Surabaya – Ruwatan merupakan ritual yang bertujuan mengusir hal-hal yang berkaitan dengan kesialan seseorang, lingkungan dan tempat tinggal. Bagi masyarakat Jawa, ruwatan bertujuan untuk penyucian diri masyarakat jawa maupun wilayah melalui pembacaan doa, harapan, sekaligus rasa syukur atas anugerah Tuhan. Ruwatan diyakini dapat merubah kehidupan menjadi lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih beruntung.
Ruwat secara etimologi mempunyai arti “pelepasan”. Hal tersebut bermaksud untuk melepaskan atau membebaskan manusia dari segala bentuk nasib buruk, sial serta marabahaya lainnya. Ruwat ini sangat identik dengan dunia mistis seperti pengaruh gaib.
Menurut Koentjaraningrat, (1984: 376) Ruwatan suatu upacara khas agama Jawi, maksudnya untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh Bhatàra Kàla, yakni Dewa Kehancuran, berbagai jenis kombinasi dalam keluarga yang dianggap berbahaya menyebabkan anak-anak tersebut mudah terkena bahaya, penyakit, dan kematian, karena ia adalah mangsa Bhaþàra Kàla.
Sejarah Ruwatan Masyarakat Jawa
Ruwatan merupakan salah satu upacara yang sudah dikenal lama di tanah Jawa sebelum masuknya tradisi Islam. Ruwatan sudah ada sebelum Indonesia di jajah oleh Belanda dan keberadaannya diyakini oleh beberapa ahli sejarah dibawa oleh kepercayaan Hindu-Budha.
Namun setelah masuknya Islam ke Indonesia, ruwatan kemudian diubah oleh walisongo menjadi upacara yang lebih bernafaskan islam. Meski demikian, secara tahapan pelaksanaan tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah ada sebelumnya.
Asal usul ruwatan diadaptasi dari cerita pewayangan. Konon ada seorang Batara Guru yang mempunyai dua istri, yaitu pademi dan selir. Istri Pademi mempunyai anak laki-laki bernama Wisnu. Dia mempunyai budi pekerti yang baik. Dari Istri Selir, Batara Guru juga memiliki seorang anak laki-laki bernama Batarakala, yang memiliki perangai jahat karena kesurupan roh jahat.
Lahirnya Batarakala menurut cerita diawali ketika Batara Guru dengan istri selirnya sedang bercengkrama mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Hasrat seksual Batara Guru tiba-tiba muncul, sehingga ingin berhubungan badan dengan istrinya di atas punggung lembu. Akan tetapi istri selirnya menolak.
Karena hasrat seksual Batara Guru yang sangat tinggi, sehingga spermanya jatuh ke tengah Samudera. Kemudian sperma yang jatuh tersebut menjelma menjadi sosok raksasa yang dikenal dengan Batara Kala. Dalam bahasa jawa sperma yang jatuh pada yang bukan tempatnya disebut dengan kama salah. Sehingga Batara Kala merupakan perwujudan dari kama salah.
Makanan dari Batara Kala adalah manusia, sehingga Batara Kala meminta kepada sang ayah Batara Guru untuk memakan manusia. Setelah itu Batara Guru mengizinkan dengan syarat yang boleh dimakan adalah manusia yang tergolong dalam kategori wong sukerta atau orang yang akan mendapatkan kesialan dalam hidupnya. Oleh karena itu orang Jawa meyakini jika ruwatan dilakukan agar tidak dimakan Batara Kala dan menghadapi kesialan.
Pelaksanaan Ruwatan Masyarakat Jawa
Pelaksanaan upacara Ruwatan diawali dengan pagelaran wayang purwa dengan cerita Murwakala pada pukul 09.00 sampai pukul 13.00 dengan dalang yang sudah berpengalaman melakukan ruwatan (meruwat). Karena yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pagelaran wayang dan pelaksanaan meruwat secara spiritual adalah dalang.
Biasanya dalang ruwatan sebelum melakukan meruwat akan melakukan laku yang dimaksudkan agar semuanya berjalan lancar tanpa ada halangan. Adapun tahapan laku dimulai dengan melaksanakan puasa, puasa bisu, mengheningkan cipta memohon keselamatan batin, dan tidak melakukan hubungan badan selama 100 hari atau minimal 40 hari.
Tidur sekali dalam sehari semalam, maksudnya jika sudah bangun dari tidur tidak boleh tidur lagi sejak menjelang fajar sampai pukul 22.00. Sedangkan sebelum tidur dalang harus melakukan mandi keramas, begitupun setelah bangun tidur melakukan hal yang sama dan kemudian jalan-jalan sekuatnya.
Jika pertunjukan wayang sudah selesai maka akan dilanjutkan dengan memandikan anak atau orang yang diruwat dengan air bunga setaman dan wewangian, hal ini disebut siraman. Tujuan siraman ini untuk menghilangkan nasib buruk dan marabahaya yang membayangi hidupnya. Siraman maupun percikan air suci yang mengguyur seluruh tubuh akan membuat noda dan kotoran larut dari badan sehingga jiwa dan raga akan bersih.
Selanjutnya akan dilanjut dengan rangkaian potong rambut, ritual ini dilaksanakan untuk membuang kotoran fisik manusia yang biasanya disebut sesuker. Rambut dan kuku merupakan benda magis atau gaib yang dapat digunakan sebagai magis hitam untuk mencelakakan seseorang.
Kemudian rambut yang sudah dipotong akan ditanam dengan beras sebanyak empat kilo (4kg), uang sejumlah 1 gram emas, ayam, sandal dari kayu, benang lawe satu gulung, telur ayam yang baru keluar, gula jawa sepasang, gula pasir 1 kg, kelapa satu butir, dan sedikit darah yang diambil dengan menggunakan duri dari jari atau anggota tubuh lainnya. Darah yang dikeluarkan dari anggota tubuh tersebut akan diusap dengan kapas.
Kapas dan duri serta benda-benda lain yang disebut di atas bersama dengan potongan rambut akan ditanam. Pada saat melakukan penanaman benda-benda itu sambil mengucapkan ”Ingsun ora mbuang klapa lan isine. Anangin mbuang apa kang ndadekake apesing awakku” yang berarti Saya tidak membuang kelapa dan isinya, tetapi membuang apa yang menjadi apesnya saya. Maksud dari itu mengubur semua kotoran, aib, noda yang membebani hidup anak sukerta selama ini.
Setelah itu, pada saat malam harinya setelah upacara ruwatan selesai seluruh keluarga akan melakukan tirakat. Sedangkan orang tua dan anak yang diruwat tidak tidur semalaman untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan dan kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Editor: Irman