Menilik Ritual Kebo-Keboan di Banyuwangi sebagai Upacara Bersih Desa

Share This Post

BANYUWANGI- Kebo-keboan berasal dari bahasa daerah yang menunjukkan kerbau tiruan atau jadi-jadian. Kata kerbau diambil sebagai simbol hewan yang dekat dengan petani di sawah.

 

Konon, ritual ini bermula dari adanya wabah penyakit misterius yang menyerang masyarakat suku Osing saat itu. Hingga akhirnya, sesepuh suku Osing (Buyut Karti) melaksanakan semedi di bukit dan mendapatkan wangsit untuk mengadakan ritual bersih desa. Ritual itu dijalankan dengan mengarak kerbau menyusuri desa. 

 

Usai menjalankan ritual, wabah pun hilang, wabah di sawah pun juga hilang. Ritual ini hanya diadakan di dua desa yaitu Aliyan dan Alasmalang. Desa Aliyan merupakan salah satu desa di Kecamatan Rogojampi, sedangkan Alasmalang berada di Kecamatan Singojuruh. Kedua desa ini memiliki tujuan yang berbeda- beda dalam pelaksanaannya. 

 

Menilik Ritual Kebo-Keboan di Banyuwangi sebagai Upacara Bersih Desa

Pelaksanaan upacara kebo-keboan ini bertujuan sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil panen yang mereka terima. Selain itu, upacara ini sebagai ritual pembersihan desa dari bahaya yang menimpa masyarakat.

 

Pelaksanaan di Desa Aliyan

 

Desa Aliyan melaksanakan tradisi upacara kebo-keboan ini dengan lima tahapan. Tahap pertama, yaitu memasang umbul-umbul disepanjang jalan desa. Tahap kedua membuat kubangan di sepanjang rute yang dilewati arak-arakan manusia kerbau.

 

Tahap ketiga, membuat gunungan dari hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya. Tahap selanjutnya, melaksanakan arak-arakan terhadap manusia kerbau ke seluruh penjuru desa. Sedangkan tahap terakhir adalah ngurit, yaitu memberikan benih padi kepada para petani untuk ditanam.

 

Pelaksanaan di Desa Alasmalang

 

Di desa Alasmalang, pelaksanaan upacara Kebo- keboan dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama, berupa acara selamatan dengan menyajikan tumpeng sebanyak 12 tumpeng, disertai dengan lauk-pauk, menyajikan 5 jenang sengkolo, dan 7 porsi jenang suro.

 

Selanjutnya, para tetuah akan melakukan ritual di tempat keramat, seperti Watu Leso, Watu Gajah dan Watu Tumpeng. Usai ritual dilakukan, tumpeng yang sudah disajikan dimakan bersama di sepanjang desa. 

 

Selanjutnya, masyarakat melakukan arak-arakan terhadap 30 manusia kerbau di empat sudut desa, diikuti oleh kereta yang ditumpangi oleh dewi Sri yang melambangkan dewi padi dan kesuburan. Sedangkan tahap terakhir adalah penanaman padi di sawah yang dilakukan oleh manusia kerbau.

 

Penulis: Mohammad Mahfud
Editor: Ani

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya Lainnya