JEMBER – Sejumlah warga yang tergabung dalam Paguyuban Perjuangan Petani Mbah Ungu (P3MU) di Desa Pondokrejo dan Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember kembali mengadu ke DPRD Jember. Hal itu ditengarai soal tanah yang mereka tempati puluhan tahun itu dikabarkan bakal menjadi hutan produksi.
“Kami sudah lama larut dalam permasalahan ini. Apalagi saat tiba-tiba ada patok, melewati batas tanah yang kami tempati selama ini, Semakin memicu keresahan kami,” kata Koordinator P3UM, Murdianto, Senin (16/10/2023).
Ia menjelaskan, di Desa Pondokrejo, luasan tanah warga keseluruhan mencapai 446,75 hektare yang dikuasai oleh 2.575 kepala keluarga (KK). Sementara di Desa Sidodadi terdapat luasan lahan total 210,5 hektare,yang dikuasai oleh 1.751 KK.
“Di tanah itu sudah berdiri rumah-rumah warga dan persawahan yang menjadi mata pencarian kami. Puluhan tahun kami menempati tanah ini, tapi sampai sekarang sulit sekali memperoleh pengakuan dari pemerintah,” ujar Mardianto.
Ia menambahkan, keseluruhan luasan lahan itu terdiri atas pemukiman, persawahan, fasum, dan infrastruktur jalan yang sebagaimana tertuang dalam dokumen yang dikeluarkan BPN Jember pada Oktober 2016 silam. Warga juga mengaku telah menduduki tanah di sana sejak tahun 1942 silam atau 2 tahun sebelum Kemerdekaan Indonesia.
“Selama ini, hanya dokumen pendukung SPPT yang kita miliki untuk menegaskan status atas hak tanah yang kita tempati. SPPT kami ini ada dan rutin dibayar sejak tahun 1995 silam sampai sekarang,” tandasnya.
Diketahui, konflik agraria yang mengancam hak-hak dan ruang kehidupan masyarakat ini sebenarnya terjadi sudah lama. Beberapa tahun terakhir, isu konflik agraria kian menguat seiring munculnya Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) untuk mempercepat Reforma Agraria melalui legalisasi objek agraria di kawasan hutan dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Penulis: Habib Az
Editor: Rizal