JAKARTA – Kepala Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa, dan Konektivitas (PRKSDK), Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (ORTKPEKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Alie Humaedi menyebut bahwa problem sektor pertanian yang selalu menjerat petani di nusantara ialah soal mata rantai produksi yang memicu harga tinggi meski produksi (pertanian) kian melimpah.
Produksi pertanian sering terganggu akibat adanya sistem mata rantai yang seringkali fluktuatif. Maka solusi tepat di antaranya ialah membentuk atau membangun program Desa Tani berkelanjutan.
“Kita perlu mendorongnya secara berkelanjutan, misalnya perlu kebijakan strategis persoalan pangan, program pro petani, penciptaan lahan baru, serta peningkatan kualitas dan tata kelola lahan,” ungkap Alie Humaedi, pada Kamis (23/3/2023).
Menurut Alie, lembaga pemasaran dalam distribusi hasil pertanian dalam usaha tani juga diperlukan. Sehingga memudahkan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas pertanian dari produsen kepada konsumen akhir serta memiliki hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya.
Keberadaan lembaga pemasaran itu, lanjut Alie, nantinya diharapkan dipicu dorongan atau keinginan konsumen untuk mendapatkan komoditas yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan.
“Solusi selanjutnya adalah Desa Tani berbasis komoditas, yaitu penguatan ketenagakerjaan, adopsi dan adaptasi teknologi, serta komoditas pertanian terpadu. Lalu mitigasi dan respon kegagalan, serta solusi selanjutnya pengutan produksi hulu dan hilir pertanian,” lanjutnya.
Alie membeberkan, kendati dikenal sebagai negara agraris, pada hakikatnya untuk memasok kebutuhan pangan di dalam negeri saja, Indonesia masih harus impor beras. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya penduduk desa yang berurbanisasi, atau memilih pergi menjadi pekerja migran ketimbang menjadi petani di daerah asalnya.
“Ibarat lumbung penuh pangan dibiarkan tanpa kemauan dan itikat baik penduduknya,” kata Alie.
Menurutnya, anomali perubahan sosial ini tidak terlepas dari kondisi kehidupan petani di pedesaan yang kerap tidak stabil.
“Jangankan untuk sejahtera, untuk membiayai kebutuhan hidupnya saja harus menjual sawah tempat mata pencahariannya,” pungkasnya.
Penulis: Danu
Editor: Ani