Kolom Desa

Di Balik Pesona Lembah Baliem: Tantangan dan Harapan Hidup Surga Papua

Lembah Baliem dan Sungai Baliem di Wamena, Papua. Sumber: genpi.co.

Kolomdesa.com, Jayawijaya – Wa, wa, wa, wa, wa. Sebuah sambutan hangat yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Lembah Baliem di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, pada Bulan Juli lalu.

“Wa” adalah cara warga Baliem menyambut kedatangan tamu, sekaligus sebagai ungkapan terimakasih. Warga Baliem akan mengucapkan “wa” sebanyak jumlah tamu yang datang. Dengan memekikkan “wa”, warga Baliem mencoba mengatakan, “Kalian adalah keluarga jauh yang datang berkunjung”.

Lembah Baliem kerap disebut sebagai ‘Surga Papua’. Lembah Baliem didominasi oleh vegetasi rumput hijau dan bukit berbatu. Udaranya sejuk, dengan matahari yang hangat saja. Di bagian tengahnya, mengalir Sungai Baliem yang jernih, segar untuk diminum.

Di Balik Pesona Lembah Baliem: Tantangan dan Harapan Hidup Surga Papua
Seorang mama membawa sayur setelah dicuci di sungai Baliem untuk upacara Bakar Batu di Kampung Welesi, Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya. Sumber foto: dokumentasi kolomdesa.com.

Tidak hanya keindahan alam, Lembah Baliem juga memiliki kekayaan budaya yang unik dan eksotis. Terdapat lebih dari 30 suku yang menghuni Lembah Baliem. Mereka saling bekerjasama, membentuk sebuah konfederasi yang disebut dengan wilayah kesatuan adat ‘La Pago‘.

Sebagai simbol persatuan, mereka kerap menyelenggarakan upacara adat Bakar Batu. Upacara tersebut dilaksanakan untuk mempererat jalinan persaudaraan dan perdamaian antarsuku, baik di dalam, maupun di luar konfederasi.

Mereka berkumpul bersama untuk memasak daging dan sayuran di dalam batu yang telah dipanaskan. Ada simbol egaliter dan kebersamaan yang menjadikan Upacara Bakar Batu semakin menarik dan bernilai tinggi. Setiap peserta duduk sejajar di atas tanah. Daging dan sayuran yang telah dimasak, dibagikan dengan porsi sama rata.

Tak memandang status sosial, semuanya mendapat bagian yang sama. Bahkan, tidak ada satupun yang boleh menyentuh daging yang diberikan, sebelum setiap orang mendapatkan bagiannya. Segalanya dilakukan dengan kebersamaan.

Mama-mama sedang menyiapkan Upacara Bakar Batu di Kampung Welesi, Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya. Terlihat di belakang mengalir Sungai Baliem yang jernih. Sumber: dokumentasi kolomdesa.com.

Suku-suku di Lembah Baliem juga memiliki simbol keabadian untuk menjaga nilai-nilai luhur, agar dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Mereka memiliki tradisi mumifikasi bagi kepala suku yang memiliki pengaruh besar dalam menjaga perdamaian antarsuku, baik di dalam, maupun di luar konfederasi.

Mumifikasi dilakukan dengan cara sederhana. Jasad kepala suku diasap di atas kayu bakar, hingga badannya mengering dan tidak meninggalkan cairan tubuh. Hal itu, akan mengawetkan jasad kepala suku, sehingga mampu bertahan selama ratusan tahun. Seperti mumi kepala suku di Kampung Aikima yang berusia hampir tiga abad.

Esensi dari mumifikasi tersebut, bukan sekedar untuk mengawetkan jasad kepala suku, tetapi mengabadikan nilai-nilai ajaran leluhur, agar dapat diteladani oleh para penerusnya. Seperti mumi Kepala Suku Aikima di Wamena.

Mumi tersebut memiliki nama asli Weropak Elosak, seorang panglima perang yang berhasil mendamaikan suku-suku di dalam konfederasi. Kisah kepahlawanannya, serta nilai-nilai perdamaian itulah yang diabadikan untuk diteladani bersama.

Mumi hanyalah simbol, sekaligus media untuk mempelajari nilai-nilai luhur untuk diteladani. Keindahan alam, dibalut dengan eksotisme budaya dan sifat yang ramah, menjadi daya tarik wisatawan, sehingga diadakan Festival Lembah Baliem setiap tahunnya.

Mumi Kepala Suku Weropak Elosak di Kampung Aikima, Distrik Pisugi, Kabupaten Jayawijay. Sumber: dokumentasi kolomdesa.com.

Segudang Masalah di Tanah Surga

Keindahan alam dan kekayaan budaya di Lembah Baliem, menjadikannya laksana surga. Namun, jika ditelisik lebih dalam, masih terdapat banyak permasalahan. Kabupaten Jayawijaya, tempat Lembah Baliem berada, masuk ke dalam kategori daerah tertinggal, berdasarkan Perpres No. 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024.

Bahkan, hasil analisis ketertinggalan yang dilakukan oleh Kementerian Desa PDTT, pada tahun 2023, Kabupaten Jayawijaya masih terindikasi tertinggal dengan nilai Indeks Komposit Ketertinggalan (IKK), sebesar 46,77. Padahal, agar dapat lepas dari status daerah tertinggal, dibutuhkan skor IKK minimal 60,00.

Kabupaten Jayawijaya juga memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, persentase penduduk miskin (PPM) di Kabupaten Jayawijaya mencapai 34,71 persen, jauh lebih tinggi daripada PPM nasional sebesar 11,49 persen. Pada tahun 2023, Kabupaten Jayawijaya menempati peringkat kesebelas dari 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan angka kemiskinan tertinggi.

Masyarakat di Kabupaten Jayawijaya juga masih kesulitan dalam mengakses kebutuhan dasar, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Jayawijaya sebesar 60.5 poin, jauh lebih rendah daripada nilai IPM nasional sebesar 71,26.

Nilai IPM Kabupaten Jayawijaya masih tergolong rendah, bahkan pada tahun 2023, Kabupaten Jayawijaya menduduki peringkat ke-495 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Indikator pengukuran IPM di antaranya adalah kualitas pemenuhan pendidikan dan kesehatan. Rendahnya nilai IPM, menunjukkan masyarakat di Kabupaten Jayawijaya masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

Di bidang pangan, Kabupaten Jayawijaya maish dikategorikan sebagai daerah rawan pangan. Berdasarkan data Bapanas, pada tahun 2023, nilai Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Kabupaten Jayawijaya sejumlah 27,68, jauh dibawah nilai IKP nasional sebesar 72,69. Kabupaten Jayawijaya, menempati peringkat ke 15 dari 514 kabupaten/kota sebagai wilayah yang paling rawan pangan di Indonesia. Rendahnya nilai IKP, berarti Kabupaten Jayawijaya masih kesulitan dalam memproduksi dan mengakses kebutuhan pangannya.

Berdasarkan hasil analisis dan simulasi beberapa indikator di atas–dengan menggunakan metode Regressi Linier–, memprediksi Kabupaten Jayawijaya masih membutuhkan puluhan tahun untuk melampaui nilai pertumbuhan nasional. Kabupaten Jayawijaya membutuhkan waktu selama 28 tahun agar memiliki angka kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Selain itu, Kabupaten Jayawijaya membutuhkan waktu 44 tahun agar memiliki nilai IPM di atas nilai nasional.

Lembah baliem memiliki keindahan alam yang tiada tara dan budaya yang amat kaya. Namun, problem kemiskinan, sulitnya akses terhadap kesehatan dan pendidikan, serta kerawanan pangan, sangat membuat masyarakat di Lembah Baliem merasa sengsara, sehingga mereka masih belum bisa merasakan kenyamanan bagaikan di surga.

Mewujudkan Surga yang Abadi

Di balik keindahan surgawinya, Lembah Baliem masih menyimpan segudang permasalahan yang membutuhkan solusi konkret agar masyarakatnya dapat hidup dengan layak dan sejahtera. Solusi kuncinya adalah kebijakan afirmasi yang dapat diwujudkan melalui komitmen kuat dari seluruh level pemerintahan untuk berpihak menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Lembah Baliem.

Penyelesaian permasalahan, harus fokus pada faktor-faktor penyebab masalah. Seperti masalah kemiskinan misalnya. Kemiskinan di Lembah Baliem akibat produktivitas di daerah tersebut masih rendah, sehingga kurang menghasilkan surplus ekonomi yang membawa pada kesejahteraan. Salah satu penyebabnya adalah konektivitas antarwilayah.

Kondisi geografis Lembah Baliem yang dikelilingi oleh pegunungan, membuat distribusi barang untuk masuk dan keluar wilayah tersebut cukup sulit diakses, sehingga barang-barang produksi menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Satu-satunya moda transportasi untuk keluar dan masuk ke ke Lembah Baliem dengan menggunakan pesawat. Pesawat merupakan moda transportasi yang sangat mahal. Masyarakat di Lembah Baliem harus membayar tiket sebesar Rp 300.000 s.d. 500.000 untuk berpergian ke luar wilayah.

Solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah konektivitas dengan memberikan subsidi bagi operasional pesawat, sehingga menurunkan harga tiket. Solusi jangka pajangnya adalah membangun moda transportasi massal yang efektif, seperti kereta api. Jawa saja bisa membangun jalur kereta api melintasi pegunungan, masa di Papua tidak bisa? Pasti bisa!

Terkoneksinya Lembah Baliem dengan pusat pertumbuhan ekonomi lain, akan merangsang kegiatan produksi karena biaya distribusi barang yang lebih murah, sehingga harganya menjadi kompetiitf. Hal itu akan menghasilkan surplus ekonomi yang secara simultan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga keluar dari jebakan kemiskinan.

Solusi masalah pendidikan dan kesehatan, tidak hanya dapat diselesaikan dengan membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan di setiap distrik dan kampung. Melainkan juga harus mempersiapkan SDM yang mumpuni. Investasi jangka panjang adalah memberikan beasiswa khusus bagi masyarakat Lembah Baliem untuk menempuh pendidikan di bidang kesehatan dan ilmu keguruan dengan perjanjian kerja untuk kembali mengabdi ke kampung halaman setela lulus nanti.

Lembah Baliem juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan sistem pertanian dan peternakan terpadu dan bekerlanjutan. Tanah di Lembah Baliem tergolong subur, curah hujan yang tinggi, dan terdapat Sungai Baliem yang mengalir di tengahnya sebagai sumber irigasi. Tanah-tanah subur itu, dapat dikembangkan menjadi pertanian organik. Padang rumput yang luas dapat dijadikan sebagai lahan peternakan. Kotoran yang dihasilkan oleh hewan ternak, dapat diolah kembali menjadi pupuk organik untuk menyuburkan lahan pertanian. Sistem pertanian dan peternakan terpadu dan berkelanjutan ini, sangat cocok diterapkan untuk menjaga kelestarian alam di Lembah Baliem.

Terakhir, kolaborasi harmonis bagi seluruh level pemerintahan wajib diwujudkan. Masing-masing pihak harus bahu membahu, mengesampingkan ego sektoral, dan mengerahkan sumber daya yang dimiliki untuk membangun dan meningkatkan sesejahteraan masyarakat Lembah Baliem. Kolaborasi tersebut, harus dilaksanakan dengan rencana yang matang, sinkron, dan saling menguatkan secara berkelanjutan. Kebijakan pembangunan yang afirmatif dan kolaborasi harmonis, akan mewujudkan surga yang abadi di Lembah Baliem. Wa, wa, wa, wa, wa.


Penulis: Nirasa Prihatini

Editor: Rizal K

Exit mobile version