JAKARTA – Presiden Joko Widodo tak hadir dalam Peringatan 9 Tahun Undang-Undang Desa, yang digelar di GBK Senayan, pada Minggu (19/3/2023) kemarin. Hal itu memantik praduga publik, salah satunya adalah ketua Pansus RUU Desa, Akhmad Muqowam.
“Ketidakhadiran presiden ini saya kira jangan-jangan Presiden juga mengkontemplasikan diri ya. Nah misalnya adalah soal 9 tahun periodesasi kepala desa. Ini kan bisa menjadi katup yang tidak aman dan tidak nyaman bagi presiden untuk hadir,” ungkap Ketua Pansus RUU Desa, Akhmad Muqowam dalam diskusi virtual dengan tema ‘Membaca Makna Ketidakhadiran Presiden pada Peringatan 9 Tahun Undang-Undang Desa’, pada Senin (20/3/2023).
Menurutnya, perlu adanya penegasan asas rekognisi dan asas subsidiaritas dalam UU Desa. Sehingga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi bentuk nyata bahwa desa dapat melaksanakan tata kelola pemerintahannya sendiri.
“Mungkin pemahaman mengenai Undang-Undang secara kognisi itu perlu ditingkatkan,” tutur mantan Anggota DPR RI 3 periode itu.
Pada prinsipnya, lanjut Muqowam, keberadaan atas manfaat Undang-Undang Desa membuka jalan kemajuan pembangunan fisik maupun nonfisik di desa. Manfaat itulah yang mendorong Kades dan perangkatnya ingin menunjukkan eksistensi dan keberhasilannya memanajemen pembangunan desa.
“Saya melihat euforia yang terjadi kemarin itu, kalau ditolok ukuri dengan kaca mata Undang-Undang Desa, banyak sekali substansi-substansi yang berkembang di situ,” jelasnya.
Muqowam juga menerangkan, adanya rekognisi UU Desa itu memberikan sinyal kuat untuk memanfaatkan, mendukung dan memperkuat usaha ekonomi desa yang sudah ada. Dan tidak lagi dilandasi oleh upaya intervensi oleh paradesa atau struktur di atas desa, seperti yang bertahun-tahun terjadi pada desa-desa di seluruh nusantara.
“Kalau kita kaitkan dengan isu-isu sekarang, bagaimana Undang-Undang Desa itu dilaksanakan untuk program pembangunan Desa,” bebernya.
Muqowam juga mengaku, dalam perjalanannya hingga 9 Tahun itu, semangat UU Desa tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis. Hal itu dikarenakan mereka yang tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa, yakni meningkatkan kemandirian dan partisipasi masyarakat di Desa.
“9 Tahun nampaknya perlu dipertajam lagi, misalnya adalah evaluasi terhadap regulasi-regulasi yang ada di bawah Undang-Undang Desa, sebagai pelaksanaan dari pada Undang-Undang Desa,” pungkas Muqowam.
Penulis: Danu
Editor: Ani