Toleransi Kampung Buddha di Ponorogo

Hari Raya Waisak di Desa Gelang Kulon, Sumber Foto: @ponorogo.co.id
Hari Raya Waisak di Desa Gelang Kulon, Sumber Foto: @ponorogo.co.id

PONOROGO – Dusun Sodong, Desa Gelang Kulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo terdapat kampung yang hampir saparuh dari masyarakatnya pemeluk Agama Buddha. nama kampung Sodong memiliki Arti pikiran yang terbuka atau mengerti, nama itu dari kata Manungso Dong atau manusia yang mengerti dan paham yang dapat diartikan kampung toleransi.

 

“Jadi manusia yang dong atau mengerti. Mendapat pencerahan,” ujar Ketua Vihara Dharma Dwipa Sodong, Suwandi,, Minggu (4/6/2023).

 

Terdapat 152 jumlah umat Buddha pada kampung yang terletak di Desa Gelang Kulon, Kecamatan Sampung, Ponorogo, Jawa Timur paling barat dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

 

Suwandi menceritakan,  awalnya di kampung Sodong ada sesepuh bernama Saimin. Saat itu, Saimin lahir dan besar di Dusun Sodong. Awalnya sespuh itu menganut kepercayaan kejawen dan akhirnya memilih mencari kencerahan.

 

“Mbah Saimin pergi ke Wonogiri, disana ternyata belajar agama Buddha, seusai itu kembali ke Sodong, pad tahun 1969 membangun Vihara Dharma Dwipa. Yang kemudian berkembang,” katanya.

 

Saat kembali ke kampung, memang belum ada agama masuk, sehingga agama Buddha masuk dan menjadi mayoritas kala itu.Seiring berjalan waktu pemeluk Agama Budha di Sodong mulai berkurang. Karena beberapa alasan mulai karena pernikahan dan alasan lainnya.

 

“Ya namanya agama tidak bisa dipaksa, ketika memilih berpindah kami tetap saling menghormati,” jelasnya.

 

Tidak hanya umat Budha di sini juga tinggal umat Islam. Mereka hidup berdampingan, termasuk setiap kali menggelar acara hajatan, perayaan hari raya maupun acara lingkungan yang lain.

 

“Di sini kalau dipersentasekan 40 persen Buddha dan 60 persen muslim. Contoh toleransi sudah tumbuh sejak dulu,” urainya.

 

Dia mencontohkan ketika ada genduren atau kirim doa ketika pemilik rumah beragama Islam diserahkan ke pemuka Islam, sedangkan saat pemilik rumah beragama Buddha maka diserahkan ke pemuka agama Buddha.

 

“Toleransi ini tidak direkayasa, semua berjalan harmonis tidak ada paksaan atau intimidasi soal agama semua kembali ke pribadi masing-masing,” terang Suwandi.

 

Tak hanya itu, saat sekolah pun, anak-anak yang beragama Islam juga diajarkan agama Islam sedangkan anak-anak umat Budha juga diajarkan agama Buddha. Jika pelajaran umum mereka membaur seperti biasa dalam satu kelas yang sama.

 

“Belajar anak-anak bersama, tidak ada perbedaan. Hanya saat pelajaran agama biasanya saling menghormati,” pungkasnya.

 

Penulis: Ilham W

Editor: Mukhlis

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *