Kisah Akademisi Terangi Ribuan Rumah di Desa Terpencil

Akademisi dan guru besar madya sebuah kampus di Swedia, Kuntjoro Pinardi. Sumber foto: Dok. Pribadi
Akademisi dan guru besar madya sebuah kampus di Swedia, Kuntjoro Pinardi. Sumber foto: Dok. Pribadi

SORONG SELATAN – Seorang akademisi dan guru besar madya sebuah kampus di Swedia, Kuntjoro Pinardi memutuskan pulang ke Indonesia untuk mengabdikan hidupnya. Satu di antara sumbangsihnya, yakni membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) pada 2011 di Desa Wehali, Sorong Selatan, Papua Barat. Pembangkit listrik tersebut hingga kini bisa dinikmati masyarakat setempat.

 

“Nilai project saya waktu itu tidak besar, membangun Mikrohidro setara dengan 120 kilowatt. Jadi produksi bisa menangani daya 120.000, kira-kira bisa (mengaliri) 1.000 rumah,” kata Kuntjoro Pinardi, Selasa (25/7/2023).

 

Kuntjoro membuat keputusan pulang ke Indonesia karena diliputi kegelisahan. Sebab, masih ada wilayah pelosok terdalam Indonesia masih belum tersentuh penerangan listrik meskipun sudah puluhan tahun merasakan kemerdekaan.

 

Alumnus Universitas Gadjah Mada itu tertarik mengambil dan melaksanakan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini bukan semata faktor materi tetapi juga ada faktor sosial di dalamnya. Saat memulai Proyek PLTMH di Desa Wehali, tim yang dibawa Kuntjoro sangat minimal.

 

“Saya pergi ke Papua tanpa membawa pengawalan security. Jadi tidak kontak Polisi, TNI. Saya datang ke sana hanya membawa satu admin untuk pengelolaan project, tiga tukang, yaitu dua tukang las dan satu tukang kayu dan batu,” kenang Kuntjoro.

 

Tim yang sangat minimal itu dirasa cukup bagi Kuntjoro untuk membangun jaringan pipa sepanjang 400 meter sebagai sarana pendukung untuk pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Kuntjoro juga melakukan metode yang berbeda dalam pembuatan jaringan pipa tersebut dengan tidak mengandalkan pelat baja yang biasa digunakan dalam pembangunan PLTMH.

 

Sebab, menurut Kuntjoro tidak mungkin membawa pelat baja dan menggulungnya menjadi pipa di Desa Wehali. Ia memutuskan membeli 36 pipa jadi dengan panjang 12 meter untuk efisiensi pengerjaan terutama dalam proses pengelasan.

 

Demi menghindari proyek yang mangkrak karena kehabisan dana, efisiensi yang dilakukan Kuntjoro adalah dengan mengajak para ibu-ibu di sekitar Desa Wehali untuk membantunya menyelesaikan pembangunan PLTMH tersebut. Ia meminta bantuan ratusan wanita menarik pipa-pipa seberat dua ton sepanjang 300 meter.

 

Kuntjoro juga memberdayakan masyarakat dengan memberikan pendidikan kepada mereka tentang bagaimana menghasilkan batu untuk pondasi. Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur PT PAL ini mengaku tidak membawa dan membeli batu.

 

Kuncoro mengajari cara mencari batu di sungai, kemudian mengolahnya untuk pembuatan bendungan kepada warga. Ketika membangun rumah turbin, Kuntjoro juga mengajak orang-orang untuk membuat batu bata sendiri.

 

“Pendekatan dengan hati ini relevan dalam membangun di daerah-daerah pelosok,” kata Kuntjoro.

 

Pembangunan PLTMH ini meninggalkan kesan mendalam bagi Kuntjoro kepada masyarakat Papua. Berdasarkan pengalamannya, ia menilai masyarakat Papua adalah pribadi-pribadi yang penuh semangat dan mau diajak bekerja sama selama kita memberi mereka peluang untuk usaha. Ia sudah membuktikan lewat proyek-proyeknya di Desa Wehali dan berbagai daerah lainnya.

 

“Dengan melibatkan masyarakat sekitar, pembangunan akan lebih lancar dan manfaatnya juga lebih maksimal. Ketuklah hati mereka, ayo ajak maju bersama. Mereka bisa, kok,” tandasnya.

 

Penulis: Habib

Editor: Rizal Kurniawan

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *