Sebelum Revisi UU Desa, Kades di Kupang Curhat Soal Gaji

Carles Bising selaku Kades Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT. Sumber Foto: Istimewa
Carles Bising selaku Kades Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT. Sumber Foto: Istimewa

KUPANG – Megi Fobia mengungkapkan penghasilannya sebagai kades selama ini masih rendah dan tidak sebanding dengan tugasnya yang tak mengenal waktu. Kades Bonle’u, Kecamatan Tobu, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), NTT, itu kerap pusing lantaran penghasilannya habis sebelum gajian.

“Hampir-hampir uang habis di jalan. Kalau ada rapat di kabupaten dan kecamatan, kadang pusing dengan dana,” kata Megi, Sabtu (4/5/2024).

Megi bersyukur dengan disahkannya revisi UU Desa yang mengatur uang tunjangan anak, istri, dan pensiun. Nilai uang pensiun untuk kepala desa akan diatur lewat peraturan pemerintah.

Pasal 26 ayat (3) huruf d UU Desa, menyebutkan kades akan mendapatkan tunjangan purnatugas 1 (satu) kali di akhir masa jabatan sesuai kemampuan keuangan desa yang diatur dalam peraturan pemerintah. Tunjangan nantinya diberikan dalam bentuk uang atau yang setara dengan itu.

Megi mengeklaim bisa bekerja seharian untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di desa yang dia pimpin. Menurutnya, uang tunjangan yang akan dia dapatkan adalah hal yang wajar.

“Pelayanan seorang kades tidak mengenal waktu. Berkantor sesuaikan dengan jam dinas, terkadang malam juga ada pelayanan. Tapi kalau menurut saya, pemimpin itu adalah panggilan untuk melayani sehingga harus jalani dengan tulus. Pasti ada berkat,” imbuh Megi.

Megi menilai gaji yang diterima para perangkat desa selama ini belum sebanding dengan beban kerja mereka. Sebagai kades, Megi mengaku mendapat gaji sekitar Rp 3 juta per bulan.

“Memang kalau mau dibilang gaji kades dan perangkat tidak sebanding dengan jam kerja. Karena kerja full. Kalau mau dibilang, perubahan daerah ini tercermin jika desa berubah,” kata Megi.

Sementara Kepala Desa Letbaun, Carles Bising, setali tiga uang. Ia bahkan malu dengan rendahnya penghasilan sebagai seorang kades yang tidak menyentuh Rp 3 juta.

“Sebenarnya bicara gaji atau tunjangan kades itu, beta (saya) malu. Karena untuk sekarang, gaji tidak sampai Rp 2,5 juta. Operasional tiga persen dari dana desa, tapi sudah ada pos-pos yang ditentukan. Jadi praktis kami tidak punya ruang fiskal yang cukup untuk layani masyarakat,” ujar Carles.

Carles mengungkapkan rendahnya penghasilan kades bisa memicu terjadinya penyelewengan dana di desa. Akibatnya, program-program desa tidak berjalan maksimal.

“Kalau kades tidak ada pendapatan lain berarti terpaksa dana desa diembat. Bahkan, program-program diatur untuk menambah isi kantong. Apalagi kalau menjadi kades itu bukan panggilan melayani, tapi tempat cari kerja atau cari uang,” terang Carles.

Senada dengan Megi, ia menilai tunjangan bagi seorang kades adalah hal yang wajar. Sebab, Carles melanjutkan, tanggung jawab kades langsung bersentuhan dengan masyarakat.

“Jadi menurut beta, wajar kalau tunjangan atau pensiun untuk kades. Karena tanggung jawab kades itu bersentuhan langsung dengan rakyat kecil paling bawah,” tandasnya.

Diketahui, selain mengatur tentang tunjangan, revisi UU Desa juga mengatur mengenai masa jabatan kades menjadi 8 tahun dengan maksimal dua periode. Pasal 39 ayat 1 menjelaskan kepala desa memegang jabatan selama delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

Kemudian Pasal 39 ayat 2 mengatur bahwa masing-masing kepala desa dapat menjabat maksimal dua kali masa jabatan secara berturut-turut maupun tidak secara berturut-turut. Sehingga total, kepala desa dapat menjabat maksimal 16 tahun.

Penulis : Fais

Editor : Habib

Keterangan foto : Carles Bising selaku Kades Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT.

Sumber Foto: Istimewa

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *