupun rapat via Zoom meeting,” tuturnya.
Membangun Desa dengan Transparansi dan Musyawarah Mufakat
Sementara itu, melalui Sekretaris Desa, kami juga terhubung dengan Kepala Desa Banyubiru, Sri Anggoro Siswaji. Ia mengatakan, dengan populasi yang mayoritas bekerja di sektor pertanian dan kehutanan, Pemerintah Desa Banyubiru sudah pasti memiliki beberapa tantangan dalam mengelola dana desa yang besar.
Namun, tambah Anggoro, pemerintahan desa di Banyubiru berhasil menunjukkan bahwa keterbukaan dan partisipasi masyarakat dapat menjadi senjata ampuh melawan korupsi. “Setiap pengeluaran dan alokasi anggaran dibuka secara transparan, dengan laporan keuangan yang dipajang di tempat umum. Serta dapat diakses dengan mudah oleh semua warga,” terangnya.
Anggoro menambahkan, pihaknya tidak berkenan ada yang ditutup-tutupi oleh Pemerintah Desa Banyubiru. Semua warga berhak tahu kemana uang mereka pergi dan seperti apa Dana Desa dikelola. Melalui tulisan ini, Anggoro berpesan kepada seluruh Pemerintah Desa di Indonesia untuk bekerja dengan integritas, terbuka dan jujur.
“Jangan takut untuk melakukan hal-hal yang inovatif dan kreatif. Transparansi desa dan akuntabilitas itu hal yang lumrah, jangan takut kepada masyarakat,” ujar Anggoro.
Selain itu, Anggoro mengatakan bahwa Desa Banyubiru cukup berhasil mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam upaya antikorupsi. Salah satu contoh adalah penerapan musyawarah desa, yang melibatkan perwakilan dari setiap lapisan masyarakat untuk membahas setiap kebijakan penting.
“Musyawarah adalah tradisi kami. Dengan bermusyawarah, tidak ada yang merasa ditinggalkan,” jelas Anggoro.
Bagi Anggoro, kearifan lokal tidak hanya menjaga keharmonisan, tetapi juga memperkuat kontrol sosial di desa. Masyarakat dengan sendirinya menjaga satu sama lain untuk tidak tergoda melakukan tindakan korupsi, karena mereka tahu setiap tindakan akan diawasi oleh seluruh komunitas.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski telah banyak mencapai keberhasilan, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah menjaga konsistensi dan komitmen dalam jangka panjang, terutama ketika terjadi pergantian kepemimpinan desa. Selain itu, masih ada tantangan untuk memastikan semua lapisan masyarakat benar-benar paham dan mendukung gerakan ini.
Namun, lewat kerja kolektif Pemerintah Desa Banyubiru yang lain Anggoro masih optimistis. “Kami sudah memulai langkah yang benar. Sekarang tinggal bagaimana kami terus maju dan memastikan Desa Banyubiru menjadi contoh bagi yang lain,” teguhnya.
Sebelum mengakhiri wawancara, Riska sebagai Sekretaris Desa menyampaikan bahwa, saat ini Desa Banyubiru telah menjadi inspirasi bagi banyak desa lain di Indonesia. “Kami sering dijadikan studi banding oleh desa-desa lain, tidak hanya yang dari Jawa Tengah, ada juga yang di luar provinsi. Kami juga aktif menyampaikan informasi lewat website kami, www.banyu-biru.com” pungkasnya.
Desa Banyubiru mengajarkan kepada kita, bahwa dengan keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal, korupsi dapat diberantas dari akar rumput. Sebuah pelajaran berharga bahwa perubahan besar bisa dimulai dari desa kecil, selama ada kesadaran, kemauan dan etos kerja tinggi.
Dari wawancara Kolomdesa dengan Desa Banyubiru. Kami menilai Desa Antikorupsi yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan program yang visioner dan terbukti memberikan dampak positif serta kebermanfaatan bagi masyarakat. Semoga program ini berumur panjang dan menyentuh lebih banyak desa di Indonesia.
Penulis: Rizal Kurniawan