JAKARTA – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Teringgal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menegaskan momen heroik Hari Pahlawan Nasional 10 November terinspirasi resolusi jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari.
Berkat Fatwa Resolusi Jihad, warga Surabaya berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diumumkan kala itu.
“Dapat dikatakan, tidak akan ada peristiwa 10 November, kalau tidak ada resolusi jihad Kiai Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober. Resolusi jihad yang menjadi pembakar nyali perlawanan arek-arek Surabaya,” kata Gus Halim, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar saat menjadi Inspektur Upacara Peringatan Hari Pahlawan Nasional, di Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Bagi Gus Halim, tanah air adalah sarana utama melaksanakan perintah agama. Oleh karena itu, membela kemerdekaan tanah air adalah perjuangan mulia dan sebuah keniscayaan untuk para pemuda.
Hal itu sama nilainya dengan berjuang di jalan Tuhan. Dengan demikian, pahlawan rela mengorbankan harta, benda, bahkan nyawa yang melayang sebagai taruhannya.
“Kata kuncinya adalah, terdapat nilai teologis dalam perjuangan untuk bangsa. Bahwa perang melawan penjajah adalah kewajiban setiap laki-laki dewasa, yang setara nilainya dengan jihad di jalan Tuhan,” ungkap mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini.
Bagi pahlawan, lanjut Gus Halim, kemerdekaan bangsanya di atas kepentingan yang lain. Dan kemerdekaan generasi masa depan adalah prioritas perjuangannya mengusir penjajahan di atas tanah airnya.
“Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa kecintaan para pahlawan terhadap tanah air, melebihi kecintaan mereka terhadap dirinya sendiri. Bahwa, kemerdekaan diri sendiri, tidak lebih penting daripada kemerdekaan generasi,” pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, Gus Halim dengan khidmat memberikan ucapan selamat atas dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh bangsa yang telah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kelima Pahlawan Nasional itu yakni Dr. dr. H.R. Soeharto, KH. Salahuddin Bin Talabuddin, KGPAA Paku Alam VIII, K.H Ahmad Sanusi, dan Dr. Raden Rubini Natawisastra.