Desa Gedangdowo, yang terletak di Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, terdapat kegiatan unik saling serang dengan nasi. Sebuah tradisi unik dan meriah yang dilaksanakan turun-temurun dari. Tradisi unik ini yaitu Sawuran, yang diadakan setiap tahun dalam rangka sedekah bumi, menarik perhatian ratusan warga dan pengunjung yang rela berdesak-desakan di makam desa untuk mengikuti dan menyaksikan keriangan tersebut.
Pada hari Jumat, 24 Mei 2024, sejak pagi hari, warga sudah berkumpul di makam Desa Gedangdowo, tempat diadakannya tradisi Sawuran. Mereka datang dari berbagai penjuru, menantikan momen di mana gunungan berisi jajan khas daerah dan nasi berkat yang dibungkus daun jati akan diarak dan diperebutkan. Gunungan-gunungan tersebut dipikul oleh warga dan diletakkan di tengah kerumunan. Ketika saatnya tiba, suasana berubah menjadi riuh dengan aksi saling lempar makanan.
Sawuran, berasal dari kata “sawur” dalam bahasa Jawa yang berarti “sebar”, menggambarkan bagaimana warga saling melempar jajanan dan nasi berkat satu sama lain. Meskipun terlihat seperti kerumunan yang sedang tawuran, suasana tetap penuh dengan canda tawa dan keriangan. Tradisi ini dianggap sebagai salah satu cara warga untuk merayakan hasil panen yang melimpah dan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan.
Melestarikan Tradisi Sawuran Sebagai Warisan Budaya Leluhur
Kepala Desa Gedangdowo, Sutikno, menjelaskan bahwa tradisi Sawuran telah ada sejak lama, bahkan sebelum ia lahir di tahun 1964. Sebagai pemimpin desa, Sutikno merasa berkewajiban untuk melestarikan tradisi ini.
“Memang terkesan menghamburkan makanan dan mubazir, tapi dampaknya nyata positif. Sebab hasil panen berlimpah,” Tuturnya. Ia menambahkan bahwa meskipun ada anggapan dari luar bahwa tradisi ini tidak bermanfaat, warga desa tetap merasakan berkah dan kesejahteraan dari kegiatan ini.
Sutikno juga menekankan bahwa meskipun dalam tradisi ini terdapat aksi saling lempar, tidak pernah ada dendam atau keributan yang terjadi. “Itu bagian tradisi. Warga sudah memahami dan mengerti. Jadi aman dan lancar tak ada keributan,” tambahnya. Warga Desa Gedangdowo telah mendarah daging dengan tradisi ini, sehingga setiap tahunnya mereka menantikan dan mempersiapkan dengan penuh antusiasme.
Bagi warga setempat, tradisi Sawuran adalah momen yang sangat dinantikan. “Tentunya sangat senang kalau ada tradisi seperti ini. Seru,” ungkapnya. Dela, salah satu warga yang hadir mengatakan bahwa ia hampir tidak pernah absen mengikuti tradisi ini setiap tahunnya. Meskipun ada aksi saling lempar, hal tersebut justru menambah keseruan acara. “Jadi ikut melestarikan budaya dari leluhur dulu,” katanya dengan semangat.
Pengunjung dari luar desa, seperti Supriyanto, juga merasa terhibur dengan adanya tradisi ini. Menurutnya, Sawuran di Desa Gedangdowo adalah satu-satunya di Blora, dan meskipun awalnya takut terkena lemparan, ia tetap merasa acara ini sangat seru. “Tradisi sawuran sudah diadakan sejak saya masih kecil dan sering diajak orang tua untuk menyaksikan. Sebenarnya, takut juga kalau ketimpuk, tapi seru,” ucapnya.
Tradisi Sawuran tidak hanya berhenti pada aksi saling lempar makanan. Di desa ini, rangkaian acara sedekah bumi juga dimeriahkan dengan pertunjukan wayang yang digelar dari malam hingga pagi hari. Menurut Eka, Sekretaris Desa Gedangdowo, pertunjukan wayang adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi ini. “Setiap tahun pasti ada wayang, tidak berani selain wayang,” ujarnya. Wayang dianggap sebagai elemen penting yang tidak boleh diganti, karena menurut kepercayaan setempat, mengganti pertunjukan wayang dengan hiburan lain bisa membawa dampak buruk bagi desa.
Selain itu, selama acara berlangsung, banyak warga yang menjual berbagai minuman dan makanan, serta hiburan dari para pemain gamelan desa. Hal ini tidak hanya menambah kemeriahan acara, tetapi juga menggerakkan ekonomi kerakyatan warga desa.
Makna dan Nilai dari Tradisi Sawuran
Tradisi Sawuran di Desa Gedangdowo bukan sekadar ajang hiburan. Di balik semua keriangan dan kegembiraan, tradisi ini memiliki makna mendalam sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah alam dan hasil panen yang melimpah. Menurut Sutikno, meskipun ada pandangan bahwa tradisi ini mubazir, bagi warga Desa Gedangdowo, tradisi ini adalah cara mereka menunjukkan rasa syukur dan menjaga keberkahan yang mereka nikmati.
Sebagai warisan budaya leluhur, Sawuran juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kedamaian. Meskipun dalam tradisi ini warga saling melempar makanan, setelah acara selesai, mereka tetap rukun dan guyub, menunjukkan bahwa tidak ada dendam di antara mereka. Tradisi ini juga menjadi sarana bagi generasi muda untuk belajar dan melanjutkan warisan budaya yang telah ada sejak lama.
Sutikno berharap bahwa tradisi Sawuran akan terus dilestarikan oleh warga Desa Gedangdowo. Ia mengimbau kepada panitia untuk selalu mengawasi jalannya acara agar tetap kondusif dan aman. “Ini sebagai warisan budaya kami. Jadi, seperti ini cara kami menunjukkan rasa syukur atas kekayaan alamnya,” terangnya.
Dengan keunikan dan kemeriahannya, tradisi Sawuran di Desa Gedangdowo bukan hanya menjadi sarana melestarikan budaya leluhur, tetapi juga mempererat kebersamaan warga desa. Tradisi ini menjadi wujud nyata rasa syukur atas keberkahan alam dan hasil panen yang melimpah, yang terus dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Sawuran adalah cerminan harmoni antara manusia dan alam, serta antara sesama manusia.
Penulis: Lukacs Lazuardi
Editor: Mukhlis