Kolomdesa.com, Maluku Utara – Tarian Soya-soya, tarian perang sangat “ikonik” dari Halmahera Selatan, Maluku Utara. Adalah tarian ganjil yang bisa dimainkan oleh banyak orang. Tarian itu memiliki sejarah panjang yang berdarah, pula melahirkan semangat dan perjuangan yang berarti. Terutama pemberontakan pada penjajah Portugis.
Tepatnya pada tahun 1570-an. Penyerbuan yang dilakukan oleh Sultan Baabullah dalam misi pembebasan jenazah sang ayahanda, Sultan Khairun, yang dibunuh oleh tantara Portugis secara bengis. Benteng Kastela milik Portugis yang terletak di ujung Selatan Ternate, Benteng Nostra Senora Del Rosario itu berhasil di bobol penuh heroik dibawah komando Sultan Baabullah.
Kisah dramatis itu pun kemudian menjadi cikal-bakal bagaimana tarian Soya-soya lahir, dan menjadi tarian ikonik setelahnya menjadi kebanggaan masyarakat Maluku Utara sekarang.
Dikembangkan oleh seniman dari Kesultanan Ternate, tarian Soya-soya diciptakan sebagai symbol keberanian dan kejayaan pasca peperangan. Bahkan tak hanya sekadar tarian yang bernilai estetika, tetapi tarian Soya-soya telah melahirkan kembali para pejuang Tangguh di Maluku Utara, yaitu pada masyarakat Kayoa pada akhir abad ke-16, sebagaimana mereka memperingati tragedi heroik yang dilakukan oleh Sultan Ternate yang ke-24 itu.
Pertempuran tersebut telah menjadi momentum kebangkitan masyarakat Kayoa dalam melawan penjajah, Portugis. Yang pada akhirnya Portugis tumbang setelah lima tahun mengalami gempuran dari mereka.
Dan menariknya, tarian itu tidak punah di lalap perkembangan zaman. Tarian itu justru semakin abadi, dan melahirkan energi positif sangat kuat penuh gairah hidup kepada masyarakat Halmahera Selatan.
“Tarian Soya-soya bisa dimaknai sebagai tarian khas Maluku Utara yg ditampilkan untuk menjemput para tamu ketika menginjakkan kaki di Bumi Kieraha. Semoga sahabat-sahabat bisa bersahabat dengan kami yang disini (Maluku Utara)” Jelas Malika salah satu kader PMII asal Maluku Utara.
Tarian Soya-soya
Dalam pengartian mereka, Soya-soya memiliki arti “Pantang Menyerah”. Gerakan menyerang, gerakan khasnya itu, benar-benar dibentuk sebagai tarian perang—menyerang. Ada gerakan mengelak, ada gerakan menangkis dan bertahan.
Ikat kepala bernama Taqoa yang digunakan oleh penari, ciri khasnya berwarna kuning telah menjadi symbol tetap penari dalam menyimbolkan dirinya sebagai prajurit perang. Pakaian yang indah, mereka penari menyimbolkan dirinya sebagai prajurit yang sedang berperang.
Dengan pakaian warna putihnya, kain sambungan serupa rok berwarna-warni, memiliki warna cukup menarik: merah, hitam, kuning dan hijau.
Pedang tak terlepas dari mereka sebagaimana seorang prajurit jaman dulu. Pedang yang mereka kenakan terbuat dari bambu dengan aksesoris dari daun palem berwarna merah, kuning dan hijau. Sedang dibagian dalam pedang, terdapat kerincing atau biji jagung merias batang pedang. Tak lupa, mereka juga mengenakan perisai atau salawaku saat menari.
Iringan musik dari gendang, gong, dan bono. Bunyi-bunyian yang dihasilkan melahirkan tarian seperti menyerang, mengelak, dan menangkis. Pertunjukan dirasa mendebarkan selain menghibur para penonton yang matanya terbelalak, terpesona.
Kini, tarian Soya-soya adalah tarian yang telah diturun-temurunkan di Maluku Utara. Anak-anak di sana telah mendapatkan pengajaran sejak mereka duduk di Sekolah Dasar (SD). Tarian itu sudah seperti menjadi tarian wajib bagi mereka di sana.
Tarian Soya-soya minimal dapat dimainkan oleh tiga orang, dan juga bisa lebih (banyak) dari itu, dalam catatan, atau syarat utamanya adalah “harus” ganjil. Artinya, selain ganjil, tidak dapat memainkan Tarian Soya-soya. Begitulah cara masyarakat Maluku merawat ingatannya tentang sejarah tarian ini dilahirkan sejak ratusan tahun silam sebagai tarian pejuang.
Tak hanya sekadar mempelajari tariannya agar hidup, agar selalu pakem pada bentuk dan geraknya. Tetapi masyarakat Halmahera Selatan telah benar-benar memelihara ingatannya pada “identitas” leluhur mereka. Merefleksikan tarian Soya-soya pada sejarah kesultanan Ternate dalam melawan penjajah Portugis. Yang mereka ambil hikmahnya—semangat berjuang dalam melanjutkan hidup di jaman penuh dinamis ini.
Pasca jatuhnya Portugis pada 1575, kekuasaan kejayaan Maluku Utara, dalam hal ini Kesultanan Ternate maksudnya, kejayaannnya telah menguasai 72 pulau berpenghuni di wilayah timur Nusantara hingga Mindanao Selatan di Filipina dan Kepulauan Marshal saat itu.
Kemudian tumbangnya Portugis, telah menjadikan Tarian Soya-soya menjadi tarian sangat Ikonik pada masyarakat zaman dulu hingga sekarang, dan sekaligus jika sekarang sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk mendidik generasi muda di Maluku Utara dengan sangat cermat—berpangkal sejarah.
Kini, Tarian Soya-soya biasanya dimainkan saat upacara adat, menjemput tamu, festival dan lain-lain. Dan biasanya penari Soya-soya memiliki gerakan kaki sangat cepat dan penuh semangat. Berbeda semisalnya dengan tarian Jawa, yang banyak menggunakan gerakan tangan, Soya-soya justru lebih mengandalkan kaki dan itu dilakukan penuh semangat.
Hal demikian mendandakan, dahulu, pasukan Sultan Baabullah pantang menyerah melawan Portugis saat melakukan pembebasan jenazah ayahnya.
Dan jika Anda tertarik dengan—bagaiaman suasana orang-orang menarikan Soya-soya? Jangan tunggu waktumu diambil alih oleh pekerjaan yang sibuk. Mari rebut kembali waktumu sekarang, dan pergilah ke Maluku Utara untuk berlibur. Untuk menikmati Tarian Soya-soya yang energik itu sambil mencicipi kuliner khas masyarakat di sana. Selamat berlibur!!