Denpasar – Omed-omedan merupakan tradisi secara turun-temurun yang ada di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar sebagai wujud Dharma Shanti (silaturahmi). Tradisi ini sangat unik dan langka karena tidak ada di daerah manapun kecuali di Bali.Â
Omed-omedan berasal dari kata Omed yang berarti tarik. Setelah mendapat imbuhan -an dan katanya diulang, maka menjadi Omed-omedan yang berarti tarik menarik. Sebenarnya awal mula kata tersebut adalah Med-medan, namun mengalami perbaikan dan pelurusan bahasa agar memiliki pengertian yang baik dalam penggunaan bahasa Bali sehingga menjadi Omed-omedan.
Hingga saat ini, tidak diketahui kapan dimulainya tradisi Omed-omedan. Karena Omed-omedan merupakan permainan yang sifatnya spontanitas oleh masyarakat Banjar Kaja. Namun karena aktivitas ini mengandung keajaiban yaitu pernah menyembuhkan penglingsir Anak Agung Made Raka, sehingga tradisi Omed-omedan berkelanjutan hingga sekarang.
Mengutip ungkapan dari Munggah (2008:4) menjelaskan bahwa tradisi Omed-omedan merupakan sebuah mitologi yang diterima sebagai warisan budaya Banjar Kaja secara turun-temurun dari generasi sebelumnya sampai saat ini.
Sejarah dan Nilai Omed-omedan
Konon, dimulainya tradisi Omed-omedan berawal dari larangan penglingsir Puri Oka yang bernama Anak Agung Made Raka yang biasa disebut Ida Bhatara Kompiang. Dia mengalami sakit yang sangat parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya.
Dengan keadaan yang demikian, Anak Agung Made melarang masyarakat Banjar Kaja untuk menjenguknya. Selain itu dia juga melarang masyarakat membuat kegaduhan di sekitar Puri Oka. Akan tetapi masyarakat melanggar larangan tersebut dengan melakukan permainan Omed-omedan.
Mendengar kegaduhan tersebut Anak Agung Made Raka marah dan memanggil anggota keluarganya untuk membantunya berdiri serta minta diantarkan ke depan Puri. Mendengar panggilan tersebut pihak keluarga datang menghampiri tempat tidurnya dan membantunya keluar untuk menegur masyarakat yang membuat kegaduhan.
Setelah dibantu keluar pihak keluarganya, ternyata sakit yang dialaminya secara ajaib perlahan berangsur-angsur sembuh. Sehingga ketika sampai depan Puri Oka, Penglingsir Anak Agung Raka tidak jadi marah, malah kegembiraan terpancar diwajahnya karena penyakit yang dialaminya menjadi sembuh.
Atas dasar tersebut, Penglingsir Anak Agung memerintahkan masyarakat untuk melanjutkan permainan tersebut. Sejak itu juga masyarakat meyakini bahwa permainan Omed-omedan menjadi tradisi dan memiliki nilai sakral. Sehingga diyakini juga sangat erat dengan dewa yang mereka puja di Banjar Kaja. Dengan demikian jika tradisi tersebut tidak diselenggarakan maka dipercaya akan menimbulkan malapetaka bagi Banjar Kaja.
Menurut beberapa sumber bahwa tradisi Omed-omedan ini sempat dihentikan oleh masyarakat Banjar Kaja. Dampaknya ada kejadian aneh yang menimpa Banjar Kaja, yaitu ada dua ekor babi hutan yang saling berkelahi di depan Puri Oka. Sehingga kejadian tersebut dianggap sebagai sebuah pertanda datangnya keburukan atau musibah akan melanda jika tidak melaksanakan Omed-omedan.
Berangkat dari kisah Penglingsir Anak Agung Made Raka dengan kesembuhan penyakitnya dan kejadian bertengkarnya dua babi yang diyakini sebagai tanda bahaya. Maka dengan demikian tradisi Omed-omedan tetap dijalankan sampai saat ini.Â
Â
Pelaksanaan Omed-omedan
Pelaksanaan Tradisi Omed-omedan sebelum tahun 1980-an diselenggarakan pada saat hari raya nyepi menjelang sore hari, karena pada saat itu masyarakat belum melaksanakan ajaran agama dengan baik. Namun setelah Parisada Hindu Dharma Indonesia melakukan penetapan, pengaturan dan pembinaan kepada umat hindu agar pelaksanaan Omed-omedan diselenggarakan keesokan harinya setelah nyepi selesai yang disebut Ngembak Geni.
Dalam tradisi Omed-omedan peserta ini akan dibagi menjadi dua kelompok antara kelompok taruna (laki-laki) dan teruni (perempuan). Sebelum tradisi ini dimulai akan dilakukan upacara persembahyangan bersama di Pura Banjar.
Maksud tujuan dari persembahyangan ini agar semua peserta mendapat kebersihan hati dan kelancaran dalam menjalankan upacara Omed-omedan. Setelah selesai melaksanakan upacara persembahyangan, kemudian akan dilanjut dengan pertunjungan barong babi atau tari barong bangku. Tarian barong ini sebagai media mengingat kembali peristiwa berkelahinya dua ekor babi di halaman Puri Oka.Â
Selanjutnya, kedua kelompok yaitu teruna dan teruni akan saling berhadapan satu sama lain dan akan dipandu langsung oleh pecalang atau polisi adat yang ada di Bali. Setelah itu peserta akan memilih satu orang dari masing-masing kelompok untuk diposisikan barisan paling depan untuk diangkat.Â
Setelah kedua perwakilan dari masing-masing kelompok di angkat, maka perwakilan tersebut akan saling berpelukan dan saling berciuman. Terkadang saling beradu pipi, hidung ataupun bibir, dan fungsi dari kelompok tersebut akan saling menarik satu sama lain ketika perwakilan anggota saling berpelukan. Jika keduanya tidak dapat dilepas maka panitia penyelenggara akan menyiramnya dengan air hingga basah kuyup.
Seiring berjalannya waktu, tradisi Omed-omedan bukan lagi menjadi tradisi tahunan untuk menjalin silaturahmi atau orang bali menyebutnya sebagai wujud masima krama atau dharma shanti. Akan tetapi sekarang tradisi ini sudah menjadi industri budaya, karena mampu mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara.
Menyadari hal tersebut, kemudian masyarakat Banjar Kaja khususnya teruna dan teruninya mengemas tradisi Omed-omedan sebagai sebuah festival budaya tahunan yang bernama Omed-omedan Cultural Heritage Festival. Sehingga berdampak perputaran ekonomi di dalamnya seperti bazzar dan lain sebagainya.Â
Editor: Irman