JEMBER – Kabupaten Jember, Jawa Timur menyimpan banyak budaya dan tradisi yang diciptakan oleh warganya. Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, mereka mampu menciptakan produk bernilai ekonomis. Salah satunya di Desa Tutul, Kecamatan Balung.
Desa Tutul ini memiliki satu keunikan yang khas. Hampir semua penduduknya berprofesi sebagai pengrajin tangan. Produk yang dihasilkan bermacam-macam.
Mulai dari tasbih, peralatan dapur hingga souvenir dibuat secara unik dan khas. Tak heran, jika pekerjaan ini dapat meningkatkan taraf ekonomi warga Desa Tutul.
Bahkan, Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menjabat saat itu menetapkan Desa Tutul sebagai desa yang paling produktif di Indonesia. Sebab, Desa Tutul menjadi desa yang minim angka penganggurannya.
Di tahun 2013 saja, Desa Tutul mampu menyedot tenaga kerja dengan 1.057 home industry. Penghasilan warganya sudah cukup tinggi hingga sentuh Rp5,6 juta perbulan. Sangat jauh dibanding Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Jember pada saat itu.
Hingga saat ini, Kerajinan tangan atau di sana lebih populer disebut dengan handicraft masih tetap bertahan. Warga Tutul berhasil memperluas lumbung cuan dengan melakukan ekspansi pasar hingga luar negeri.
Asal Mula Kerajinan di Desa Tutul
Desa Tutul memiliki wilayah yang luas dan terdiri dari empat dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Kebon, Dusun Karuk, dan Dusun Maduran.
Kecamatan Balung berada sekitar kurang lebih 24 kilometer dari jantung kota. Mayoritas penduduknya merupakan petani. Namun, saat memasuki Desa Tutul, mata langsung disuguhkan dengan pemandangan yang baru.
Kayu dengan berbagai jenis sedang dijemur, mesin-mesin ada di sudut atau lorong kecil di setiap rumah warga. Bahkan beberapa dari mereka memiliki ruang kerja sederhana yang tampak di samping rumah-rumah.
Beberapa studi menyebut, pembuatan kerajinan di desa ini telah berlangsung sejak 1970-an. Kala itu warga desa banyak menemukan tumpukan-tumpukan kayu yang hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Dalam perjalanannya, beberapa orang menginisiasi tumpukan kayu tersebut untuk diolah menjadi produk kreatif. Mereka memulainya dengan membuat gelang dan tasbih.
Produk lalu dipasarkan, rupanya sambutan pasar bagus. Dari situlah kemudian warga lain ikut memanfaatkan sisa-sisa kayu itu untuk dibuat aksesoris.
Tak hanya aksesoris, dalam perkembangannya, mereka juga membuat kerajinan berbahan kayu seperti sendok, garpu, piring, nampan, mangkok, cangkir, dan sutil (spatula).
Minim Angka Pengangguran, Warga Tak Migrasi
Kasi Pemerintahan Desa Balung Tutul Maksum Nawawi menuturkan, dari sekitar 3.118 kepala rumah tangga, 2.710 terdata sebagai pengusaha kerajinan berbahan dasar kayu.
Menurutnya, itu merupakan salah satu peluang yang akan terus dibina dan dikembangkan di Desa Balung Tutul. “Hanya 400 KK yang tidak sebagai pelaku usaha kerajinan,” terang Maksum saat diwawancarai oleh tim Kolomdesa.com, Selasa, (7/4/2024).
Maksum menyebutkan, terkait pembinaan, pihak pemdes sudah melakukan kegiatan yang sifatnya pengembangan. Salah satu agenda tersebut sudah dilaksanakan sejak tahun 2019 silam. Selain itu, pemdes bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Jember.
Perajin kayu itu banyak berasal dari Dusun Krajan. Setelah itu, ada Dusun Kebon dan Dusun Maduran yang sementara ini mulai muncul perajin baru.
Selain itu, beberapa pengrajin juga membuka peluang kerja serabutan untuk warga dari desa seberang untuk mengerjakan bulatan tasbih dari kayu-kayu yang sudah disiapkan sebelumnya.
“Mereka memberikan fasilitas bahan dan alat untuk dikerjakan. Upahnya bermacam-macam, menyesuaikan bahan,” katanya.
Dengan besarnya peluang menjadi perajin dan sejumlah pekerjaan lainnya, tak heran jika pengangguran di desa ini kecil. Selain itu, banyak warga desa yang memilih untuk menetap dan tidak melakukan migrasi atau pindah ke kota karena banyaknya peluang pekerjaan di desanya.
Ekspansi Pasar dari Lokal Hingga Mancanegara
Kualitas produksi dari Desa Tutul ternyata tidak hanya dikenal di pasar lokal. Sejak tahun 2010 silam, sejumlah pesanan pun datang dari luar negeri. Bahkan, sejumlah pemesan tersebut datang langsung ke Desa Tutul untuk membeli berbagai aksesorisnya.
Di musim haji, jumlah pesanan tersebut meningkat dengan harga tasbih kayu mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu per kodi. Sedangkan sejumlah tasbih berbahan kayu berkualitas tinggi lainnya seperti menggunakan kayu gaharu dijual dengan harga Rp300 ribu hingga Rp1 juta.
Berbagai produk Desa Tutul hingga kini telah diekspor ke Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Tiongkok, dan India. “Mulai dari Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Tiongkok, dan India,” kata Maksum.