Kolomdesa.com, Simalungun – Warga di Desa Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dapat mengerek perekonomiannya dengan lebih baik setelah adanya kawasan Agrowisata Madu Takoma. Kawasan itu diinisiasi oleh salah satu warga desa setempat.
Slamet Riyadi, pemuda berusia 35 tahun ini menyulap kebun di Sait Saribu sebagai tempat penangkaran lebah madu. Sejak saat itu pula, ia sedikit demi sedikit membuka wawasan baru bagi warga sekitar yang selama ini menganggap lebah liar sebagai hama tanaman.
Ketertarikannya terhadap lebah madu menjadikan kebun miliknya itu lambat laun disulap menjadi agrowisata madu. Lokasi penangkaran juga dibuat untuk konservasi pelajar maupun mahasiswa yang akan melakukan penelitian.
“Kenapa madu? Ya karena saya ini memang anak kebun. Waktu kecil saat keluarga punya kebun kopi saya sering jumpa lebah yang bersarang membuat madu. Kalau sekarang kita sudah sulit melihat lebah secara alami,” ujar Slamet kepada Kolomdesa.com, Senin (30/10/2024).
Slamet mengatakan, saat ini banyak tanaman yang menggunakan pestisida. Kemudian banyak masyarakat jika melihat lebah lebih dianggap sebagai hama. “Jadi kalau lihat sarang (lebah) itu langsung dibakar,” tutur ayah 3 orang anak tersebut.
Mulanya, Slamet berpikir untuk menangkarkan lebah dan memproduksi madu. Namun sejak 2019, dia mengubah konsep itu. Kebunnya disulap menjadi tempat penangkaran madu bernama Takoma. Lengkap dengan gedung laboratorium untuk penelitian dan cafe yang menyediakan minuman olahan madu, plus sebuah kolam pemandian yang sumber airnya dari mata air alami.
Jadilah tempat tersebut, yang mulanya adalah kebun penangkaran madu, menjadi lokasi agrowisata. Semacam aktivitas wisata yang melibatkan penggunaan lahan pertanian atau fasilitas terkait, yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Selain menangkar lebah madu, Slamet juga bertanam talas dan kopi.
“Justru nama Takoma diambil dari singkatan TAlas, KOpi, dan MAdu,” bebernya.
Dia juga menjelaskan, setiap pekan pihaknya pasti mendapatkan kunjungan dari rombongan pelajar maupun mahasiswa. Di lokasi tersebut, mereka berwisata sambil belajar dan dijelaskan pula bagaimana lebah madu itu diproduksi dan apa saja manfaatnya.
Untuk pemaparan edukasi madu yang diberikan di penangkaran Takoma ini, Slamet mengaku tak mematok biaya. Mereka yang datang hanya diperkenankan untuk membeli hasil madu yang dijual di sana.
Slamet juga mengatakan, agrowisata kopi, di samping daya tarik utama wisata lebah madunya, hal ini membuat semakin ramai dikunjungi wisatawan. Ada yang tertarik datang karena madunya ada juga yang tertarik datang karena kopinya. Sampai saat ini, ada 27 peternak terlibat di penangkaran madu tersebut.
“Sementara di sektor agrowisata, kami punya 11 tim yang tergabung pada kelompok sadar wisata,” ujar Slamet.
Produksi Madu Berkualitas
Takoma adalah penangkaran lebah yang menghasilkan madu dari apis cerana di era putaran dataran tinggi Danau Toba dan perkebunan teh PTPN 4. Sejak aktif mengembangbiakkan lebah madu, hasil dari produksi di penangkaran madu Takoma ini terbilang terus meningkat. Dari 372 liter di 2018 dan naik drastis menjadi 2.127 liter pada 2021.
Lebah yang dibudidayakan berjenis apis cerana (Asian honey), lebah propolis (trigona SP). Rata-rata per bulan dia memanen hasil madunya, karena jumlah penangkaran sudah puluhan.
Lebah juga seperti makhluk hidup lainnya, untuk tempat tinggal ada kami buatkan khusus. Di tempat itulah lebah menghasilkan madu murni.
“Tidak pernah ada pengunjung yang disengat lebah, asal tidak diganggu tempat tinggalnya,” jelasnya.
Slamet juga menjelaskan, madu murni dapat dibedakan dengan 3 metode, yakni dengan tes laboratorium, madu dihasilkan dari panen langsung di penangkaran. Metode terakhir dari uji organoleptik atau dengan aroma dan rasa, metode ini dapat dilakukan bagi orang-orang yang menekuni atau terbiasa di bidang madu.
Saat ini, hasil dari produksi madu di penangkaran Takoma beredar di wilayah Sumbagut bahkan hingga Jakarta, Batam, serta Kalimantan. Untuk varian harganya ada yang Rp2 ribu yakni kemasan sachet dan kemasan ekonomis 65 gram seharga Rp20 ribu. Selain itu ada yang kemasan botol berukuran 345 gram dibanderol cukup dengan mahar Rp75 ribu.
Tak hanya berhenti di situ, Slamet juga berhasil mendaftarkan madu Takoma ke HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Tentunya hal ini bertujuan untuk melindungi produknya dari klaim pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dari pariwisata dan penjualan madu, dia berhasil mengumpulkan omzet rata-rata per bulan berkisar Rp23-30 juta.
Ajak Masyarakat Kolaborasi
Sejak adanya agrowisata tersebut, roda perekonomian masyarakat lambat laun juga berjalan. Slamet mengatakan, setidaknya ada 3 klaster masyarakat meliputi petani madu, kelompok sadar wisata Desa Sait Saribu dan klaster kuliner desa.
“Saat ini sudah ada 3 kelompok yang masih aktif, dan mereka berkolaborasi saat ada event atau kunjungan di penangkaran madu Takoma,” kata Slamet.
Sejak awal, lanjut Slamet, agrowisata Takoma dikonsep dengan berbasis kemasyarakatan. Sehingga penghasilan produk akan tetap dikembalikan kepada masyarakat.
“Kemitraan kami tidak kami ikat seutuhnya. Jadi misal petani lebah yang bermitra masih dapat mendistribusikan produknya ke sentral penjualan kami atau mereka ingin menjualnya sendiri,” ungkap dia.