Warga Desa Adat Pererenan Tolak Pembangunan di Lahan Reklamasi

Sejumlah Krama Desa Adat bersama Bendesa Adat dan tokoh masyarakat lainnya saat melakukan penolakan dengan membentangkan Baliho di Pantai Lima. Sumber: Tribunbali
Sejumlah Krama Desa Adat bersama Bendesa Adat dan tokoh masyarakat lainnya saat melakukan penolakan dengan membentangkan Baliho di Pantai Lima. Sumber: Tribunbali

Kolomdesa.com, Badung -Warga Desa Adat Pererenan, Kecamatan Mengwi, Badung mendatangi Pantai Lima yang berlokasi di desa setempat. Mereka datang untuk demo dan memasang baliho penolakan akan pembangunan yang dilakukan oleh investor di lahan reklamasi yang merupakan milik negara.

Mirisnya lagi, lahan itu disebut merupakan hasil reklamasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Badung dengan dalih melakukan penataan pantai dan sungai Surungan. Ada tiga baliho yang dipasang yang bertuliskan “Krama Desa Adat Pererenan Menolak Pembangunan Atas Tanah Negara/Sempadan Sungai Surungan”.

Kuasa Hukum Desa Adat Pererenan I Wayan Koplogantara mengatakan pihak Desa Adat menolak adanya pembangunan yang dilakukan investor di lahan reklamasi yang merupakan tanah negara. Penolakan itu dilakukan karena akan terjadinya kerusakan ekosistem di sekitar sungai Surungan termasuk juga pencemaran lingkungan hidup di sekitar sungai Surungan.

“Ke depan sudah dipastikan akan terjadi abrasi. Kita sudah lihat, sekarang saja kondisinya sudah abrasi,” jelasnya, Selasa (18/6/2024).

Jika dibiarkan, Koplogantara mengaku akses untuk menuju pantai bisa tertutup, bahkan juga mengganggu kegiatan-kegiatan keagamaan di Pantai Lima tersebut. Hal itu pun menjadi landasan Desa Adat dengan tegas menolak pembangunan yang akan dilakukan di lahan reklamasi itu.

“Mengenai kegiatan reklamasi sendiri, bahwa kegiatan reklamasi tidak ada izin dan tidak ada amdalnya termasuk tidak ada izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” tegasnya.

Diakui sesuai Undang-undang 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mestinya adanya tanah timbul yang menguasai negara, karena merupakan tanah negara.

“Jadi seperti apa yang disampaikan Prajuru Adat di sini, sebelum sungai ini diurug, sungai ini sangat dipelihara dan ditanami tanaman sejenis bakau. Bahkan sesuai dengan undang-undang cipta kerja saat ini, maka yang berhak akan tanah itu adalah Bendesa Adat Pererenan, dan bukan diklaim tanah milik Pemkab Badung,” bebernya.

Disinggung mengenai sosialisasi dari Pemkab Badung, Koplogantara mengaku sosialisasi awalnya didengar oleh Krama Desa Adat hanya melakukan penataan pantai dan penataan sungai, bukan reklamasi. Namun kenyataannya dilakukan reklamasi dan tidak ada sama sekali tanah timbul.

“Kami sudah melakukan koordinasi ke Balai Wilayah Sungai Penida (BWS), dan BWS tahu jika di sana adalah sungai yang berisi lumpur. Namun kini direklamasi dengan mengambil pasir di Pantai Lima, sehingga pantai kini abrasi,” imbuhnya.

Diketahui, pihaknya akan segera menyurati Pemkab Badung dengan melakukan somasi termasuk investor dengan tidak melakukan kegiatan lagi di lokasi tersebut.

Penulis : Fais
Editor : Habib

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *