Kolom Desa

Kisah Pelestarian Sagu dari Kampung Yoboi: Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan

Lanskap Kampung Yoboi dan danau Sentani. Sumber: Dokumentasi Humas Kampung Wisata Yoboi.

Kolomdesa.com, PapuaKampung Yoboi berada di distrik Sentani, Jayapura, dekat dengan danau Sentani dan dikelilingi hutan sagu. Sekitar 1.600 hektar pohon sagu dengan 30 varietas merupakan milik masyarakat Kampung Yoboi. 

Sagu menjadi sumber kehidupan sebagaimana seorang ibu. Kalimat tersebut diucapkan oleh Billy Tokoro, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Yoboi kepada Kolomdesa.com, Senin (19/8/2024). Sebuah keyakinan ekologis sekaligus spiritual.

Billy menuturkan, semua kebutuhan sandang pangan diambil dari pohon sagu. Menjaga sagu sama dengan menghormati alam. Oleh sebabnya, sagu menjadi satu prasyarat yang penting bagi praktik hidup warga Yoboi. 

Sagu dimanfaatkan untuk sebagian besar kegiatan sakral seperti pemberian mahar mas kawin dan upacara penobatan. Ketika ada kelahiran atau kematian di Kampung Yoboi, pihak keluarga harus menanam sagu untuk mengetahui usia kelahiran anak serta sebagai upaya untuk mengingat kematian.

Hingga saat ini, ada lima marga yang tinggal di kawasan Kampung Yoboi, yakni Depondoye, Sokoy, Tokoro, Wally, dan Yom. Masing-masing marga memiliki hak milik atas sagu di kawasan hutan, yang ditandai dengan peletakan salah satu pohon sagu dengan ciri khas tertentu untuk membedakan dengan pohon lainnya.

Kisah Pelestarian Sagu dari Kampung Yoboi: Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan
Pengunjung menikmati destinasi alam hutan sagu Kampung Yoboi. Sumber: Dokumentasi Humas Kampung Yoboi.

Konon, pohon sagu yang ditanam di barisan paling depan memiliki nilai tradisi/kebudayaan yang tinggi. Hanya tokoh adat atau kepala suku yang boleh menebangnya, itupun untuk acara-acara adat tertentu.

Beberapa tahun belakangan, Yoboi bertransformasi menjadi kampung wisata. Hampir seluruh jembatan, rumah dan fasilitas umum maupun pribadi di kampung tersebut dicat dengan beragam warna. 

Sejak menjadi kampung wisata, Yoboi mulai dikenal oleh masyarakat luas. Banyak pengunjung dari berbagai daerah hingga mancanegara berdatangan untuk menikmati destinasi wisata di Yoboi. 

Memanfaatkan potensi itu, kelompok pemuda Yoboi yang diketuai oleh Billy berkomitmen melakukan upaya pelestarian sagu melalui atraksi wisata. Mereka menggerakkan seluruh lapisan masyarakat Yoboi untuk berkontribusi pada pelestarian alam, khususnya sagu. 

Billy mengungkapkan, hutan sagu di kampungnya dijadikan sebagai obyek paket wisata. Dengan paket wisata ini, pelancong dapat menyaksikan pengolahan sagu di Kampung Yoboi.

Pengunjung nantinya akan diajak menyusuri hutan sagu dengan perahu. Mereka dapat melihat langsung masyarakat yang sedang mengolah sagu hingga panen ulat sagu.

Gerakan lintas generasi, menurutnya, sangat dibutuhkan untuk menjaga kekayaan tanah leluhur. Generasi muda diharap dapat menciptakan terobosan yang akan menghadirkan kebermanfaatan untuk dinikmati bersama.

“Jangan sampai tradisi kita tenggelam oleh modernisasi,” katanya. 

Pemberdayaan Masyarakat 

Proses penebangan pohon sagu di Kampung Yoboi. Sumber: Dokumentasi Humas Kampung Yoboi.

Setelah adanya Kampung Wisata Yoboi ini, Billy mengaku masyarakat di kampungnya mulai mengalami perubahan. Hal yang paling ia tekankan adalah pola pikir masyarakat yang semakin kompetitif. 

Billy mengatakan, masyarakat Kampung Yoboi hari ini tidak hanya mengolah sagu yang berakhir ditimbun sebagai cadangan makanan. Aktivitas mereka dalam memanen sagu ini kini bernilai jual melalui atraksi wisata. 

Tentunya, banyak hal perlu disiapkan untuk revitalisasi hutan sagu di wilayah Kampung Yoboi. Salah satunya adalah mempersiapkan pengetahuan masyarakat dalam pelestarian hutan sagu dengan konsep pariwisata. 

Kata Billy, penduduk Yoboi yang meliputi pemerintah kampung, kepala adat, pemuka agama dan warga kampung turut aktif berkontribusi dalam menentukan program kerja yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan agar program dapat diterima oleh seluruh lapisan warga kampung Yoboi. 

“Tentu dapat menimbulkan konflik internal, tetapi kesempatan ini kami jadikan kesempatan untuk seluruh masyarakat dapat menyampaikan aspirasi,” katanya. 

Sagu diolah menjadi tepung kemudian digunakan untuk membuat berbagai makanan, seperti papeda dan kue kering. Masyarakat menjualnya ke pasar yang letaknya tak jauh dari Yoboi. 

Satu pohon bisa menghasilkan sagu sebanyak 5-10 karung berkapasitas 15 kilogram per karung. Memproses satu pohon sagu dapat dilakukan selama 2 hari, biasanya dikerjakan oleh satu kepala keluarga. 

Pohon sagu dipanen oleh salah satu keluarga di Kampung Yoboi. Sumber: Dokumentasi Humas Kampung Yoboi.

Kebanyakan masyarakat masih menggunakan cara tradisional. Dengan menebang pohon sagu satu persatu menggunakan kapak batu dan memprosesnya dengan cara konvensional. 

Kata Billy, cara tersebut cukup baik untuk mengatur laju ekosistem sagu mengingat proses pertumbuhan sagu yang relatif lambat. Pohon sagu ideal dipanen saat menginjak usia 8 hingga 11 tahun. 

“Tak hanya itu, nilai-nilai kearifan lokal dan gotong royong dapat kita dapatkan saat memanen sagu. Satu pohon sagu ditebang dikerjakan oleh satu keluarga,” kata Billy. 

Di sisi lain, pohon sagu yang dipanen secara tradisional menghasilkan produk yang lebih otentik. Baik dari segi rasa dan aroma. Hal itu juga menjadi nilai tambah, melihat hasil olahan sagu dengan cara tradisional sudah mulai langka. 

“Untuk diketahui perbedaan rasanya, hanya mereka yang makan sagu,” ungkapnya. 

Jumlah pengunjung Kampung Wisata Yoboi cukup ramai. Billy menuturkan, beberapa warga Yoboi kini memulai usaha sampingan. Seperti membuka warung yang disediakan dengan lemari es, menjual produk olahan makanan hingga kerajinan. 

Banyak pula warga yang mengambil peluang untuk menjual produk mereka pada saat ada festival atau agenda yang meliputi banyak orang terutama wisatawan. Produk-produk mereka memenuhi tenant bazar.

Dukungan Perlu Tepat Sasaran

Lanskap rumah terapung di Kampung Yoboi. Sumber: Dokumentasi Humas Kampung Yoboi.

Billy mengatakan, dukungan untuk pelestarian hutan sagu di Kampung Yoboi dibilang cukup banyak. Baik dari pemerintah daerah hingga pusat, maupun Non-Government Organization (NGO). 

“Kami menerima banyak sekali pelatihan, seperti digitalisasi, pemasaran, pemberdayaan masyarakat dan lain-lain,” ungkapnya. 

Biasanya, program-program tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Setelah program satu selesai, program baru akan menyusul. 

Sebagai penanggung jawab Pokdarwis, Billy merasa cukup terbantu. Namun ia berharap program dari pemerintah seyogyanya dilakukan secara intensif dan komprehensif.

“Ini yang masih menjadi dilema, mengingat masyarakat kami masih awam. Jika menerima banyak program dengan output yang berbeda-beda, kami kadang bingung harus memulai dari mana,” katanya. 

Selain itu, program yang dicanangkan oleh pemerintah tak jarang berseberangan dengan kebutuhan di lapangan. Sehingga hasil yang diperoleh juga belum optimal. 

“Perlu adanya sinergitas antar pemerintah dan masyarakat di sini agar program yang dicanangkan tepat pada sasaran,” pungkas Billy. 

Editor: Rizal K

Exit mobile version