FLORES – Sore itu, Maria Loretha termenung risau, memikirkan upaya untuk bertahan hidup di wilayah gersang di desanya, Likotuden. Sebuah wilayah di ujung Timur Pulau Flores. Tanahnya tak dapat ditanami komoditas bahan pokok seperti padi dan jagung.
“Saat itu lahan petani tidak bisa ditanami apapun. Kering, gersang dan sulit air,” kata Loretha.
Masyarakatnya nyaris selalu kekurangan pangan. Beras yang disuplay pemerintah masih belum mampu memenuhi kebutuhan. Imbasnya, banyak penyakit gizi buruk menimpa anak- anak setempat.
Tak tersedianya air yang cukup menjadi musabab yang utama. Hingga pada suatu hari, saat berkunjung ke tetangganya, ia disuguhi sajian makanan yang terbuat sorgum. Biji-bijian sereal sorgum kecil, bulat, dan biasanya berwarna putih atau kuning pucat.
Biji-bijian Sorgum bebas gluten secara alami dan karena memiliki rasa yang netral, sorgum sering digunakan sebagai sumber untuk tepung gluten free. Bagi Loreta, rasa makanan yang terbuat dari sorgum memiliki cita rasa yang cukup lezat.
Hingga Loreta pun berinisiatif menanam sorgum di lahannya. Perlahan, usahanya mulai menampakkan hasil. Sorgum berhasil tumbuh di Dusun Likotuden.
“Sorgum ini mau tumbuh di batu bertanah,” tutur Loretha.
Kebehasilannya menanam sorgum mendorong masyarakat lainnya untuk mengikuti jejaknya. Dengan senang hati Loreta melakukan getok tular kepada masyarakat setempat.
Masyarakat setempat pun mulai mecocok tanam Sorgum, diawali dengan melubangi tanah-tanah tandus menggunakan batang pohon yang dilancipkan. Di belakangnya sejumlah perempuan mengiringi. Mereka mengisi tanah yang sudah berlobang dengan benih sorgum, lalu menutupnya dengan tanah.
“Sorgum menjadi satu jawaban bagi kampung kami dalam mengatasi paceklik di musim kemarau.” kata Agatha Kola, anggota petani Koperasi Sorgum di Dusun Likotuden.
Kegigihan Loretha patut diacungi jempol. Tak hanya menggagas, ia juga mendampingi petani untuk budidaya sorgum. Dari perjuangannya itu, Loretha mendirikan Yayasan Cinta Alam Pertanian pada 2007. Yayasan ini kemudian berhasil mendorong lahirnya puluhan kelompok tani pembudidaya sorgum di NTT. Sejak saat itu, namanya menjadi sorotan, hingga dijuluki dengan sebutan ‘Mama Sorgum’.
Mendirikan Koperasi Sorgum
Pada Februari 2016 Loretha membentuk Koperasi Produksi Sorgum yang diberi nama Koperasi Sorgum Herin Lela Likotuden. Spiritnya membentuk pemasaran sorgum menjadi satu pintu.
Selain itu, Pemda Flores Timur memberikan dukungan kepada petani sorgum berupa benih untuk perluasan tanam tahun 2019 dan 2020, serta bantuan alsintan satu mesin penyosoh. Untuk membantu meningkatan permintaan pasar, pemerintah setempat mengeluarkan Perbup Flotim 2019. Melalui perbup ini pemerintah setempat berikhtiar untuk meningkatkan nutrisi gizi bayi balita, bumil, busui, remaja dan lansia.
Secara keseluruhan terdapat 14 jenis sorgum yang di kembangkan yaitu Pega, Wolo, Warogoru, Mesak Hitam, Lepang, Watablolon, Merih, Okin, Wataru, Kuali, Wata Mayung, Terae Are, Terae Madare dan Wataru Hamu. Jenis sorgum ini tertanam di delapan kabupaten di NTT yakni, Flores Timur, Ende, Sikka, Nagekeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, dan Lembata.
Turunkan Stunting dengan Program Wajib Makan Sorgum
Keberhasilan Dusun Likotuden mulai diadopsi oleh sebagian Desa di Flores. Seperti halnya Desa Klantanto, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Hinga akhirnya desa- desa itu membuat program wajib mengkonsumsi sorgum yang dicanangkan pada tahun 2022. Tujuannya tak hanya mengatasi krisis pangan. Namun juga menekan angka stunting
“Waktu itu jumlah stunting di sini ada 16 orang. Sekitar Bulan Juni 2022, kami langsung canangkan program wajib makan sorgum,” ucap Kepala Desa Klatanlo, Petrus Muda Kurang.
Program tersebut mewajibkan setiap rumah makan sorgum. Terlebih, apabila ada anggota keluarga yang mengalami stunting, maka sorgum wajib dikonsumsi selain pemberian makanan tambahan (PMT) dari pemerintah. Petrus menyebut program wajib makan sorgum terbukti mampu menurunkan angka stunting di Desa Klatanlo.
“Sekarang dengan program yang ada sisa tujuh orang. Kita terus upayakan untuk nol stunting di desa ini. Sehingga mulai tahun depan kita fokus dengan program yang lain,” katanya.
Tingkatkan Ekonomi Masyarakat
Adanya inovasi budidaya sorgum membantu meningkatkan perekonomian warga. Salah satunya yaitu Agatha Gela, warga Dusun Likotuden. Pada tahun 2020 ia mampu menghasilkan 1,5 ton sorgum untuk kebutuhan konsumsi keluarga dan 1,3 ton dijual ke Koperasi Sorgum dengan mendapatkan pemasukan Rp13 juta.
Pada tahun 2015 harga sorgum yaitu Rp2.200/kg, harga sorgum berangsur naik hingga Rp10.000/kg di tahun 2020. Sementara, sorgum yang diolah dalam bentuk tepung lebih mahal yaitu seharga Rp 20.000-25.000/ 800gram.
Likotuden telah menjadi contoh bagaimana upaya diversifikasi konsumsi pangan menjadi sebuah keharusan untuk menguatkan sistem pangan lokal dan menjaga kedaulatan pangan.
Data Produksi Sorgum Kabupaten Flores Timur 2019- 2021
Berikut Tabel Produksi Sorgum Kabupaten Flores Timur 2019- 2021 (ton).
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur
Editor: Dian Cahyani