Kolom Desa

Kolo, Makanan Upacara Adat di Kabupaten Manggarai NTT

Kolo Kuliner Khas NTT. Sumber Foto: NTT Bangkit

 

MANGGARAI Kolo adalah makanan tradisional yang menjadi bagian penting dalam upacara adat di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Kolo biasanya disajikan dalam acara-acara adat seperti perkawinan, perayaan adat, atau acara keagamaan. Kolo memiliki sejarah, nilai, dan keunikan yang khas, serta proses pembuatan yang unik dan menarik. Mari kita bahas lebih lanjut tentang makanan Kolo dari Kabupaten Manggarai.

 

Mengenal Makanan Kulo

 

Makanan Kolo di Kabupaten Manggarai NTT berasal dari hidangan tradisi nenek moyang yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kolo menjadi simbol budaya dan tradisi masyarakat Manggarai yang kaya akan nilai-nilai adat. Makanan ini memiliki makna mendalam dalam upacara adat sebagai lambang persatuan, kebersamaan, dan keberkahan. Kolo juga menjadi identitas kuliner lokal yang memperkaya keanekaragaman budaya di NTT.

 

Andreas, Tokoh adat di NTT mengatakan nilai-nilai Kolo sangat kental dengan budaya Manggarai, di antaranya adalah kebersamaan, kearifan lokal, dan keberagaman.

 

Kehadiran Kolo dalam acara adat di Kabupaten Manggarai menjadi simbol kebersamaan dan persatuan antara anggota komunitas. Selain itu, Kolo juga mengandung nilai kearifan lokal dalam penggunaan bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan sekitar.

 

Pembakaran Kolo Kuliner Khas NTT. Sumber Foto: Twitter @News_Flores
Pembakaran Kolo Kuliner Khas NTT. Sumber Foto: Twitter @News_Flores

 

Proses pembuatan Kolo yang diwariskan turun temurun merupakan bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan. Selain itu, Kolo juga mencerminkan keberagaman budaya dalam NTT, di mana setiap daerah memiliki makanan khas mereka sendiri yang memperkaya keanekaragaman kuliner Indonesia.

 

Keunikan sajian Kolo terletak pada bahan-bahan yang digunakan dan proses pembuatannya. Bahan utama dalam Kolo adalah singkong yang diolah dengan cara fermentasi. Singkong diparut, dicuci, dan dibiarkan selama beberapa hari untuk menghasilkan tepung singkong yang difermentasi. Tepung singkong yang sudah difermentasi kemudian dicampur dengan kelapa parut, daging babi, rempah-rempah, serta daun kemangi dan daun pisang sebagai pembungkus. Adonan ini kemudian dibentuk bulat dan dimasak dalam daun pisang atau bambu dengan cara dipanggang atau direbus.

 

Menurut pak Jono, seorang penjual Kolo di pasar tradisional Ruteng, Kolo adalah hidangan yang terbuat dari singkong atau ketela yang diparut. Kemudian dicampur dan dibentuk bulat dan dipanggang atas bara api hingga matang.

 

Kolo Kuliner Khas NTT. Sumber Foto: Wadaya

 

Proses Pembuatan Kolo

 

Proses pembuatan Kolo sangat unik dan memerlukan keahlian khusus. Pada saat pembuatan, Kolo dikukus dalam panci besar yang tertutup rapat selama beberapa jam hingga matang. Setelah itu, Kolo dikeringkan dan siap disajikan. Proses fermentasi dan penggunaan bahan-bahan alami memberikan cita rasa unik dan khas pada Kolo. Makanan ini memiliki, rasa asam, gurih, dan sedikit pedas dari rempah-rempah yang digunakan.

 

Keunikan rasa dan tekstur inilah yang membuat Kolo menjadi makanan yang sangat istimewa dan diminati oleh masyarakat Manggarai dan pengunjung yang datang ke daerah ini, ujar ibu Maria ibu rumah tangga yang sering membuat Kolo.

 

Selain itu, Kolo juga memiliki keunikan dalam tampilan dan penyajiannya. Kolo biasanya disajikan dalam bentuk bundaran atau bola-bola kecil yang diatur rapi dalam daun pisang atau bambu.

 

Penyajian Kolo ini memberikan kesan estetik yang indah dan menarik, serta meningkatkan nilai seni dalam budaya Manggarai. Kolo sering dihidangkan bersama dengan daging babi panggang atau ayam, serta saus kacang pedas yang khas sebagai pelengkapnya. Kolo biasanya dimakan dengan tangan, menambah keasikan dalam menyantap makanan ini.

 

Penting untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi yang terkandung dalam Kolo.

Makanan ini menjadi simbol identitas budaya masyarakat Manggarai dan merupakan warisan yang harus dijaga agar tetap lestari. Pembuatan Kolo juga melibatkan banyak anggota komunitas, mulai dari persiapan bahan, proses fermentasi, hingga penyajian. Hal ini mencerminkan kebersamaan dan kerjasama dalam menjaga dan menghidupkan tradisi Kolo.

 

Selain nilai budaya, Kolo juga memiliki potensi ekonomi sebagai kuliner khas daerah yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Dalam beberapa tahun terakhir, Kolo semakin dikenal oleh wisatawan sebagai kuliner khas NTT yang unik dan lezat. Hal ini membuka peluang untuk pengembangan usaha kuliner berbasis Kolo, seperti pembuatan dan penjualan Kolo secara komersial, serta pengembangan industri pendukung seperti pengadaan bahan baku, pengemasan, dan pemasaran.

 

Pada akhirnya, Kolo merupakan makanan yang kaya akan sejarah, nilai, dan keunikan yang menjadi bagian penting dari budaya dan tradisi Manggarai di NTT.

 

Proses pembuatan Kolo yang unik, nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya, serta keunikan rasa dan tampilannya, menjadikan Kolo sebagai kuliner yang istimewa dan menarik. Penting untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya ini, serta mengapresiasi potensi ekonomi yang dimilikinya.

 

Kolo Kuliner Khas NTT. Sumber Foto: Floresku

 

Kolo adalah contoh nyata bagaimana kuliner lokal dapat menjadi penghubung antara sejarah, budaya, ekonomi, dan identitas suatu daerah. Dalam pembuatan Kolo, ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Prosesnya dimulai dari persiapan bahan-bahan, fermentasi, hingga penyajian. Berikut adalah gambaran umum tentang pembuatan Kolo di Kabupaten Manggarai, NTT:

 

Persiapan Bahan-bahan: Bahan utama dalam pembuatan Kolo adalah biji ketela pohon yang sudah dijemur atau dikeringkan terlebih dahulu. Biji ketela pohon ini kemudian direndam dalam air selama beberapa jam hingga empuk. Setelah itu, biji ketela pohon dicuci bersih dan diremas-remas menggunakan tangan untuk menghilangkan kulit tipisnya. Biji ketela pohon yang sudah bersih kemudian direbus hingga matang.

 

Fermentasi: Setelah biji ketela pohon direbus, langkah selanjutnya adalah fermentasi. Biji ketela pohon yang sudah direbus dimasukkan ke dalam tempat fermentasi yang terbuat dari bambu atau kayu. Biji ketela pohon dibiarkan dalam tempat fermentasi selama 2-3 hari untuk menghasilkan rasa dan aroma khas yang diinginkan.

 

Penggilingan: Setelah proses fermentasi, biji ketela pohon yang sudah menjadi bubur fermentasi tersebut ditempatkan dalam alat penggiling tradisional yang biasa disebut “sapi” atau “paboi”. Alat penggiling ini terbuat dari batu dan digunakan untuk menggiling bubur ketela pohon menjadi adonan yang halus dan lembut.

 

Pencetakan: Adonan ketela pohon yang sudah halus dan lembut kemudian dicetak menjadi bentuk bundaran atau bola-bola kecil. Proses pencetakan ini biasanya dilakukan dengan tangan, dengan cara mengambil sejumput adonan dan membentuknya menjadi bola-bola kecil yang seragam. Bola-bola adonan Kolo ini diletakkan dalam daun pisang atau bambu yang sudah disiapkan sebelumnya.

 

Penyajian: Setelah bola-bola adonan Kolo ditempatkan dalam daun pisang atau bambu, selanjutnya adalah proses penyajian. Biasanya daun pisang atau bambu yang berisi bola-bola adonan Kolo tersebut diikat atau digulung menjadi bentuk yang rapi. Kolo yang sudah siap disajikan bisa langsung dinikmati, atau dihidangkan bersama dengan daging babi panggang atau ayam, serta saus kacang pedas yang khas sebagai pelengkapnya.

 

Itulah beberapa tahapan dalam pembuatan Kolo di Kabupaten Manggarai, NTT. Proses pembuatan Kolo yang memakan waktu dan tenaga, serta penggunaan bahan-bahan alami dan tradisional, menambah nilai keunikan dan keaslian dalam kuliner ini.

 

Keunikan dan nilai dari Kolo juga terletak pada rasa dan tampilannya. Kolo memiliki rasa yang unik, yaitu agak asam, manis, dan sedikit gurih akibat proses fermentasinya. Tampilan Kolo yang dikemas dalam daun pisang atau bambu memberikan kesan estetik yang indah dan menarik, serta meningkatkan nilai seni dalam penyajian makanan ini. Selain itu, Kolo juga memiliki nilai budaya yang tinggi sebagai bagian dari upacara adat masyarakat Manggarai di NTT.

 

Editor: Ani

Exit mobile version