GORONTALO – Walima adalah salah satu tradisi khas Gorontalo dalam merayakan Maulid Nabi. Momen Walima di Gorontalo tak sekadar perayaan agama, tetapi juga merupakan bentuk penghargaan terhadap kekayaan budaya. Salah satu elemen menarik dalam perayaan ini adalah parade kue Walima. Di tengah antusiasme yang tak terbendung, umat Islam Gorontalo menyusun dan menyajikan kue tradisional dengan tatanan yang indah, membentuk aneka hiasan menyerupai bangunan masjid, perahu dan menara.
Sejatinya istilah ‘Walima’ merujuk pada sejumlah kue yang dirangkai secara berurutan. Kue-kue ini merupakan produk dari kreativitas Masyarakat khas Gorontalo. Beberapa diantaranya adalah kolombengi, sukade, wapili, tutulu, telur ayam rebus, dan ayam panggang yang disajikan dalam kondisi hangat. Setelah semua kue itu tersusun dengan rapi, lalu masyarakat setempat mengarak menjadi masjid sebagai lokasi pusat perayaan.
Setelah kue-kue Walima diarak, umat Islam Gorontalo berkumpul di masjid untuk melaksanakan doa bersama. Doa tersebut menjadi ungkapan rasa syukur dan harapan, serta sebagai bentuk penghormatan atas Nabi Muhammad SAW.
Setelah diarak, kue-kue Walima ini tidak berakhir begitu saja. Mereka dipecah-pecah dan dibagikan kepada warga dengan sukarela. Sebuah pemandangan yang menggambarkan semangat berbagi dan kebersamaan dalam komunitas. Tak jarang, saat proses pembagian ini, warga berlomba-lomba meraih kue-kue tersebut, menciptakan suasana riuh dengan senyum dan tawa.
Namun, Walima di Gorontalo telah mengalami evolusi dari masa ke masa. Prosesi awal yang sederhana telah berkembang menjadi atraksi yang luar biasa. Tidak hanya tatanan kue yang diperindah, tetapi juga penyusunan Walima yang berbentuk rumah atau masjid. Walima yang terlihat seperti bangunan ini kemudian diarak mengelilingi kota.Tradisi ini bukan lagi tradisi yang harus dilakukan, namun kini sudah mulai bergeser menjadi sebuah festifal.
Walima di Gorontalo bukan hanya sekadar sebuah perayaan, tetapi lebih dari itu, ia adalah simbol rasa syukur dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Sebuah perayaan yang menggabungkan agama, budaya, dan semangat berbagi dengan harmoni. Bagi warga Gorontalo, Walima adalah sebuah berkah yang memberikan kebahagiaan dan kenangan yang tak terlupakan. Melalui Walima, mereka dengan sukacita menunjukkan dedikasi mereka terhadap tradisi dan agama yang mereka anut.
Sejarah Tradisi Walima Gorontalo
Jejak-jejak tradisi Walima di Gorontalo ternyata telah mendarah daging sejak zaman yang sangat lampau, yakni pada abad ke-17 ketika Islam pertama kali menghampiri Bumi Hulondalo. Kehadiran agama ini membawa bersamanya warisan budaya yang masih terasa hingga saat ini. Tradisi yang begitu mendalam dan kaya ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah Gorontalo, dan setiap tahun, mereka merayakannya dengan semangat yang tak terpadamkan.
Sejarah memperlihatkan bahwa tradisi Walima mengambil langkah pertamanya dalam sebuah tradisi suci yang dikenal sebagai “dikili” atau zikir. Tempat dimana tradisi ini dilaksanakan adalah di Masjid At-takwa, sebuah masjid yang terletak di tengah-tengah desa Bongo. Masjid ini bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga merupakan simbol keagamaan dan budaya bagi masyarakat Gorontalo.
Dalam suasana yang penuh kerendahan hati dan penghormatan, masyarakat berkumpul di masjid At-takwa untuk melaksanakan tradisi dikili. Zikir ini menjadi permulaan dari rangkaian acara Walima. Di bawah cahaya gemerlap cahaya masjid yang memancar ke gelapnya malam, suara-suara zikir memenuhi udara, membawa jiwa mereka lebih dekat kepada Tuhan.
“Dikili kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah zikir. Dikili melantunkan rasa syukur dan doa doa kepada Nabi Muhammad SAW atas kelahiran beliau. Dilaksanakan setelah Isya kemudian dijeda saat subuh, dilanjutkan dengan doa puncak pagi harinya sampai jam 9 atau jam 10,” kata Yamin Nusi, Kasie Pemerintahan Kecamatan Batudaai Pantai.
Desa Bongo menjadi saksi perjalanan panjang tradisi ini. Sejak abad ke-17, masyarakat Gorontalo telah memelihara dan meneruskan tradisi ini dengan hati-hati, menjaganya seperti harta karun yang tak ternilai. Setiap tahun, ketika bulan Rabiul Awal tiba, mereka dengan penuh antusiasme berkumpul di masjid ini untuk merayakan Walima dengan sungguh-sungguh.
Tradisi dikili ini, yang menjadi titik awal perayaan Walima, menciptakan hubungan yang erat antara sejarah dan masa kini. Di bawah lindungan masjid yang berumur ratusan tahun ini, masyarakat Gorontalo merenungkan perjalanan spiritual dan budaya mereka. Bagi mereka, masjid At-takwa dan tradisi dikili adalah tonggak suci yang menghubungkan generasi-generasi mereka dalam satu aliran spiritual dan tradisional yang tak terputus.
Keunikan Tradisi Walima Gorontalo
Sebagaimana adat dan norma yang telah berkembang di masyarakat Gorontalo, Walima adalah saat meriah yang ditandai dengan keberlimpahan makanan dan kue-kue tradisional. Seluruh rumah dihias dengan penuh perhatian, menyambut kedatangan momen suci ini. Masing-masing kepala keluarga menjalankan tradisi dengan menyiapkan makanan dan kue khas Gorontalo, yang kemudian dikemas dalam wadah khusus yang dikenal sebagai Tolangga.
Tolangga adalah wadah berbentuk menara yang terbuat dari kayu maupun rotan. Tampilannya menciptakan nuansa yang khas dan estetis, memberikan sentuhan keindahan pada perayaan tersebut. Dari puncak Tolangga hingga ke bagian bawahnya, tampak hiasan-hiasan indah berupa aneka kue tradisional. Kue-kue ini diatur rapi, dibungkus dengan cermat, dan diikat dengan plastik transparan agar tetap terjaga kebersihannya.
“Yang paling dominan dibuat warga itu tolangga berbentuk menara masjid dan kapal laut (perahu). Ini menggambarkan pola kehidupan masyarakat yang sebagian besar adalah nelayan,” ungkap Direktur Wisata Bongo, Yamin Nusi.
Dalam tradisi Walima, dua jenis kue tradisional, yaitu Kolombengi dan Sukade, berperan sebagai hiasan yang menghiasi Tolangga. Kedua jenis kue ini dipilih karena memiliki makna dan nilai-nilai budaya yang mendalam. Kolombengi, dengan rasa manis yang khas, melambangkan keindahan dan kebahagiaan. Sedangkan Sukade, yang memiliki cita rasa asam segar, melambangkan kesegaran dan semangat dalam menjalani kehidupan.
Seiring dengan waktu, tradisi Walima dan keindahannya terus mengalami perkembangan.
Perubahan zaman telah membawa dampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam tradisi dan budaya. Salah satu contohnya adalah perubahan yang terjadi pada tradisi walima, khususnya dalam penyajian kue-kue tradisional di dalam tolangga.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat, tradisi walima juga mengalami modifikasi. Beberapa hiasan tolangga yang sebelumnya mungkin lebih tradisional, kini ditambah dengan elemen-elemen modern seperti kopi saset, makanan ringan kemasan, mie instan, dan produk-produk praktis lainnya. Perubahan ini mencerminkan adaptasi terhadap kebutuhan dan preferensi masyarakat yang semakin sibuk dan mengutamakan efisiensi dalam menyajikan hidangan.
Selain itu, dalam upaya menjaga kesesuaian dengan selera dan tren saat ini, beberapa orang mungkin juga menambahkan variasi dalam bentuk brudeli atau brudel, yaitu kue panggang berbentuk lingkaran dengan lubang di bagian tengahnya. Penambahan brudeli ini dapat memberikan sentuhan inovatif pada tampilan tolangga, sekaligus menambah variasi rasa dan tekstur kue yang disajikan.
Meskipun beberapa modifikasi telah dilakukan dalam penyajian kue-kue dalam tolangga, penting untuk diingat bahwa inti dari tradisi walima tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan kebersamaan. Modifikasi tersebut sebagian merupakan hasil dari perubahan zaman yang secara alami membawa perubahan dalam cara kita hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar seperti kebersamaan, gotong royong, dan semangat berbagi terus mengalir, menciptakan tali persaudaraan yang kuat di antara masyarakat Gorontalo. Dengan Tolangga yang berhias kue-kue tradisional, perayaan Walima di Gorontalo menjadi gambaran yang jelas akan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Editor: Ani